Mohon tunggu...
ignacio himawan
ignacio himawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - ilmu terapan untuk keseharian

Sekedar berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kembali ke Kontrak Sosial, Pemilu AS, dan Brexit 'Plus-plus'

12 November 2016   08:51 Diperbarui: 12 November 2016   20:06 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Kompas.com

Bagi banyak orang di luar AS, kemenangan Donald Trump sering kali dicibir sebagai kemenangan sekelompok orang bodoh, xenophobic, dan dengan mudah termakan janji palsu dari seorang politikus gadungan, sebagaimana halnya Brexit di bulan Juni lalu. Beberapa hari lalu seorang remaja (teman dekat anak saya) yang kedua orang tuanya adalah lulusan Cambridge University berkometar bahwa rakyat AS saat ini berhasil mengalahkan pendukung Brexit sebagai juara lomba kebodohan dunia. Sebenarnya saya agak kasihan karena walaupun remaja tersebut memang cerdas, dia kurang memahami persoalan sosial yang sebenarnya.

Globalisasi adalah senjata pamungkas pihak Barat yang berhasil menutup Perang Dingin dengan kebangkrutan Uni Soviet. Tema sentralnya adalah memajukan ekonomi dunia sehingga dapat menyejahterakan penduduk sehingga membebaskan mereka dari tirani (baca komunisme). Tema ini menjadi thesis utama "The End of History" yang ditulis oleh Francis Fukuyama. Masalahnya, ketika globalisasi menjadi panduan politik makro bagi politikus yang paling jujur dan baik hati sekalipun, angka-angka seperti pendapatan Nasional dan Pendapatan perkapita yang bersifat umum menjadi pegangan utama yang sering kali mengabaikan sekelompok masyarakat. 

Sejak tahun 1980-an secara perlahan tapi pasti dunia Barat memasuki periode pascaindustrialisasi. Kegiatan manufaktruing sebagai motor utama ekonomi  digantikan oleh kegiatan servis dan perdagangan yang memiliki profit marjin yang jauh lebih besar dan memiliki dampak polusi lingkungan yang lebih rendah. Di atas kertas hal ini sangat bagus karena pendapatan nasional naik dengan drastis sedemikian juga dengan pendapatan perkapita yang dibarengi dengan peningkatan indeks kebersihan. 

Singkatnya secara ekonomi dan linkungan negara-negara Barat mengalami kemajuan pesat. Namun kenyataannya, profit perusahaan hanya dikontrol oleh pemilik modal dan mereka yang dianggap memegang peranan penting karena memiliki kekuasaan eksekutif (baik pemerintahan maupun perusahaan muliti-nasional), singkatnya kaum elite. Periode yang sama memunculkan "Davos summit" di mana para elite dunia bertemu setahun sekali di Kota Davos di Swiss. Hal ini adalah salah satu tema sentral dalam "Clash of Civilization" yang diangkat oleh Samuel Huntington sebagai sanggahan terhadap end of history.

Bagi sebagian orang (di luar kelompok elit sekalipun) globalisasi memang cukup menguntungkan. Dibandingkan dengan waktu saya masih sekolah, orang-orang Indonesia saat ini memiliki pendapatan yang cukup untuk pelesiran ke luar negeri. Di AS dan Eropa kelompok kelas menegah dan terdidik memang bisa beraspirasi untuk menjadi lebih makmur.

Bagi cukup banyak orang, globalisasi justru memupuk kemiskinan. Daerah yang dikenal sebagai Rustbelt adalah pusat manufakturing AS hingga periode 1990an. Daerah inilah yang memproduksi senjata dalam jumlah fenomenal sehingga AS keluar sebagai pemenang Perang Dunia II: tidak saja dengan mengalahkan jumlah senjata yang diproduksi oleh kelompok aksis namun juga dengan menjual senjata ke negara sekutu lainnya. Daerah Inggris utara juga pusat industri masa lalu yang memungkinkan berdirinya the British Empire. 

Saat ini manufakturing sudah berpindah ke Indonesia dan Asia Tenggara (sampai dengan akhir 1990-an) lalu ke Cina dan tidak lama lagi akan berpindah ke tempat lain yang memiliki ongkos buruh murah. Baik Rutbelt di AS maupun Inggris utara saat ini memiliki angka pengangguran yang jauh lebih tinggi dibandingkan dekade 1980-an, walaupun indikator makro seperti pendapatan perkapita yang jauh lebih tinggi daripada periode 1980-an. Namun dapatkah kita simpulkan bahwa rakyat menjadi lebih makmur? 

Data ekonomis menunjukkan bahwa tingkat pendapatan buruh di AS sebenarnya tidak mengalami kenaikan sejak tahun 1970-an karena kenaikan gaji yang ada termakan habis oleh kenaikan biaya hidup. Kenaikan biaya hidup ini juga mengikis kemampuan ekonomi kaum kelas menengah. Saat yang sama para politisi di Brusel, Washington, dan London menikmati tingkat kemakmuran yang meningkat. 

Bill dan Hillary Clinton dapat mengantongi puluhan ribu US Dolar hanya dengan menjadi pembicara di acara-acara global yang didominasi oleh eksekutif Bank Multinasional dan investor. Sebagai catatan Hillary dan Bill sangat rajin memosisikan diri sebagai pembela rakyat kecil. Dapat dipastikan kalau the Obamas akan mengikuti jejak the Clintons meskipun Barack dan Michelle juga rajin membela rakyat jelata AS. 

Ketika rakyat merasa para pemimpin hanyalah sekelompok kaum elite yang hanya menguntungkan diri sendiri (yang jujur sekalipun hanya mengandalkan angka yang kurang memiliki dimensi sosial) maka tidak mengherankan apabila mereka akan mengubah kontrak sosial yang ada. Pada mulanya jumlah yang menginginkan perubahan tidaklah banyak karena hanya terpusat di tempat-tempat yang mengalami efek globalisasi pertama kali. Mereka adalah golongan buruh dengan pendidikan yang relatif terbatas. Namun jumlah ini semakin membesar karena penumpukan kekayaan memang bersifat logaritmik sehingga kelompok yang kurang diuntungkan mulai mencakup mereka yang lebih terdidik. Pascakrisis ekonomi 2008 kelompok ini menjadi semakin besar. 

Baik Breixt di bulan Juni dan Pemilu AS (alias Brexit plus plus plus) menunjukkan kelompok yang menginginkan perubahan saat ini berkisar di 52% dari jumlah populasi. Yang menjadi permasalahan adalah proses mengubah kontrak sosial sering kali dibarengi oleh emosi... Emosi yang dapat dengan mudah berubah menjadi xenophobia. Saat ini negara-negara Eropa lain akan mengalami perubahan yang sama dalam satu atau dua tahun ke depan. Saat ini kepopuleran Presiden Francois Hollande di Perancis begitu rendah sehingga orang mengejeknya mulai dari masalah biaya perawatan rambut hingga ditinggal partner (kata lain: presiden cengeng). Angela Merkel pun mengalami penurunan popularitas yang drastis dalam beberapa tahun belakangan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun