Mohon tunggu...
Aryono Putranto
Aryono Putranto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pembelajar yang tinggal di kota pelajar

(semoga) menjadi penulis yang kritis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memaknai Rabu Abu di Tengah Hiruk Pikuk Persiapan Pesta Demokrasi

9 Maret 2019   12:29 Diperbarui: 9 Maret 2019   12:55 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dering dan getar gawai di atas meja menghentak, membuyarkan kesunyian. Ternyata muncul notifikasi dari sebuah aplikasi media sosial. Yah, ternyata isinya masih sama. Hujatan, cacian, dan ujaran kebencian. Begitu mudahnya konten dari tiga hal tersebut berseliweran di jagad maya. Semakin banyak dari hari ke hari, entah kapan akan berakhir. Hidup di era revolusi industri 4.0 tidak lagi sesunyi pada era sebelumnya.

Era revolusi industri 4.0 ditandai dengan semakin banyaknya perkembangan teknologi dalam kehidupan kita (Hatzakis, 2016). Kita yang tinggal di Indonesia pun juga tidak lepas dari fenomena ini. Teknologi informasi menghadirkan semakin banyak pilihan untuk membantu kita dalam menjalankan berbagai tugas yang kita miliki.

Sebagai contoh yang nyata, saat ini seorang pelajar dengan mudahnya bisa memiliki gawai dengan teknologi terbaru dan siap digunakan untuk bersosialisasi dalam jaringan (daring). Ibu-ibu rumah tangga, yang dalam kesehariannya berkutat dengan tugas mulia yaitu mengelola rumah tangganya dengan baik, juga semakin terbantu dengan adanya teknologi informasi ini. Dengan mudah mereka bisa mencari informasi mengenai resep masakan kekinian, atau bisa juga arisan dengan teman-teman melalui grup pada suatu aplikasi media sosial. Belum lagi penggunaan teknologi bagi para karyawan dan pelaku bisnis.

Implementasi teknologi informasi dalam kehidupan kita bahkan juga sudah merasuk ke dalam bidang yang lainnya, termasuk bidang politik terutama pada masa sekarang ini ketika kita sedang mempersiapkan pesta demokrasi. Ketika pada jaman sebelum revolusi industri 4.0, aktivitas yang berkaitan dengan dukung-mendukung calon pemimpin maupun mendukung partai  politik yang disukai, semuanya terjadi melalui perjumpaan fisik. Saling bertemu secara langsung untuk menyuarakan pendapat masing-masing. Banyak berbeda dengan era saat ini.

Kemampuan teknologi informasi yang mampu menembus batas fisik suatu wilayah, memungkinkan semua pendukung untuk saling berjumpa meskipun berada di wilayah yang berjauhan secara fisik. Hal inilah yang membuat dunia maya sekarang menjadi semakin gaduh, semakin banyak hiruk pikuk yang terjadi, dan membuat semua orang menjadi semakin 'sibuk' untuk terlibat di dalamnya. Sayangnya fenomena perjumpaan maya ini semakin banyak membuka kesempatan terjadinya 'gesekan' antar pendukung.

Semakin sering kita melihat di dunia maya, 'perang urat syaraf' yang semakin merajalela antar simpatisan. Semakin banyak beredar hinaan, caci makian, dan ujaran kebencian terhadap kubu lawan dengan tujuan untuk semakin mengunggulkan calon yang didukung. Bahkan tidak jarang, 'gesekan' di dunia maya berlanjut ke dunia fisik.

Jika ini yang sudah terjadi, maka pertanyaannya adalah: apa sebenarnya yang ingin kita cari? Apakah kita akan mengorbankan semua kewarasan yang kita miliki sebagai manusia hanya untuk eksistensi di media sosial? Dua pertanyaan ini muncul di benak saya ketikuti mengikuti Misa Rabu Abu beberapa waktu yang lalu.

Hari Rabu Abu selalu diidentikkan dengan konsep: manusia, berasal dari abu, maka akan kembali menjadi abu. Konsep ini menarik minat saya. Ketika manusia dilahirkan ke dunia, maka kita dibekali dengan kemampuan untuk menganalisa segala sesuatu dengan akal sehat. Kemampuan ini yang selalu kita asah seiring berjalannya periode kehidupan kita di dunia ini.

Semakin banyak ilmu dan pengalaman hidup yang kita dapatkan, harapannya logika kita akan semakin terasah untuk selalu menjadi waras. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Di saat Negara kita sedang ramai dengan segala hal berbau pemilihan umum (Pemilu), semakin banyak manusia yang mulai kehilangan akal sehatnya. Tidak bisa lagi menggunakan akal sehatnya terutama ketika sudah berbicara mengenai dukungan untuk calon tertentu. Meskipun calon yang didukung melakukan kesalahan sekalipun, tetap fanatisme membabibutalah yang terjadi. Dukungan tetap mengalir, bahkan kesalahan tersebut ditimpakan kepada calon yang lainnya.

Dunia menjadi aneh. Manusia kehilangan akal sehatnya dan teknologi informasi menjadi dominan. Bahkan idiom: 'yang waras mengalah' pun mulai menjadi perdebatan. Ada yang mengatakan, dalam kondisi sekarang yang waras jangan mengalah, ada pula yang berpendapat: yang waras mengalah agar tidak menanggapi yang tidak waras.

Ternyata teknologi informasi bisa membuat manusia berdebat perihal kewarasan. Saya jadi ingat tema Misa Rabu Abu yang saya ikuti: Bergerak untuk Berbagi Berkat. Memang saat inilah kita (yang masih bisa menjaga kewarasan akal sehat), bergerak bersama-sama dalam bentuk apapun untuk berbagi berkat yang kita miliki kepada sesama. Ketika manusia yang berasal dari abu akan kembali menjadi abu, maka menjadi penting untuk kita memiliki kewarasan kita kembali.  Jangan pernah dikendalikan oleh teknologi, tetapi justru kita yang harus mengendalikan teknologi agar kewarasan akal sehat kita tetap terjaga.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun