Mohon tunggu...
Ifla Maulana
Ifla Maulana Mohon Tunggu... Jurnalis - Ruang belajar

Sedang mengembangkan bakat melamun.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Mudik atau (mu, dik)?

29 April 2022   18:30 Diperbarui: 29 April 2022   18:32 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Pagi tadi, saat hendak berangkat kerja. Saya melihat realitas sosial yang telah lama hilang, tak biasanya perjalanan dari rumah menuju kota ditempuh sampai sejam lebih. Sebelumnya saya menempuh itu hanya sekitar 25 atau paling lama 35 menitan. Jaraknya sama, namun perjalanan saat ini lebih lamban saja. Faktor utamanya karena arus kendaraan motor dan mobil memenuhi jalanan. Kemacetan ini dimulai dari pegambiran (jalan layang) sampai jalan pemuda, tak hanya di jalan raya utama saja, gang kecil pun tampak sama. Hal ini tak berlaku di Cirebon, tapi di seluruh Indonesia.

Fenomena ini baru kita temui (lagi) setelah dua tahun terjerat pandemi. Dua tahun kita telah menik(mati) isoman dan tak dapat ke mana-mana, hampir setiap hari kita dipaksa mengamini kata-kata Afrizal Malna, di dalam rumah juga ada "pembunuh yang tak tampak" bernama ; kebosanan, kesepian juga kebingungan.

Saya melihat kejadian ini semacam perayaan dari masyarakat kita. Bagaimana tidak, kebebasan yang telah lama mati baru saja dipanggil kembali meski diberi beberapa catatan oleh pemerintah. Tapi antusias masyarakat dalam menyambutnya begitu riuh, meledak hingga membuncah dalam lautan manusia di sepanjang jalan.

Namun, ada perasaan kesal ketika dihadapi kemacetan parah, tapi disisi lain rasa senang juga menguasai diri. Saya kesal lantaran takut telat masuk kerja, tapi senang karena melihat kondisi seperti ini menjadi Indonesia lebih hidup. Yah, karena mudik.

Yuanda Zara, salah seorang sejarawan pernah menuturkan bahwa, istilah mudik sendiri dipakai pada tahun 1980-an. Sebelumnya, masyarakat hanya memakai bahasa "pulang ke kampung halaman" atau "bersilaturahmi dengan keluarga besar" saja.

Selain itu, mudik juga memiliki sejarah panjang. Fenomena itu telah berangsur dari kurun waktu tahun 1950-an. Tak ayal, tradisi mudik saat ini seolah menjadi identitas luhur dalam kultur masyarakat kita. Dalam kasus ini, sejak duduk dibangku sekolah saya menyimpan pertanyaan namun tak kunjung diutarakan.

"Di negara lain yang sama menjalani puasa, menjelang lebaran ada tradisi mudik seperti Indonesia tidak, ya?"

Bagi saya, mudik bukan sekedar pulang dari perantauan menuju kampung halaman semata, lebih dari itu ada ikatan antar keluarga yang tak bisa diejawantahkan dengan kata-kata.

Kita lihat saja, ketika komunikasi kini bisa kita dapatkan semuanya. Rindu suara maka teknologi hadirkan telepon, rindu wajah kita bisa lakukan video call. Lalu apa yang tak bisa kita terjemahkan dari sebuah rindu, ketika keduanya sudah bisa kita dapatkan?

Ya, jawabannya temu dan peluk. Keduanya bukan sekedar pertemuan secara fisik, namun hal yang paling fundamental dari itu di sana ada ketenangan yang didapat. Setelah kita bersitungkin juga melakukan lelana brata jauh dari rumah, maka untuk meluruhkan rindu juga peluh pulang menjadi satu-satunya obat penenang paling ampuh.

Lalu pertanyaannya, jika tak punya rumah/orang yang bisa membuat kita tenang. Maka mudik masih berlaku kah? Atau kita kembali seperti sebelumnya, tahun ini tanpa(mu, dik?)

Cirebon, 27 Ramadhan 2022.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun