Mohon tunggu...
Igor Dirgantara
Igor Dirgantara Mohon Tunggu... Dosen - Focus Group Discussion Magister Komunikasi Universitas Jayabaya

lecturer & senior researcher

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mengapa Prabowo Subianto Layak Jadi Capres 2019?

10 Mei 2018   21:00 Diperbarui: 10 Mei 2018   21:30 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Oleh: Igor Dirgantara

1. Demokrasi yang sehat itu jika ada
pemerintah dan oposisi sama kuatnya. Pemilu Demokratis menjadi tidak sehat, jika figur kuat hanya berkompetisi dengan kotak kosong karena tidak ada lawan. 

Pemilu 2019 nanti sebenarnya sudah cacat demokrasi dengan adanya Presidential Thrashold 20%, apalagi jika incumbent hanya melawan tong kosong. Jika terjadi itu bukanlah indikator rakyat mencintai pemimpinnya, tapi karena demokrasi secara subtantif dan prosedural lumpuh. 

Nah selain Joko Widodo sebagai incumbent, ya hanya Prabowo Subianto yang punya elektabilitas mumpuni dibanding figur lain yang muncul atau dimunculkan. Semua survey pasti bilang begitu bukan?

2. Tidak bisa dipungkiri Jokowi terasosiasi kuat dengan PDIP, begitu juga Prabowo dengan Gerindra. Jika PDIP dan Jokowi masih juara adalah wajar sebagai incumbent. 

Namun pasca Rakornas di Hambalang 12 April lalu Gerindra semakin solid dengan mandat mengusung kembali Prabowo Subianto sebagai Capres 2019. Kenapa? Salah satu alasan kuatnya adalah karena publik mengidentifikasikan Jokowi dengan PDIP (bukan Golkar, Nasdem, apalagi PSI, dll). 

Begitu juga Prabowo yang dianggap identik dengan Gerindra. Inilah yang disebut coattail effect. Prabowo bisa angkat suara Gerindra dari 5,3% kursi legislatif di 2009 menjadi 13% di 2014 (naik hampir 8%), dibanding Jokowi yang hanya 2% untuk PDIP saat itu. 

Oleh karena itu, pencapresan Prabowo diprediksi akan tetap mendulang bonus elektoral bagi caleg Gerindra di Pemilu Serentak 2019. Ketepatan nanti dalam memilih pasangan (cawapres) menjadi titik penting pertarungan Pilpres 2019 pasca deklarasi resmi di bulan Agustus yang akan datang.

3. Kemenangan spektakuler Mahatir Muhammad atas Najib Rajak di Pemilu Malaysia hari ini. Salah satu opini soal Prabowo Subianto dikatakan lebih pas menjadi "King Maker" adalah faktor usia dan kuatnya elektabilitas incumbent (Jokowi) saat ini karena diusung lebih dari 8 parpol pendukung pemerintah. 

Nah.. usia Mahathir sekarang adalah 92 tahun dan ternyata bisa mengalahkan koalisi Barisan Nasional pemerintah yang telah berkuasa di Malaysia selama lebih dari 60 tahun. Dengan persentase 50:50 (50% incumbent menang: 50% incumbent kalah) - maka bukan mustahil kepemimpinan nasioal berganti di Pemilu 2019 tahun depan. 

Oleh karena itu, jangan percaya label dalam politik bahwa "Yang lebih Tua" pasti status quo, sementara "Yang lebih Muda" pasti reformis. Atau yang "Sipil" demokratis, yang "Militer" otoriter. Ini semua persepsi dan political labelling (label politik) belaka. Sama halnya kisah cinta di sinetron. Beda antara yang implisit dan eksplisit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun