Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengembalikan Kejayaan Tembakau Purbalingga

11 Juli 2019   06:39 Diperbarui: 11 Juli 2019   06:57 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karyawan PT GMIT Bubar (Sumber : www.purbalingga-info.blogspot.com)

"Karyawan PT GMIT Bubar", kalimat singkat itu menjadi keterangan sebuah foto jadul ber-tone shepia yang ada di kumpulan foto bertajuk 'Photo-Photo Purbalingga Tempo Dulu' yang diunggah situs http://purbalingga-info.blogspot.com. Tak tampak keterangan lokasi dan tahun namun jelas terlihat papan nama bertuliskan PT GMIT. 

Pada foto itu terpampang aktivitas karyawan pabrik saat lepas kerja. Ada becak yang mengantar-menanti penumpang, ada yang menggunakan sepeda bahkan ada yang dijemput dengan menggunakan sepeda motor.

Untuk ukuran Purbalingga kala itu, PT GMIT merupakan pabrik yang tergolong besar. Pabrik pengolahan tembakau berkualitas ekspor itu mempekerjakan ratusan pekerja.

"Saya masih ingat waktu kecil sering melihat karyawan GMIT pulang kerja. Pekerjanya klimis-klimis dan kelihatan lebih sejahtera, beda dengan karyawan pabrik lain yang kelihatan lebih kucel," ujar Adi Purwanto, warga Babakan yang juga anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Purbalingga dalam Focus Group Discussion (FGD) 'Sejarah Tembakau di Purbalingga dan Perkembangannya' yang diselenggarakan oleh Bagian Perekonomian, Sekretariat Daerah di Warung Djoglo, Selasa, (09/07).

Saat itu, kata Adi, di sekitar GMIT sudah ada pabrik rambut palsu dan pabrik pengolahan mie. "Saat pulang saya bisa membedakan mana karyawan GMIT mana karyawan pabrik yang lain, karyawan GMIT yang paling klimis," ujarnya mengenang.

Selain itu, jika warga sekitar Kandanggampang ingin menyaksikan siaran televisi yang merupakan barang mewah kala itu, mereka akan berbondong-bondong ke rumah mandor PT GMIT yang tak jauh dari pabrik. 

Para pekerja GMIT juga banyak yang menggunakan sepeda atau sepeda motor yang saat itu kepemilikannya masih terbatas.

GMIT yang merupakan akronim dari Gading Mas Indonesian Tobacco memang perusahaan pengolah tembakau yang cukup besar di Kabupaten Purbalingga. 

Produknya merupakan tembakau berkualitas pembungkus cerutu yang diekspor ke Bremen, Jerman. Saat itu, industri tembakau pernah berjaya dan menjadi sandaran hidup warga masyarakat kabupaten di kaki Gunung Slamet itu.

Tokoh Masyarakat Purbalingga Tri Daya Kartika menyatakan GMIT merupakan peralihan dari Tobbaco Indonesia Coorporation (TIC) yang kemudian dinasionalisasi setelah era kemerdekaan. 

"GMIT ini perusahaan yang terkemuka waktu itu, gudangnya saja besar-besar, berjumlah puluhan dan tersebar di berbagai wilayah Purbalingga," katanya.

Menurutnya, di Wilayah Kecamatan Padamara dan Kutasari saja ada setidaknya empat gudang tembakau, yaitu di Padamara, Kalitinggar, Karangaren dan Karanggambas. 

Gudang tembakau GMIT juga ada di Desa Beji dan Pagutan yang menampung tembakau dari Kecamatan Bojongsari. Lalu, ada gudang tembakau di Desa Kalapacung, Gunung Karang dan Karangduren yang menampung produksi tembakau dari Kecamatan Karangreja dan Bobotsari.

Gudang tembakau itu, selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan juga tempat untuk ngomprong daun tembakau. Oleh karena itu, Tri Daya meyakini jika lahan tembakau di Purbalingga saat itu sangat luas. "Mungkin bisa sampai ribuan hektar karena gudangnya besar-besar dan ada dimana-mana," katanya.

Salah Satu Gudang Tembakau di Dekat Stasiun Kandanggampang (www.purbalingga-info.blogspot.com)
Salah Satu Gudang Tembakau di Dekat Stasiun Kandanggampang (www.purbalingga-info.blogspot.com)

Kejayaan tembakau di Purbalingga ternyata tercatat jauh sebelum GMIT berdiri. Hasil penelusuran Ganda Kurniawan, Sejarawan Purbalingga, menyebutkan bahwa sebelum tahun 1900-an sudah ada perkebunan tembakau yang beroperasi di wilayah Purbalingga. 

Sebab, dalam buku De Tabaksplantages Op Sumatra, Java en Borneo terbitan Amsterdam tahun 1906 yang ditulis oleh J.H. Lieftinck & Zoon di wilayah Karesidenan Banyumas ada 4 perusahaan tembakau, dua diantaranya ada di wilayah Purbalingga.

Pertama ada perusahaan De Erven de wed. J. van Nelle yang pimpin oleh H. Burgmans. Perusahan itu memproduksi tembakau dengan merk Van Nelle dikenal tidak hanya di Indonesia namun dipasarkan hingga ke eropa oleh perusahaan yang berbasis di Rotterdam itu. 

Burgmans bahkan meninggal dan dimakamkan di Kerkhof Purbalingga. Kedua, perusahaan bernama Kandanggampang Mulder Redeker & Co yang dipimpin oleh Cornelis Johannes.

Iklan Tembakau Van Nelle (sumber : www.artnet.com)
Iklan Tembakau Van Nelle (sumber : www.artnet.com)

Ganda juga mempelajari peta-peta terbitan era kolonial yang menjadi koleksi perpustakaan Universitas Leiden. Pada peta dengan titi mangsa 1917 tercatat beberapa gudang tembakau yang disebut dengan Tabakloodsen, diantaranya ada di Kelurahan Kandanggampang, Desa Penaruban yang berada di dekat jembatan lama Sungai Klawing, Desa Karanglewas dan Walik di Kecamatan Kutasari serta Desa Pagutan, Kecamatan Bojongsari.

Lalu, pada peta Belanda terbitan 1944 juga tercatat ada gudang tembakau di Kelurahan Karangsentul yang sekarang menjadi Gudang Bulog, satu gudang di Dusun Planjan, Kecamatan Kalimanah dan tiga gudang di Desa Patemon, Kecamatan Bojongsari.

Hal itu juga diperkuat oleh penelusuran Anita Wiryo Raharjo, blogger pemerhati sejarah Purbalingga. Ia menyebutkan tak hanya Belanda yang mempunyai perusahaan tembakau, konglomerasi Tionghoa juga sudah terjun mengolah daun penghasil nikotin itu. 

Pada buku Cultuur-Adresboek Voor Nedherlandsch-Indie terbitan tahun 1937, tercatat seorang konglomerat bernama Kwee Lie Keng memiliki perkebunan Tembakau  bernama "Gwan Lie Handels en Cultuur" yang didirikan pada 1935.

Thee Tjap Nanas Doea produksi Kwee Lie Keng (Sumber : www.onokuno-kuno.blogspot.com)
Thee Tjap Nanas Doea produksi Kwee Lie Keng (Sumber : www.onokuno-kuno.blogspot.com)

Selain mengolah tembakau, perusahaan Kwee Lie Keng juga memproduksi teh yang cukup terkenal kala itu dengan merek 'Thee Tjap Nanas Doea'. Rumah Kwee Lie Keng sekarang masih berdiri di Jalan Wirasaba (Gang Mayong), sebelah pintu masuk GOR Mahesa Jenar.

Tinggal Kenangan

Namun sayang, jejak kejayaan tembakau di Purbalingga sudah hampir hilang. Peninggalan perusahaan tembakau milik Belanda atau Tionghoa sudah tidak tersisa. 

PT GMIT sendiri sudah berhenti beroperasi pada 1980an dan gedungnya saat ini sudah menjadi pabrik buku mata palsu PT Indokores Sahabat. Keberadaan gudang-gudang tembakau pun tinggal cerita.

Lahan Tembakau di Desa Kutabawa yang Ditanam Tumpangsari dengan Tanaman Sayuran (Foto Dok. Pribadi)
Lahan Tembakau di Desa Kutabawa yang Ditanam Tumpangsari dengan Tanaman Sayuran (Foto Dok. Pribadi)

Petani di Purbalingga pun sudah hampir lupa bahwa dulu mereka pernah membudidayakan tanaman dengan namalatin Nicotiana Tabacum itu. Data dari Dinas Pertanian, tanaman tembakau di Purbalingga hanya tersisa sekitar 12 hektar, sebagian besar di Desa Kutabawa dan Serang, Kecamatan Karangreja. Itupun bukan tanaman utama dan lebih banyak digunakan untuk keperluan sendiri.

"Kami menanam dengan sistem tumpang sari dan hanya setahun sekali di sekitar pematang tanaman sayuran," ujar Fachrudin, Ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Kutabawa saat ditemui penulis di rumahnya.

Tembakau yang ditanam merupakan tembakau lokal yang benihnya turun-temurun. Musim tanam tembakau pada Maret-April dan akan panen pada Juni-Agustus. 

Menurut Fachrudin, tanaman tembakau masih banyak dibudidayakan sampai era tahun 1990-an. Namun, perlahan terdesak tanaman sayuran seperti kentang dan cabe yang dinilai lebih menjanjikan dari sisi ekonomi.

Selain faktor ekonomi, perkembangan tembakau Purbalingga juga surut karena terdesak industri rokok modern. Hal itu diungkapkan oleh Abdul Azis Rasjid, Jurnalis yang memperoleh Fellowship Membaca Kretek dengan meliput perkembangan tembakau di Purbalingga. Menurutnya, selain banyak petani menggantungkan hidupnya pada pertanian tembakau, di Purbalingga juga bertebaran toko-toko tembakau.

"Toko tembakau itu adalah tempat bersosialisasi warga, jika mau 'udud mbako' pelanggan tinggal memilih tembakau dalam toples-toples kaca, seperti kita ngopi di kafe saat ini," katanya.

Namun, munculnya industri rokok membuat budaya 'udud mbako' beralih ke rokok kretek dan filter. Peralihan itu juga memukul toko-toko tembaku yang perlahan kehilangan pelanggan. Salah satu toko tembakau yang dulu sangat terkenal adalah Toko Kumpul yang ada di depan Pasar Purbalingga (Saat ini sudah menjadi Taman Kota Usman Janatin). "Bicara tembakau tidak hanya soal budidaya tetapi ada persoalan budaya disitu juga politik dagang," katanya.

Toko Tembakau Kumpul di Depan Taman Kota Usman Janatin (Sumber : www. merdeka.com)
Toko Tembakau Kumpul di Depan Taman Kota Usman Janatin (Sumber : www. merdeka.com)

Sementara itu, Kepala Bagian Perekonomian Sekretarat Daerah Kabupaten Purbalingga Edhy Suryono menyebutkan Purbalingga sampai saat ini memang tak tercatat sebagai daerah penghasil tembakau. 

"Kita mendapatkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) karena ada setoran cukai dari pabrik rokok yang beroperasi di wilayah kita, bukan karena penghasil tembakau," katanya.

Menurutnya ada 2 perusahaan penyetor cukai hasil tembakau di Kabupaten Purbalingga, yaitu, PT Mitra Karya Tri Utama (MKTU) yang merupakan rekanan PT HM. 

Sampoerna dan CV King Brewery, produsen liquid vape. "Setoran cukai kita pada tahun 2019 cukup besar, sekitar Rp 145 milyar dan yang dialokasikan kembali dalam bentuk DBHCHT sekitar Rp. 6,8 milyar," ujarnya.

Sebagai Informasi, dasar pembagian DBHCHT adalah setoran cukai hasi tembakau dan produksi tembakau. Oleh karena itu, Bagian Perekonomian selaku Sekretariat DBHCHT ingin mendorong agar purbalingga bisa kembali diakui sebagai daerah penghasil tembakau sehingga alokasi DBHCHT pun bisa naik. 

"Kita memiliki sejarah manis kejayaan industri tembakau, dengan kerjasama berbagai stakeholder kejayaan itu bukan tidak mungkin akan kita raih kembali," katanya.

Belajar Dari Sejarah

Budayawan Purbalingga Agus Sukoco menyatakan bahwa fakta-fakta bahwa Purbalingga pernah mengalami kejayaan tembakau bisa menjadi kaca benggala untuk bisa belajar pada sejarah.  

Ia meyakini keputusan Belanda untuk menanam tembakau dan komoditas perkebunan lainnya di Purbalingga dengan pertimbangan dan penelitian mendalam sehingga bisa berhasil dengan baik.

"Jadi, sebenarnya kita tinggal merawat dan menduplikasi warisan Belanda jika ingin mengembalikan kejayaan tembakau di Purbalingga," katanya.

Agus menilai Pemerintah Kabupaten Purbalingga perlu mempelajari sejarah untuk membuat berbagai kebijakan yang tepat sasaran. "Kita dikaruniai lahan yang demikian subur, berarti Tuhan menugaskan kita untuk mengolah lahan subur itu. Jangan lari dari anugerah Tuhan jika kita ingin maju dan berkembang," katanya

Tindak Lanjut

Sementara itu, Bappelitbangda menyatakan siap untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan pengembangan tembakau di Purbalingga. "Tahun 2020 bisa kita anggarkan demplot-demplot dan pendampingan petani tembakau," ujar Sukram, Kepala Bidang Ekonomi Bappelitbangda Kabupaten Purbalingga. Demplot tersebut akan menjadi percontohan untuk memotivasi petani kembali membudidayakan tembakau.

Selain di sektor hulu yang terkait dengan budidaya, juga ada usulan dari TACB agar dibangun Museum Mini Tembakau Purbalingga. "Museum itu bisa dibangun di situs tempat GMIT dulu beroperasi, yaitu di wilayah Kelurahan Kandang Gampang yang saat ini sudah menjadi PT Indekores Sahabat," kata Adi Purwanto, anggota TACB.

Museum tersebut bisa menjadi pengingat bahwa di Purbalingga pernah mengalami kejayaan tembakau. Isi museum bisa merupa dokumentasi mengenai pabrik-pabrik tembakau, alat-alat pengolah tembakau dan benda-benda yang terkait dengan industri serta budidaya tembakau.

Selain itu, Kepala Bidang Pariwisata Prayitno mengusulkan agar pengembangan industri tembakau bisa disinkronisasikan dengan pengembangan pariwisata. "Selama ini kalau ingin karya wisata industri biasanya hanya ke pabrik permen davos atau ke pabrik rambut, kenapa tidak nantinya kita bisa karyawisata ke kebun tembakau dan pabrik rokok," ujarnya.

Semoga kejayaan tembakau di Purbalingga bisa kembali lagi. Amin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun