Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Selamat Hari Santri (Nasional) Nahdatul Ulama

24 Oktober 2015   06:31 Diperbarui: 24 Oktober 2015   06:31 940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Spanduk Hari Santri Nasional (www.timesindonesia.co.id)"][/caption]Saya tergelitik dengan kontroversi Hari Santri Nasional yang baru saja ditetapkan oleh Presiden Jokowi dan dirayakan untuk pertama kalinya pada 22 Oktober kemarin. Sebenarnya, saya tidak tertarik dengan hari santri itu. Menurut saya, persoalan itu kurang penting ditengah berbagai persoalan genting lainnya yang tengah membelit bangsa ini, lagian saya juga bukan santri. Apalagi penetapanya memicu kontroversi dan polemik, itulah yang membuat saya tergelitik.

Kontroversinya adalah penetapan Hari Santri Nasional ditolak oleh ormas Islam, bukan main-main yang menolaknya, salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia yang juga memiliki banyak santri, Muhammadiyah. Menurut para petinggi Muhammadiyah, hari santri cenderung mengkotak-kotakan antara santri dan non santri, priyayi dan abangan, santri jadi eklusif. Hal itu, kata mereka, justru bisa memecah belah bangsa, menyemai bibit disintergari bangsa.

“Dalam pandangan kami penetapan Hari Santri potensial menimbulkan sekat-sekat sosial, melemahkan integrasi nasional, dan membangkitkan kembali sentimen keagamaan lama yang selama ini telah mencair dengan baik, ” kata Ketua Umum PP Muhamadiyah Haedar Nasir. Selengkapnya disini http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/10/20/nwhqkt335-ini-alasan-muhammadiyah-keberatan-dengan-hari-santri 

Komentar-komentar elit Muhammadiyah itu sama kurang pentingnya dengan penetapan  Hari Santri Nasional. Akan tetapi, saya mencoba memahami pendapat Pak Haedar dan kawan-kawan. Alasan mereka cukup rasional, namun saya lebih melihat alasan lain dibalik itu, yaitu, alasan ‘emosional’. Mereka sedang mewakili perasaan kalangan Muhammadiyah yang selama ini merasa di ‘istri tua’ kan oleh pemerintah. Pada Era Jokowi ini, Muhammadiyah seperti semakin menjadi istri tua yang tak bisa mematut diri. Alhasil, istri muda yang semakin dimanja dan disayang-sayang.

Muhammadiyah yang didirikan oleh ‘Sang Pencerah’ pada 18 November 1912 di Kauman, Jogja memang lebih tua dari Nahdatul Ulama yang didirikan oleh ‘Sang Kyai’ 13 tahun setelahnya, 31 Januari 1926 di Jombang.

Jadi, menurut saya, penolakan Muhammadiyah atas Hari Santri Nasional lebih dikarenakan alasan emosional. Hari Santri terkesan ‘hijau’ banget, nggak ada ‘biru-biru’-nya sama sekali, putih juga ndak. Penetapan Hari Santri Nasional berdasarkan usulan Nahdatul Ulama tanpa membahas dan mengajak ormas Islam yang lain, hari yang dipilih sebagai momen penetapan pun adalah hari dikumandangkanya Resolusi Jihad NU oleh Kyai Hasyim Asyari. Pada perayaan Hari Santri Nasional kemarin pun, NU banget lah. Saya menempuh perjalanan dari Purbalingga ke Semarang hari ini, sehari setelah perayaan Hari Santri Nasional, ada spanduk-spanduk ucapan selamat Hari Santri bertebara sepanjang jalan dari Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo, Temanggung, Ungaran sampai Semarang, 100 persen dibuat oleh DPC NU dan/atau PKB. Ada tulisan ‘Resolusi Jihad NU’ dengan latar belakang bola dunia hijau khas NU.

Duh, NU ya ‘nakal’, mentang-mentang sedang diatas awan, eh angin, masa ormas Islam yang lain nggak diajak-ajak, kan mereka punya santri juga.. hehe.

Nah, dalam hal ini, Presiden Jokowi juga kurang peka dalam menetapkan Hari Santri Nasional. Ia seperti suami yang terlena oleh istri muda, semua maunya dituruti tanpa pertimbangan mendalam. Saat Nahdatul Ulama ‘merengek’ meminta penetapan Hari Santri dengan senang hati dituruti. Yang disebelah sana, ‘istri tua’ pun cemburu buta jadinya. “Mas Joko, kamu pilih kasih Mas. Sebel akuuu. Maunya dia aja yang dituruti, maunya aku kapann??”.

Jadi, wajar bila Muhammadiyah kemudian keki dengan penetapan Hari Santri. Muhamadiyah merasa tak pernah ‘diajak’, maka, perasaan memiliki Hari Santri pun tak ada. Malah sebel dengan adanya Hari Santri. Mereka justru lebih melihat peluang bahwa penetapan Hari Santri bisa memecah belah bangsa. Alasan mereka yang menyebutkan bahwa penetapan hari santri akan membuat semakin runcing dikotomi santri dan non santri sebenarnya merupakan kamuflase dari alasan sebenarnya, yaitu, penetapan Hari Santri Nasional adalah bentuk pilih kasih Jokowi.

Sebagai presiden, mustinya beliau harus bijak dalam mengambil langkah. Seperti suami berpoligami, Ia seharusnya mengayomi dan bertindak adil atas istri-istrinya. Lah ini, bukannya ngadem-ademi malah manas-manasi. Ya, semakin kacau lah dunia persilatan.

Padahal, semua pasti sudah mahfum kalau dua ormas Islam terbesar di nusantara itu seteru, ya seperti sudah saya bilang, mirip istri tua dan istri muda gitu lah. Wong dalam menetapkan hari raya saja mereka berbeda, ada Idul Fitri versi NU dan Muhammadiyah seperti yang akhir-akhir ini sering terjadi. Selain soal lebaran, banyak perbedaan prinsip antar kedua ormas terbesar di Indonesia itu yang sering menjadi sumber gesekan di masyarakat. Nah, dengan adanya Hari Santri Nahdatul Ulama, perseteruan kedua kubu semakin runcing saja. Muhamadiyah tampaknya sudah menjadi semakin mantap menjadi seperti ‘ormas Islam oposisi’ dan NU menjadi ‘ormas Islam penguasa’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun