Mohon tunggu...
ignacio himawan
ignacio himawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - ilmu terapan untuk keseharian

Sekedar berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Butuh Sikap Dewasa untuk Menyikapi Dwi (Multi) Kewarganegraan

19 Agustus 2016   17:09 Diperbarui: 19 Agustus 2016   17:16 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus Archandra di bulan Agustus memang menarik untuk kembali membuka wacana multi kewarganegraan. (Banyak orang sebenarnya memiliki lebih dari dua).  Isu ini memang sangat memecah belah, karena di Indonesia selalu menyangkut kelompok masayarakat yang "beruntung" sehingga dapat hidup di LN dan "kurang beruntung". Dari perseturuan ini dengan sendirinya muncul perasaan pro (dari mereka yang hidup atau pernah hidup di LN) dan perasaan kontra dari keompok yang lain. Masalahnya, argumen kepentingan keamanan nasional yang menjadi faktor utama pro dan kontra ini adalah kenyataan. Bagi penduduk biasa tentu saja keamanan Nasional bukanlah hal yang terlalu relevan, tetapi bagi mereka yang memegang posisi tertentu, ini adalah suatu permasalahan nyata.

Sikap dewasa sangat dibutuhkan disini. Tanpa sikap tersebut Multikewarganegraan akan tetap menggantung tanpa kejelasan UU. Siapa yang dapat bilang kalau UU 2006 efektif ? Karena masih terlalu dipengaruhi pemikiran UU 1958, UU kewarganegraan yang berlaku sekarang ini sangat sering diabaikan. Dalam kasus Archandra, saya tidak heran apabila tim screening pemerintah memang tidak mengetahui eksistensi paspor Amerika. Dalam coretan sebelumnya saya mencoba menjeleskan mengapa permasalahan ini timbul yang seringkali berakar pada hasrat untuk tetap bersikap nasionalis tetapi harus menghadapi kenyataan lain (sumber). 

Mungkin kasus yang paling jelas adalah Presiden RI ke-3. Beliau sangat berjasa dalam menggiring reformasi sehingga Indonesia tidak mengalami disintegrasi seperti Siria saat ini bahkan mejadi jauh lebih demokratis (dan chaotic) jika dibandingkan dengan periode-periode sejak memperoleh kemerdekaan. Secara pribadi saya berpikir kalau Perisden RI ke-2 bisa menjadi pahlawan, maka Presiden ke-3 snagat layak untuk mendapat gelar tersebut dengan alasan telah meyelematkan Indonesia dari potensi perpecahan. Yang menarik adalah isu bahwa beliau memiliki kewarganegraan Jerman tidak pernah hilang. Beliau sendiri dalam bukunya pernah menulis bahwa Jerman hanya memberinya warga kehormatan, itupun beliau tolak. Mengapa isu ini tidak pernah hilang ? Karena setelah lengser beliau kemudian hijrah ke Jerman dan hidup di negara tersebut tanpa batasan waktu. Visa turis hanya berlaku selama 6 bulan, rasanya hampir tidak mungkin visa ini yang digunakan. Visa yang lebih mungkin dipakai adalah Visa penduduk permanen. 

Menurut peraaturan yang berlaku (sumber), visa ini hanya dapat diberikan bagi orang yang sudah tinggal 5 tahun berturut-turut di Jerman. Semua orang tahu kalau beliau tinggal di Indonesia sejak akhir 1970-an hingga awal tahun 2000-an. Meskipun dalam kurun 30 tahun tersebut beliau seringkali berkunjung ke Jerman, kunjungan tersebut tidak akan memenuhi syarat 5 tahun berturut-turut. Seandainya beliau memegan permanan residensi sebelum pergi ke Indonesia di tahun 1970-an, di banyak negara Eropa status ini akan hilang apabila sang pemegang visa tidak tinggal di negara tersebut selama 2 tahun. Artinya, hampir pasti bukanlah visa permanen residen yang digunakan. Karena kenyataan ini banayk orang berpikir bahwa kewarganegraan lah yang menjadi dasar residensi beliau di Jerman -- Isu ini tidak akan pernah hilang sampai ada penjelasan yang masuk di akal.

Mengapa kasus Presiden 3 RI relevan ? Tentu saja, karenan posisi ini sangat sentral dalam pemikiran kepentingan dan keamanan nasional. Bukankah posisi ini lebih sensitif daripada Pak Archandra dan Gloria ? Tentu saja banyak orang yang tidak pernah lupa dengan keputusan beliau sebagai menetri untuk membeli 39 kapal perang bekas Jerman timur. (Berapa banyak kapal ini yang memang akhirnya dimodernisasi dan dipakai TNI-AL?)

Kasus lainnya adalah pembodohan rakyat. Ketika salah satu kandidat presiden 2014 disinyalir memiliki paspor Yordania, tim suksenya cuma mengambil sikap tidak menghiraukan tanpa pernah memberi penjelasan. Kalau tidak salah dari sedikit penjelasan yang ada, praktis ada pengakuan kalau paspor tersebut memang ada, namun dengan cepat menambhkan paspor tersebut tidak relevan (Bagiamana dengan pasal 6 UUD ?) . Dan saat ini, beliau dengan seenaknay mau memberi cap "antek asing" pada orang Indonesia lain yang memegang (dalam arti literal) buku paspor asing saja belum pernah. Sudah pernahkan beliau berkaca ?

Tanpa kedewasaan sikap di Indonesia, UU yang efektif tidak akan pernah ada. Argumen saya hanya didasarkan pada permaslahan kalau sikap antipati terhadap multi kewarganegraan sebenarnya merugikan Indoensia sendiri. Bukannya mendukung keamanan Nasional, sikap ini justru melemahkan. Pemikiran ini bukan timbul dari anggapan SDM Indoensia di luar negeri lebih bagus daripada yang berada di dalam. Sama sekali tidak. Tanpa perlu memanggil pulang SDM di luar negeri, Indoensia memiliki banyak penduduk yang memiliki karakter yang bermutu tinggi. (Memang situasi saat ini meyulitkan bagi mereka yang berhasart untuk berbagi dengan Indoensia, tapi ini ada jalan keluarnya)

Yang sangat mencemaskan adalah kenyataan saat ini bahwa sebagian warga Indoensia mengambil sikap bahwa mereka tidak dapat disentuh oleh UU yang berlaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun