Mohon tunggu...
Ihsan Janu Rohman
Ihsan Janu Rohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - aktif

mencoba menjadi berbeda dan menarik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Peran Aktif Mahasiswa dalam Penerapan Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTR)

29 Juni 2022   10:21 Diperbarui: 29 Juni 2022   10:35 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Semua orang berhak dilindungi kesehatannya dari paparan asap rokok orang lain. Racun yang terkandung dalam asap rokok yang masuk ke dalm tubuh akan tersimpan dan menimbulkan berbagai gangguan kesehatan. Karena itu, salah satu upaya yang efektif untuk melindungi masyarakat dari paparan asap rokok adalah dengan menerapkan kawasan tanpa rokok (KTR). Penerapan KTR memungkinkan masyarakat dapat menikmati udara segar tanpa khawatir akan berbagai risiko yang merugikan kesehatan dan kehiupan.

Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan dan mempromosikan produk tembakau. Oleh karena semua kawasan atau area yang sudah ditetapkan sebagai KTR harus bebas dari asap rokok, penjualan, produksi, dan promosi rokok.

Pemerintah melalui UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan telah mewajibkan pemerintah daerah untuk menetapkan KTR di wilayahnya masing-masing melalui Peraturan Daerah (Perda) atau peraturan perundang-undangan daerah lainnya. Selanjutnya, institusi pendidikan sebagai wadah proses belajar mengajar merupakan salah satu wilayah yang harus sudah menerapkan KTR. Hal ini merupakan bentuk komitmen negara untuk melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya paparan asap rokok serta upaya untuk menciptakan masyarakat yang sehat dan kuat.

Indonesia menurut data WHO merupakan negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India. Berdasarkan Riset Dasar (Riskesdas) tahun 2013, sebesar 85% rumah tangga di Indonesia terpapar asap rokok, estimassinya adalah 8 perokok meninggal karena perokok aktif, dan 1 perokok pasif meninggal karena paparan asap rokok orang lain. Berdasarkan perhitungan rasio ini sedikirnya 25.000 kematian di Indonesia terjadi karena asap rokok orang lain. Dalam sumber yang sama diberikan gambaran mengenai perilaku merokok penduduk Indonesia dengan data yang diambil dari Riskesdas tahun 2007 dan tahun 2013, serta dikombinasikan dengan jumlah penduduk dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013. Hasilnya menunjukan bahwa terjadi sedikit peningkatan proporsi masyarakat yang merokok tiap hari dari tahun 2007 ke tahun 2013 (23,7% - 24,3%). Sedangkan perokok kadang-kadang sedikit menurun dari 5,5% menjadi 5,0%.

Peningkatan konsumsi rokok berdampak pada makin tingginya beban penyakit akibat rokok dan bertambahnya angka kematian akibat rokok. Indonesia sendiri sebagai negara berkembang memiliki risiko 50% - 70% kematian terhadap wabah penyakit global karena tembakau. Tidak ada perbedaan pandangan sedikitpun bahwa konsumsi rokok  itu berbahaya bagi tubuh perokok aktif maupun pasif. Merokok menimbulkan beban kesehatan, sosial, ekonomi, bahkan secara lebih luas lingkungan pun ikut menerima dampaknya. Perokok  pasif terutama bayi ataupun anak-anak sangat perlu dilindungi haknya dari kerugain karena paparan asap rokok.

Merokok dapat menimbulkan kecanduan dikarenakan dalam rokok tersebut mengandung zat kimia yang bersifat adiktif. Tentu hal tersebut yang membuat banyak perokok yang kesulitan untuk  berhenti dari kebiasaan buruk tersebut. Hal itu ditunjukan dari laporan WHO pada tahun 2018 yang mana menunjukan bahwa 30,4 persen prokok di Indonesia pernah mencoba untuk berhenti, namun hanya 9,5% diantaranya yang sukses. Sebagai salah satu upaya institusi pendidikan (kampus) masuk dalam tempat yang harus ditetapkan sebagai KTR. Selanjutnya diharapkan mahasiswa dapat mengoptimalkan peran aktif mereka dalam menurunkan angka perokok pada lingkungan institusi pendidikan (kampus).

Mahasiswa dapat melakukan langkah awal guna menurunkan angka perokok yaitu dengan advokasi KTR. Advokasi sendiri merupakan suatu tindakan yang mengarah pada pembelaan, memberi dukungan, atau rekomendasi berupa dukungan aktif. Kegiatan advokasi merupakan bentuk strategi intervensi kepada pemangku kebijakan yang pada akhirnya tujuan dari kegiatan ini adalah mengupayakan solusi bagi suatu masalah melalui penegakan dan penerapan kebijakan publik guna mengatasi masalah tersebut. Beberapa metode dalam advokasi antara lain yaitu negosiasi, dialog, iklan layanan masyarakat, konferensi pers, wisata pers (press tour), dan blogs. Adapun beberapa prinsip yang ada dalam advokasi antara lain dapat dipercaya dimana program yang ditawarkan harus dapat meyakinkan, karena didukung dengan hasil riset dari sumber yang dapat dipercaya, selanjutnya mempunyai sifat realistis yang berarti apa yang kita advokasikan memungkinkan untuk dijalankan atau dilakukan oleh sasaran yang kita tuju.

Keberhasilan advokasi sendiri juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:

  • Persiapan, dalam artian proses persiapan advokasi ini meliputi periapan policy brief yang nantinya akan disampaikan pada advokasi selain itu persiapan waktu dan tempat sama pentingnya harus dipersiapkan.
  • Prioritas, dimana isu yang kita advokasikan itu hal yang menarik dan penting untuk dibahas, rokok masih menjadi isu yang menarik dan masih menjadi masalah nasional.
  • Kesopanan, ini juga merupakan faktor yang perlu diperhatikan. Walaupun advokasi dilakukan pada tempat kerja mahasiswa, tetapi kesopanan tetap harus dijaga dan menghormati kebijakan atau persepsi dari pimpinan.
  • Functually, dalam artian ketepatan waktu menjadi pengaruh yang cukup besar dalam proses advokasi.

Penerapan KTR dapat dilakukan oleh mahasiswa dengan cara pendekatan manajemen yaitu lewat advokasi kepada pimpinan. Hal ini dilakukan karena salah satu cara untuk menekan angka perokok agar dapat menurun adalah menegakan peraturan, pendekatan kognitif, dan pendekatan personal. Mahasiswa dapat meyakinkan pimpinan untuk memasukan sanksi ke dalam peraturan bagi setiap pelanggar. Dalam hal ini tentu mahasiswa tidak dapat bergerak sendiri, demi kelancaran dan keberlanjutan program serta semua peraturan yang sudah ditetapkan tentu semua civitas akademika diharapkan menjadi pengawas pelaksanan KTR.

Sosialisasi KTR juga harus terus gencar dilakukan oleh mahasiswa maupun seluruh civitas akademika seperti pamflet, brosur, baliho, dan policy brief. Sosialisasi program juga merupakan salah satu bentuk upaya memaparkan dan melibatkan sasaran sebagai subyek. Hal ini dilakukan supaya sasaran mempunyai tanggung jawab akan program yang sudah dijalankan dan demi keberlangsungan program tersebut.

Komunikasi harus terus dilakukan dan dijaga antar pihak yang terkait. Faktor komunikasi merupakan salah satu faktor yang amat penting guna mengetahui apakah pelaksanaan kebijakan berjalan efektif dan efisien tanpa ada pihak yang dirugikan. Penerapan KTR baru dapat dibilang efektif jika pembuat kebijakan dengan implementor mengetahui apa yang mereka kerjakan, dan hal itu bisa terjadi melalui komunikasi yang baik. Menurut George C.Edward III terdapat 3 hal penting dalam proses komunikasi kebijakan yaitu :

  • Tranmisi : mereka yang melaksanakan keputusan haruslah tau apa yang mereka putuskan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus disampaikan kepada kelompok sasaran (target) sehingga akan mengurangi dampak dari penerapan KTR tersebut.
  • Kejelasan : jika kebijakan diterapkan sebagaimana yang diinginkan, maka pelanksana juga harus menerima petunjuk-petunjuk pelaksanaan yang jelas, akan tetapi komunikasi harus dilakukan dengan jelas juga. Ketidakjelasan komunikasi mengenai pesan yang berkenaan dengan kebijakan akan mendorong interprestasi yang salah bahkan mungkin bertentangan dengan maksud dan tujuan awal.
  • Konsistensi : jika penerapan KTR ingin berjalan efektif, maka perintah-perintah pelaksanaan juga harus jelas dan konsisten. Walaupun perintah pelaksanaan sudah mengandung unsur jelas dan konsisten, jika perintah tersebut bertentangan dengan kebijkan, maka yang ada tidak memudahkan atau bahkan menghambat pelaksana kebijakan dalam menjalankan tugasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun