Mohon tunggu...
Igoendonesia
Igoendonesia Mohon Tunggu... Petani - Catatan Seorang Petualang

Lovers, Adventurer. Kini tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Wong Alas" di Pedalaman Hutan Purbalingga, Mitos atau Fakta?

20 November 2017   22:26 Diperbarui: 21 November 2017   18:30 12584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dikusi Wong Alas Di Pedalaman Hutan Purbalingga : Mitos atau Fakta? (Dok PPA Gasda)

Wong Alas atau Suku Pijajaran atau disebut juga sebagai Suku Carang Lembayung merupakan kisah turun temurun yang beredar di kalangan masyarakat sepanjang koridor pegunungan sebelah utara Purbalingga yang membentang dari Desa Gunung Wuled, Panusupan, Tanalum di Rembang, kemudian ke Desa Sirau dan Kramat di Desa Tunjungmuli lalu di Desa Jingkang, Kecamatan Karangjambu dan Gondang, Kecamatan Karangreja hingga perbatasan dengan Desa Watukumpul yang masuk wilayah Kabupaten Pemalang.

Banyak versi kisah suku tersebut, juga berbagai persentuhan dengan mereka yang berkelindan antara legenda (folklore), mistis dan mitos sehingga keberadaan Wong Alas tersebut masih menjadi misteri hingga sekarang. Kabut masih menyelimuti mereka yang mengundang penasaran khalayak. Mereka ini hanya sekedar mitos berbalut mistis belaka atau fakta yang benar adanya?

Itulah yang coba didiskusikan tadi malam, Minggu, 19 November 2017 di Aula Kedai Kebun, Purbalingga. Berbagai elemen masyarakat, seperti, pecinta alam, budayawan, akademisi, birokrasi, pemerhati dan masyarakat lainya berbagi pengalaman, testimoni dan pengetahuan untuk menyibak kabut keberadaan Wong Alas di pedalaman hutan Purbalingga.

Kisah yang umum beredar, asal muasal legenda Suku Pijajaran tak bisa lepas dari Syekh Jambu Karang. Ia tadinya adalah bangsawan dari Kerajaan Pajajaran bernama Raden Mundingwangi yang menyepi sampai ke wilayah Pegunungan Ardi  Lawet. Rombongan mereka bertemu dengan Syekh Atas Angin, seorang penyebar agama Islam dan terjadi adu ilmu kesaktian. 

Raden Mundingwangi kemudian kalah dan menyatakan diri masuk Islam serta berganti nama menjadi Syech Jambu karang.  Namun, ada sebagian rombonganya yang tidak mau mengikuti keyakinan baru pimpinannya itu dan memilih untuk tetap menetap di hutan belantara. Inilah yang menjadi Suku Pijajaran atau Wong Alas tersebut.

Saat ini, petilasan Syekh Jambu Karang ada di Desa Panusupan, Kecamatan Rembang dan menjadi salah satu obyek wisata religius yang banyak dikunjungi peziarah. Namanya juga diabadikan menjadi salah satu nama jalan utama di sekitar alun-alun Purbalingga. Sementara, Makam Syekh Atas Angin juga ada di Desa Gunung Wuled, Kecamatan Rembang.

Berlatar cerita tersebut, masyarakat di sekitar pegunungan Ardi Lawet meyakini keberadaan mereka hingga kini. Namun mereka dinilai bukanlah manusia biasa seperti kita, melainkan manusia yang memiliki kelebihan khusus. "Suku Pijajaran disebut manusia setengah harimau dan memiliki berbagai kemampuan supranatural sehingga masyarakat menghormatinya dan enggan untuk bersentuhan dengan mereka. Saya meyakini mereka itu ada, akan tetapi tidak seperti kita," kata pemerhati Sejarah Purbalingga, Catur Purnawan.

Ciri fisik Suku Pijajaran, keta Catur, seperti manusia biasa. Hanya saja mereka tidak memiliki tumit atau cenderung berjalan jinjit dan tidak memiliki 'gumun' alias lekukan dibawah hidung.

Catur, yang leluhurnya berasal dari Desa Jingkang, Kecamatan Karangjambu juga mengaku sudah pernah berada di perkampungan Wong Alas. "Saya pernah berada disana tetapi kemudian setelah keluar berubah menjadi hutan belantara lagi, "katanya.

Suasana Diksusi Menyingkap Kabut Keberadaan Wong Alas (Dok. PPA Gasda)
Suasana Diksusi Menyingkap Kabut Keberadaan Wong Alas (Dok. PPA Gasda)
Persentuhan dengan Wong Alas

Fariz, warga Desa Kramat, Kecamatan Karangmoncol masih ingat betul kejadian sekitar 5 tahun silam. Ia dan rombonganya dicegat orang yang tidak dikenal saat melintasi hutan. Mereka meminta seekor ayam yang dibawanya. "Kami sampai rebutan ayam dengan mereka," katanya. Rombongan orang tersebut, kata Fariz, memiliki ciri-ciri yang sama dengan manusia biasa hanya berpakaian seadanya dan tidak banyak bicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun