Mas Dal sedang duduk menunggu kereta di ujung peron Stasiun Bandung. Peron yang minggu lalu dipenuhi perokok, khususnya pada jam pulang seperti saat ini, kini sudah bersih dari asap rokok. Nun di kejauhan, sekitar 50 meter dari tempat Mas Dal duduk, berdiri plang bertuliskan "Area Merokok". Tepatnya, dekat pintu akses kargo kereta.
Mas Dal sedikit bangga karena merasa pemindahan area merokok tersebut adalah buah keberaniannya melapor ke manajemen PT KAI melalui Twitter. Dalam laporannya, Mas Dal menyertakan foto orang merokok bersandar di kolom atap ujung peron. Di kolom tersebut jelas terpasang rambu larangan merokok. Berbekal foto dan akun Twitter (juga jaringan internet), Mas Dal melapor. Dua hari kemudian, tampat menunggu kereta favorit Mas Dal menjadi area bersih dari asap rokok.
Sedari awal Mas Dal duduk di sana, ia sibuk mengusap layar ponselnya untuk menjelajahi Twitter. Di sampingnya, duduk seorang bapak tua berumur sekitar 50 tahun. Kulitnya sudah agak keriput dan beberapa giginya tanggal.
Awalnya, Mas Dal tidak terlalu memedulikannya. Matanya berfokus pada layar dan telinganya tersumpal earphone. Tapi, saat Mas Dal menoleh ke bapak tua itu, tanpa sengaja mereka melakukan kontak mata. Spontan saja Mas Dal mengangguk hormat. Anggukan tersebut dijawab dengan pertanyaan basa-basi a la penunggu kereta.
"Mau ke mana, dek?" tanya pak tua. Mas Dal melepas earphone dan mematukan ponselnya guna menghormati bapak tua itu.
"Cimekar, pak," jawab Mas Dal yang dilanjutkan dengan rentetan pertanyaan basa-basi lainnya. Beberapa pertanyaan berlalu disambut dengan jawaban satu sama lain.
"Agak sepi yah, pak, sore ini," kata Mas Dal berusaha mencari topik pembicaraan.
"Sebagian ada yang nunggu di sana, dek," kata bapak tua itu sambil menunjuk ke area merokok kemudian bertanya, "Adek ngerokok?"
"Oh, enggak, pak. Keluarga saya gak ada yang ngerokok," jawab Mas Dal. Kalimat kedua sesungguhnya tidak perlu. Mas Dal mengatakannya untuk memperpanjang topik pembicaraan.
"Wah, bagus, dek," jawab pak tua. "Tapi, permisi, dek," lanjutnya dalam bahasa Sunda, "saya mah kurang setuju kalau tempat merokok dipindah ke sana."
Maka tibalah saat itu. Saat di mana Mas Dal tidak setuju dengan perkataan seseorang namun Mas Dal harus bertingkah setuju, setidaknya tidak menolak, pendapat lawan bicara demi menghormatinya. "Mmmh, begitu," jawab Mas Dal. Jawaban diplomatis.