Mohon tunggu...
Sosbud

Kesetaraan Wanita dan Pria, Pentingkah?

4 Mei 2016   10:34 Diperbarui: 4 Mei 2016   10:43 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah menjadi rahasia umum jika perjuangan R.A. Kartini melalui ide – ide yang dituliskan melalui suratnya untuk para sahabatnya merupakan upaya agar wanita mendapatkan posisi dan kesempatan yang sama dengan pria. Kesempatan yang diberikan kepada kaum wanita pada zaman dahulu tidaklah seimbang dengan apa yang dimiliki oleh kaum pria. Kesempatan tersebut bisa dalam bentuk kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tinggi, berkiprah dalam masyarakat, dan kesempatan untuk memiliki penghasilan sendiri.

Saat itu, hanya kaum prialah yang mendapatkan semua kesempatan di atas, dan hingga saat ini pun ketika zaman sudah banyak berubah ketimpangan tersebut tetap tampak, dan wanita tetap menjadi warga negara kelas dua.

Bentuk “penindasan” terhadap kaum wanita sebenarnya merupakan akibat dari pemikiran – pemikiran atau paham – paham yang berkembang saat itu dan sekarang ini, salah satunya adalah paham Familialisme. Paham ini menuntut perempuan untuk menjadi ibu yang baik, pengasuhan anak menjadi tanggung jawab seorang ibu, dan perempuan wajib mengurus rumah tangga. Berdasarkan paham ini, maka seorang wanita dirasa tidak perlu memiliki tingkat pendidikan yang tinggi karena pada akhirnya nanti hanya akan mengurus rumah tangga saja.

Paham selanjutnya adalah Maskulinisasi, dimana sektor – sektor pekerjaan yang semula didominasi oleh perempuan, sedikit demi sedikit sudah mulai diambil alih oleh kaum pria. Misalnya pekerjaan memasak, yang semula sangat kental dominasinya oleh kaum wanita, maka saat ini kaum pria mulai “mengambil alih”. Contoh lainnya adalah profesi sebagai perawat, dimana saat ini, kebutuhan akan perawat pria semakin tinggi. Menurut paham ini, kaum pria harus mendapatkan prioritas dalam mendapatkan pekerjaan bila dibandingkan dengan wanita.

Paham selanjutnya adalah apa yang disebut dengan pandangan Misoginis. Pandangan ini merupakan bentuk kegusaran kaum pria terhadap derajat keberadaanya yang dipersamakan dengan kaum wanita. Pandangan Misoginis langgeng hingga saat ini karena  adanya dukungan dari otoritas agama, dimana pihak perempuan dipandang sebagai sumber kejahatan, birahi dan dekadensi moral yang akan menjerumuskan laki – laki ke dalam neraka (Abdullah, 1997, p. 63). Dengan demikian, perempuan tidak perlu dipersamakan hak – hak nya dengan laki – laki.

Beberapa paham di atas telah memicu gerakan – gerakan dan paham – paham perlawanan dari kaum wanita untuk diberikan kesempatan yang sama dengan pria di segala bidang. Salah satunya adalah paham Feminism dimana wanita merasa berhak untuk disetarakan dengan pria dalam segala bidang, baik dalam pendidikan, ekonomi, peran dalam masyarakat, politik, dan juga berhak untuk diberikan kesempatan mengerjakan pekerjaan – pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh kaum pria.

Pandangan Feminisme mempertanyakan mengapa peran wanita dan pria ditentukan oleh ideologi gender? Ideologi gender inilah yang membentuk budaya bahwa wanita tidak perlu memiliki pendidikan tinggi karena nantinya hanya akan mengurus keluarga, sedangkan pria perlu memiliki pendidikan tinggi karena nantinya pria akan menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab akan kelangsungan hidup keluarganya.

Meskipun zaman telah berubah dan wanita sudah mendapatkan kesempatan untuk memiliki pendidikan tinggi, pekerjaan dan peran yang lebih luas lagi dalam masyarakat, perlakuan tidak adil tetap mereka dapatkan. Misalnya perbedaan upah dengan pria, mengalami pelecehan di lingkungan kerjanya, dan yang lebih parah lagi adalah kaum wanita dinilai dengan standar ganda oleh masyarakat. Pengertian standar ganda adalah wanita dianggap salah jika tidak dapat membantu suaminya dalam memperbaiki keadaan ekonomi rumah tangganya, tetapi dilain pihak wanita juga dianggap salah jika tidak mengurus keluarganya, mengasuh dan mendidik anak dengan baik.

Sebenarnya yang membedakan wanita dan pria hanyalah adanya siklus menstruasi, adanya kemampuan untuk melahirkan, dan adanya kemampuan untuk menyusui. Lantas bagaimana dengan “naluri”? Apakah naluri juga dapat dipandang sebagai sesuatu yang kodrati? Secara umum, wanita memiliki naluri keibuan dimana mengasuh, mendidik dan membesarkan anak menjadi ciri yang utama. Benarkan hanya wanita saja yang memiliki “naluri” tersebut? Apakah seorang Ayah tidak memiliki naluri tersebut? Bukankan seorang Ayah juga memiliki kemampuan untuk mendidik dan membesarkan anak? Ataukah “naluri” itu sendiri merupakan produk dari budaya patriarki yang sudah sejak lama ditanamkan?

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun