Mohon tunggu...
ignacio himawan
ignacio himawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - ilmu terapan untuk keseharian

Sekedar berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Efikasi Vaksin Covid-19

30 November 2020   07:00 Diperbarui: 30 November 2020   07:31 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Singkatnya, walaupun reaksi kimia sederhana bersifat pasti, reaksi tersebut seringkali diiringi oleh zat-zat lain yang karena faktor luar terdapat dalam jumlah yang berbeda sehingga mempengaruhi kepastian reaksi dasar. Oleh karena itu reaksi pengobatan dalam tubuh manusia lebih bersifat kurang pasti (stokastik) sehingga sangat mengandalkan proses statistik.

Pada proses pengujian vaksin, tahap awal lebih ditujukan pada validasi efek yang diingankan. Dalam hal ini apakah injeksi vaksin memang menyebabkan tubuh memulai proses pembentukan antibodi dalam jumlah cukup di dalam darah (dikenal sebagai sero-konversi). Vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna dirancang untuk menyebabkan tubuh menghasilkan m-RNA (messenger-RNA) yang dianggap sebagai cara paling efisien untuk mencetuskan proses pembentukan antibodi. 

Dalam dunia vaksin, metode ini masih sangat baru. Vaksin Oxford-AstraZeneca menggunakan metode yang lebih konvensional namun menggunakan inovasi baru yaitu menggunakan vaksin flu dasar yang bisa dikustomisasi untuk penyakit tertentu (dalam hal ini COVID-19). Vaksin produksi Sinopharm menggunakan teknologi yang jauh lebih konvensional lagi. Yang menjadi masalah, seperti ilustrasi Viagra diatas, apakah vaksin vaksin ini memang efektif dalam membuat tubuh untuk membentuk antibodi, meskipun tes fase-fase awal sero-konversi yang menjanjikan?

Fase akhir tes medis yang menentukan dan patut dimengerti

Fase tes akhir (fase ke 3) ditujukan untuk mensimulasi dunia nyata, dalam arti apakah vaksin yang diinjeksi memang mebuat pasien penerima menjadi cukup kebal terhadap penyakit (karena antibodinya terbentuk dalam jumlah yang cukup dan jangaka yang cukup lama untuk melawan virus) dan yang lebih penting lagi tidak menimbulkan efek samping yang tak diingininkan.... 

Bayangkan kalau saja Viagra waktu dulu langsung diberikan ke penderita penyakit jantung tanpa tes. Mudah-mudahan vaksin Sinopharm dan Sinovac memang menjalani tes fase akhir sebelum di gelar di Indonesia.

Pemberitaan di media massa menunjukan Pfizer-BioNTech dan Moderna menggunakan metode yang nyaris sama untuk tes fase akhir ini. Karena laporan Pfizer-BioNTech yang dimuat lebih detil oleh BBC, maka laporan inilah yang dipakai disini. Dilaporkan fase tes ini melibatkan 43000 pserta yang dibagi menjadi dua grup secara acak yang sama banyaknya, grup pertama mendapat injeksi vaksin, dan grup kedua hanya placebo. Setelah beberapa bulan didapatkan 162 orang penerima placebo dan 8 orang penerima vaksin menderita COVID-19 (tidak disebut soal OTG). 

Dalam studi ini 162 orang penerima placebo dipakai sebagai sebagai kontrol statitik. Vaksin memiliki efikasi 100% apabila tidak seorangpun penerima vaksin tidak menderita COVID-19 dan 0% apabila 162 orang penerima vaksin ternyata menderita COVID-19. Dalam hal ini karena hanya 8 penerima vaksin menderita COVID-19, maka efikasi vaksin tersebut adalah (162-8)/162*100% = 95%. Apa sebenarnya interpretasi dari angka-angak ini?

  • Asumsi bahwa baik penerima vaksin dan placebo mempunyai kemungkinan yang sama untuk mendapat COVID-19.
  • Apabila ada 162 penerima placebo yang menderita COVID-19, maka ada 162 penerima placebo yang terkena virus. Cukup masuk akal, asumsi diatas berrati ada 162 penerima vaksi yang terkena virus namun hanya 8 yang jatuh sakit karena yang lain memiliki antibodi.

Namun, asumsi diatas hanya terpenuhi apabila uji statistik menunjukan bahwa sample yang berjumlah 170 dari 21500 sudah memebri tingkat kepercayaan yang cukup. Apakah memang demikian? 

Laporan resmi Pfizer tidak berkata banyak. Namun ilmu statistik pra-universitas menunjukan angka tersebut terlalu kecil untuk memberi tingkat kepercayaan yang memadai. Apalagi, kita tahu banyak poenderita OTG. 

Idealnya lebih dari 20000 penerima placebo menderita COVID-19. Harus diakui penghambat utama tes ini adalah waktu yang singkat dan tidak adanya upaya untuk menginveksi peserta tes secara sistematis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun