Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sengkarut Percabaian dan Solusinya

10 Januari 2017   20:50 Diperbarui: 10 Januari 2017   20:58 483
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cabe (Foto : merdeka.com)

Harga cabai melambung tinggi, semakin hot ‘Si Cabe’ maka harganya semakin malhal. Cabe termahal adalah cabe terpedas, yaitu, cabe rawit merah. Harganya bisa mencapai Rp. 200 ribu / kg di berita-berita. Ini fakta, saya survey sendiri, di Purbalingga, Jawa Tengah per hari ini harga masih di kisaran Rp 100 ribu / kg, saya cek di pasar sebelah harga tertinggi menyentuh Rp. 120 ribu / kg. Gila memang, lebih mahal dari harga daging sapi, 4 kali lipat harga daging ayam.

Berikutnya, ada cabe rawit hijau, cabe merah keriting, cabe merah besar, cabe hijau besar mengikuti dibawahnya dengan kisaran harga dibawah 100 ribu, masih diatas 50 ribu. Masih mahal. Semahal-mahalnya kentang, kol gepeng, kol bulat, tomat, wortel, sawi, timun, selada, seledri, oyong dan kawan-kawanya harganya bahkan tak sampai menyentuh Rp. 20 ribu / kg.

Sekarang, pertinyiinyi, kenapa terjadi sengkarut di dunia percabean Indonesia yang ditandai dengan harganya yang bisa melambung jauh terbang tinggi? Ini analisis saya sebagai pakar pertanian amatir. Selain soal mafia-mafiaan dan ‘tangan tak terlihat’ lainnya yang mengurusi pasar, jelas permintaan cabe selalu naik. Hukum pasar paling sederhana, dimana pemintaan naik sementara ketersediaan barang tetap atau bahkan turun maka harga otomatis terkerek.

Pertanyaan berikutnya, kenapa permintaan cabe selalu naik? Pertama, sekarang ini, tren masakan pedas naik daun. Resto-resto berlabel Serba Sambal, Aneka Sambel, Sambel Setan, Sambel Layah, Sambel Mamah, Mbak A, Eyang B, Mak Ini, Mbah Ono, Mbak itu, Mas Iti dan lain sebagainya yang menjadikan sambel sebagai sajian utama menjamur dimana-mana. Masakan tanpa cabe? Makanan apaan tuh?! Makin pedas, makin nendang, makin hot makin dicari. Mie ay am, bakso, ayam goreng, kripik singkong sajian pedasnya bahkan sampai level-levelan.

Faktor kedua, penyebab permintaan cabe selalu naik adalah tidak familiarnya cabe kering. Konsumen ingin cabe segar, fresh sehingga tidak ada pilihan lain. Menu ‘Belut Sambel Ijo’, jelas nggak bisa pake cabe kering. Sambel ayam goreng Mamah Muda jelas nggak mau pake cabe awetan. Sambel botolan pun belum bisa menggantikan hasrat masyarakat akan sambel-sambelan. Walhasil, pasar pun menuntut cabe segar setiap hari.

Sesudah faktor naiknya permintaan, mari kita bahas disisi ketersediaan. Pertama, budidaya cabe itu mahal banget bro. Investasinya tinggi, per hektar bisa mencapai ratusan juta rupiah, padahal untuk komoditas pertanian lainya paling puluhan juta rupiah. Saya sendiri nanem di lahan 2000 meter persegi, belum juga mau panen, masih 2-3 bulan lagi, sudah habis puluhan juta rupiah. “Ya Allah yang maha pemberi rezeki, semoga panennya bagus dan masih menjumpai harga tinggi. Amin”.

Kedua, proses budidaya cabe memang sulit dan rumit. Bercocok tanam cabe jauh lebih njlimet dari urusan percintaan, nanem sayuran atau komoditas pertanian lainnya. Mulai dari persemaian, pengolahan lahan, pemasangan mulsa, ajir, pemupukan, sampai panen butuh perhatian ekstra. “Budidaya cabai seperti merawat perempuan, butuh perhatian dan kasih sayang, juga biayanya tinggi,” ujar petani senior di Purbalingga, mentor saya.

Salah satu yang membuat rumit adalah serangan hama dan penyakit untuk cabe yang sangat tinggi. Berbagai macam hama dan penyakit yang disebabkan organisme penggangu tanaman seperti, serangga, ulat, tungau, bakteri, virus, cendawan, jamur sudah mengintai mulai dari persemaian hingga panen. Oleh karena itu, budidaya cabe menjadi salah satu proses budidaya yang paling banyak makan pestisida. Jangan bandingkan nanem cabe satu dua pot di pekarangan dengan budidaya cabe di lahan luas ya... beda jauh seperti Mars dan Venus.

Berikutnya adalah soal cuaca. Cuaca banyak hujan seperti saat ini menyuburkan serangan hama dan penyakit juga mempersulit saat proses pemanenan. Wajar jika musim penghujan biasanya stok cabe memang menurun dan harga naik seperti saat ini. Kemudian, musim kemarau juga menjadi problem. Serangan hama memang menurun, panen mudah. tetapi susah disisi pengairan.

Faktor berikutnya yang membuat harga cabe bisa meroket adalah rantai distribusi dan konon ‘mafia’ percabean. Sebagai pakar amatir, hal ini saya kurang bisa menganalisis. Akan tetapi jelas ada faktor ‘x’ yang membuat fluktuasi harga cabe bisa demikian dahsyat. Tak masuk akal bahwa harga cabe pada pertengahan tahun lalu bisa hanya 5 ribu perak per kilo, ditingkat petani bahkan cuma 2 ribu perak sampai petani enggan manen, sementara sekarang ini bisa ratusan ribu. Apa hal itu hanya karena mekanisme pasar, kok sepertinya tidak. Lantas siapa yang lancang dan semena-mena menaik-turunkan harga cabe dan mengeruk keuntungan terbesar?

Oh ya, ngomong-ngomong, harga Rp 120 ribu di pasaran itu kalau ditingkat petani biasanya hanya setengahnya lho, bahkan seringkali kurang. Kalau cabe di pasaran laris manis tanjung kimpul, resiko tidak laku dan busuk rendah kan. Jadi, tahu kan siapa penikmat keuntungan terbesar dari tata niaga “Si Hot” itu? Ya, Anda benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun