Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Longsor Sirnaresmi dan Lunturnya Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan

3 Januari 2019   11:46 Diperbarui: 3 Januari 2019   12:06 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Longsor Sirnaresmi (Tribunews)

Saya pernah berkunjung ke Desa Adat Sirnaresmi, Cisolok, Sukabumi 15 tahun silam. Saat itu, desa yang masyarakatnya masih memegang teguh adat itu tengah merayakan Seren Taun, upacara ungkapan terimakasih kepada Tuhan yang telah memberikan berkah berupa panen padi yang melimpah. Sirnaresmi memang merupakan salah satu bagian dari Masyarakat Adat Kasepuhan Banten Kidul yang masih bertahan ditengah arus modernisasi.

Sebagai Masyarakat Adat, Warga Kasepuhan mempunyai aturan adat yang mengikat dalam setiap sendi kehidupan, begitupula dalam pengelolaan lingkungannya. 

Penelitian saya untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor kebetulan mengenai Masyarakat Adat Kasepuhan, khususnya mengenai kearifan lokal mereka dalam pengelolaan hutannya. 

Kurang lebih 1,5 tahun saya bolak-balik ke wilayah Masyarakat Adat Kasepuhan yang ada di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, selain dalam rangka riset studi juga sebagai salah satu relawan dari Rimbawan Muda Indonesia (RMI), LSM yang fokus mengadvokasi masyarakat di sekitar kawasan taman nasional tersebut.

Gunung Halimun Berselimut Kabut (Revolvy.com)
Gunung Halimun Berselimut Kabut (Revolvy.com)
Secara umum, masyarakat adat kasepuhan mempunyai filosofi yang kurang lebih sama dalam pengelolaan tata ruangnya. Kearifan lokal mereka menghasilkan sebuah rancangan tata ruang dan wilayah yang sangat ramah lingkungan. 

Hal itu diejawantahkan dalam petuah leluhur yang dipegang erat : "gunung kayuan, lamping awian, lebak sawahan, legok balongan dan datar imahan". Filosofi adat ini mengajurkan kepada segenap warga kasepuhan untuk melaksanakan pengelolaan dan pemanfaatan lahan didasarkan pada kontur dan tingkat kemiringan tanah.

Gunung kayuan, gunung sebagai wilayah yang mempunyai kelerengen paling curam dan rawan longsor, tanamilah dengan anekaragam kayu. Tanaman keras yang berakar kuat dan dalam secara ilmiah sangat baik untuk konservasi, kumpulan tanaman keras akan membentuk sebuah ekosistem yang baik sebagai daerah penyangga air (buffer zone) dan menjaga keanekaragaman hayati. Gunung yang biasanya berupa hutan (leuweung) ini memang sangat dihormati Masyarakat Kasepuhan.

Mereka secara khusus membagi hutan dalam tiga kategori utama, yaitu, pertama hutan larangan (leuweung larangan) biasanya ada situs bersejarah atau tempat ritual didalamnya yang harus dijaga bersama. Masyarakat kasepuhan dilarang keras untuk merusak hutan ini. Kedua, leuweung kolot / geledegan yaitu hutan yang dimanfaatkan sebagai kawasan konservasi dan penjaga mata air (sirah cai). 

Hutan ini bisa kitas sebut dalam zonasi wilayah hutan modern sebagai hutan lindung yang dimanfaatkan terbatas dengan aturan yang ketat. Ketiga, adalah luweung cawisan atau jika diistilahkan saat ini sebagai hutan produksi. Masyarakat diperbolehkan memanfaatkan hutan ini untuk diambil kayunya bahkan untuk berhuma namun juga diatur agar bisa tetap lestari.

Lamping awian yaitu lahan-lahan curam disarankan untuk ditanami awi / bambu. Bambu dikenal sebagai tanaman yang perakarannya kuat sehingga dapat menahan longsor. Bambu juga baik untuk menampung air dan pemanfaatanya luas untuk kebutuhan perkakas maupun papan. Prinsip ini jelas sangat selaras dengan kaidah konservasi.

Lebak sawahan yaitu kontur di bawah atau di kaki gunung yang agak berada di lembah dimanfaatkan untuk sawah yang ditanami padi. Kemudian, legok balongan yang berarti tempat yang legok  dan bisa menyimpan air sebaiknya dimanfaatkan sebagai kolam. Sawah dan balong / kolam ini akan menjadi sumber pangan bagi masyarakat. Kemudian, datar imahan yaitu lahan yang datar / landai jauh dari tebing dan tidak berbahaya, itulah yang dijadikan sebagai pemukiman.

Jika melihat prinsip tata ruang adat tersebut, jelas masyarakat adat kasepuhan dilarang untuk membangun rumah di lereng-lereng terjal. Lahan yang mempunyai kemiringan curam juga tidak disarankan untuk menjadi areal persawahan. Namun, rupanya keterbatasan lahan dan desakan kebutuhan hidup mendorong maraknya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai penggunaannya secara adat maupun kaidah konservasi untuk pemukiman dan sawah (Koran Kompas, Kamis, 03/01/18).

Hal itu pun diakui oleh Abah Asep Nugraha, sesepuh adat Sirnaresmi. Menurutnya, warga minim pilihan ditengah meningkatnya kebutuhan penduduk akan sandang dan papan. Kampung Cimapag, kata Abah, merupakan kampung perluasan yang dibuka pada 1941 dan baru mulai tahun 1960-an warga mengolah lereng diatas pemukiman itu sebagai sawah. 

Lahan yang diajarkan leluhur ditanami bambu atau tanaman keras namun dijadikan sawah itulah yang kemudian longsor dan menimbulkan bencana di malam tahun baru 2019.

Kejadian ini, semestinya kita jadikan kaca benggala, alam mempunyai cara sendiri untuk menjaga keseimbangan. Para leluhur sudah memberikan petuah, petunjuk dan pedoman untuk hidup yang harmonis serta selaras dengan alam. Kita, sebagai generasi penerus sebaiknya bijak dan menghormati kearfian lokal yang diturunkan para leluhur.

Mari bersama jaga lingkungan, alam dan hutan kita untuk masa depan yang lebih baik.

Nyoreang Alam Katukang, Nyawang Anu Bakal Datang

Salam Lestari!

Lestari Alamku, Lestari Hutanku, Lestari Indonesiaku

(Gunanto ES, E14101055)

Gunanto ES, E14101055

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun