Mohon tunggu...
Aryono Putranto
Aryono Putranto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pembelajar yang tinggal di kota pelajar

(semoga) menjadi penulis yang kritis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penanaman Nilai Kebangsaan pada Mahasiswa di Era Teknologi Informasi pada Negara Demokratis

12 Juni 2019   15:03 Diperbarui: 12 Juni 2019   15:26 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Saat ini masyarakat kita sedang merasakan hidup di negara demokratis yang pada kenyataannya justru mencederai arti demokratis itu sendiri. Kebebasan berpendapat yang selama ini dianggap mewakili elemen demokratis, pada beberapa peristiwa justru menjadi kebebasan berpendapat yang tidak bertanggungjawab. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya informasi yang beredar melalui sarana teknologi informasi dan sangat diragukan kebenarannya. Informasi-informasi tersebut cenderung menyesatkan dan menyudutkan golongan-golongan tertentu sehingga dapat mencederai nilai-nilai kebangsaan dalam diri masyarakat Indonesia.

Indonesia juga dikenal sebagai negara yang memiliki jumlah mahasiswa sangat besar. Hal ini tercermin dari jumlah perguruan tinggi yang terdaftar di Indonesia berdasarkan data Kementerian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti) tercatat sebanyak 4.504 unit. Dengan banyaknya perguruan tinggi yang sekaligus banyak mendidik mahasiswa untuk menjadi sarjana, maka penanaman nilai kebangsaan di universitas menjadi sangat penting. 

Apalagi di era teknologi informasi seperti saat ini, mahasiswa sebagai kaum intelektual tentu juga sangat lekat dengan piranti berbasis teknologi informasi yang mampu menawarkan ketersediaan berbagai macam informasi. Banyaknya konten informasi dari sarana teknologi informasi digital yang rentan mencederai nilai kebangsaan juga tidak menutup kemungkinan masuk ke dalam kalangan mahasiswa. Jika para mahasiswa yang demikian banyak jumlahnya tidak dibekali dengan nilai-nilai kebangsaan yang kuat, bisa muncul kemungkinan mereka akan terjerumus ke dalam hal-hal tersebut. 

Penanaman nilai-nilai kebangsaan ini bisa menjadi perwujudan dari prinsip kemanusiaan (humanitis) yang juga tidak bisa dilepaskan dari prinsip demokrasi. Hal ini seperti yang dituliskan oleh Nussbaum (2010) dalam bukunya yang berjudul Not for Profit: Why Democracy Needs the Humanities, sebagaimana tercantum dalam tulisan Di Leo (2013), Nussbaum mengemukakan bahwa penyerangan terhadap kemanusiaan, dapat juga diartikan sebagai penyerangan terhadap pendidikan yang demokratis.

Seperti yang pernah saya alami ketika mengikuti kegiatan pelatihan tentang kebangsaan di sebuah Sekolah Tinggi Agama Islam di Magelang, semua peserta pada kegiatan tersebut adalah mahasiswa yang memiliki perbedaan latar belakang (agama, pendidikan, dan lainnya) tetapi memiliki kesamaan dalam satu hal yaitu sama-sama memiliki niat dan semangat untuk merawat nilai-nilai kebangsaan dan keberagaman di negara ini. Banyak pelajaran menarik yang kami dapatkan di sana, bahkan kegiatan tersebut juga mendapat dukungan dari para dosen, baik dosen yang mengutus kami untuk mengikuti kegiatan tersebut (karena kami berasal dari berbagai perguruan tinggi) maupun para dosen di tempat kami mengikuti kegiatan tersebut. 

Saya secara pribadi merasakan bahwa ketika kegiatan berbasis kebangsaan seperti ini juga mendapat dukungan dari para dosen maupun institusi perguruan tinggi, maka hal ini dapat semakin menguatkan proses internalisasi nilai-nilai kebangsaan dalam diri para mahasiswa. Selain itu, dengan adanya peran dari institusi perguruan tinggi, juga akan semakin menguatkan imej perguruan tinggi sebagai lembaga yang berfokus pada bidang pendidikan. Kondisi ini akan semakin menguatkan hubungan antara pendidikan (demokratis) dengan nilai-nilai kebangsaan. 

Apabila kekuatan hubungan ini dapat selalu dipertahankan terutama di era teknologi informasi semacam ini, maka akan semakin terwujud juga sistem pendidikan tinggi yang berakar dari karakteristik utama  sistem tersebut yaitu lebih mengutamakan nilai-nilai universal. Seperti yang diargumentasikan oleh Martin Trow sebagaimana dikutip oleh Barnett (2012). Trow mengatakan bahwa karakteristik pendidikan tinggi, kurikulum, dan pedagogi telah mengalami perubahan dari sistem elit menuju kepada sistem yang lebih universal. 

Saya sependapat dengan argumen ini. Ketika institusi pendidikan tinggi (dan segala komponennya, termasuk mahasiswa) mampu menguatkan nilai-nilai kebangsaan dan menjadikannya sebagai bagian dari pendidikan, maka institusi pendidikan tersebut akan cenderung lebih mudah dalam menerima nilai-nilai yang bersifat universal. Institusi pendidikan dan segala komponennya akan lebih terbuka dalam berinteraksi dengan hal-hal yang bersifat plural.

Untuk mengakhiri tulisan singkat ini, saya akan kembali kepada kalimat dari Bung Karno yang telah saya tuliskan di awal, yaitu ketika nilai kebangsaan sudah semakin tertanam kuat dalam diri mahasiswa dan salah satu pihak yang terlibat dalam proses ini adalah institusi perguruan tinggi, maka saya yakin bahwa semua elemen dalam dunia pendidikan tinggi akan mampu mewujudkan negara Indonesia yang satu, tidak akan terpecah belah oleh provokasi apapun di tengah dunia yang penuh dengan keterlibatan sarana teknologi informasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun