Kesalahan terbesar dari penangan pemerintah atas isu Papua mungkin pemutusan jaringan internet. Pemutusan jaringan dimulai pada 21 Agustus ketika aksi massa di Papua makin masif.Â
Sebelumnya, pembatasan jaringan sudah dilakukan sejak tanggal 19. Kominfo berdalih pembatasan internet bertujuan untuk menurunkan tensi massa di Papua dengan mengurangi akses informasi warga.
Bukan pertama kalinya pemerintah mengambil jalan pintas ini. Pada kerusuhan penetapan pemenang Pemilu 22 Mei lalu, Kominfo sempat membatasi penggunaan aplikasi WhatsApp dengan alasan penyebaran berita palsu melalui WhatsApp adalah penyebab dari kerusuhan.
Akibat dari pemblokiran tersebut, layanan publik menjadi terganggu. Selain itu, masyarakat yang kebutuhan ekonominya bergantung pada internet tidak mampu melaksanakan aktivitasnya. Pemutusan internet terbukti tidak berhasil menenangkan aksi massa, malah memperluas aksi ke berbagai kota kabupaten lain di Papua.
Salah satu pihak yang paling merugi dari pembatasan akses internet adalah jurnalis. Jurnalis media nasional yang bertugas di Papua kesulitan untuk memberi kabar aktual dari sana. Apalagi pada tanggal 25 Agustus, Kominfo ikut memutus jaringan internet fiber optik IndiHome yang membuat akses informasi hampir putus.
Sulitnya jaringan komunikasi di Papua membuat keran informasi utama Papua bersumber dari pemerintah yang ditangani oleh aparat TNI dan Polri. Sayangnya, informasi yang datang dari aparat tidak selalu akurat. Sebagai contoh kerusuhan yang terjadi antara aparat dan warga di Deiyai.
Pada kerusuhan yang terjadi pada tanggal 28 Agustus tersebut, media lokal Papua melaporkan enam warga dan satu prajurit TNI meninggal. Jumlah tersebut berdasarkan laporan saksi mata dan diliput oleh wartawan dari lokasi kejadian.Â
Berita tersebut dikutip oleh berbagai media asing termasuk Reuters dan Al Jazeera. Namun, Polri membantah tuduhan tersebut. Akun Twitter Pusat Penerangan TNI bahkan mencap pemberitaan Reuters merupakan hoaks.
Petisi yang diinisiasi oleh Damar Juniarto, Direktur Eksekutif SAFEnet untuk membuka kembali akses internet di Papua tidak diindahkan. Sampai hari ini, Jumat (6/9), internet Papua berangsur normal setelah pemerintah menyatakan Papua sudah mulai "kondusif" (yang masih harus dipertanyakan). Namun, Kominfo menyatakan pemutusan internet bisa kembali terjadi apabila konflik kembali muncul.
Pendekatan Militeristik a la Orde Baru
Tuntutan warga untuk mengadili pelaku rasisme terhadap orang Papua ditanggapi dengan cara a la Orde Baru. Tidak lain dan tidak bukan adalah karena pemimpin penanganan keadaan di Papua, Menkopolhukam Wiranto memiliki pengalaman manajemen konflik a la Orde Baru. 21 tahun reformasi memang belum berhasil mengubah pendekatan para jendral eks Orba.
Dimulai dari pengiriman pasukan tambahan ke Papua yang dinyatakan untuk "mengamankan objek vital nasional". Dilanjutkan dengan penanganan ricuh di Deiyai yang sampai menelan korban jiwa. Hal tersebut diperparah lagi dengan penangkapan mahasiswa dan aktivis pro-Papua dengan tuduhan makar dan provokasi.