Sore itu aku segera tiba di rumah Ari. Kulihat ia sedang menonton TV bersama anaknya yang berusia 3 tahun. Rumah itu adalah peninggalan almarhum bapaknya. Sebagai anak satu-satunya, Ari mendiami rumah itu, sebab ibunya mulai sakit - sakitan semenjak kematian bapaknya. Sebagai guru SMP, Ari beruntung tak perlu membeli rumah.
Berapalah gaji seorang guru. Rumah kontrakan sederhana di pinggir Jakarta segera ia tinggalkan. Ari mempersilahkan aku masuk, namun aku tak segera masuk ke dalam rumahnya. Mataku melirik kedepan rumahnya. Aku mengharap perempuan itu menyiram bunganya yang setengah layu. Atau setidaknya aku ingin melihatnya membuka pintu dan tersenyum melirikku.
“Dan, kamu lihat apa?”
“Aku ingin berkenalan dengannya. Aku ingin menikahinya Ri! Dia perempuan yang kuidamkan.”
“Kamu edan, Dan! Awas, jangan main-main dengan ucapanmu.”
“Aku tidak main-main. Aku jatuh cinta padanya sejak sepuluh tahun lalu. Kini saatnya kutuntaskan semuanya!”
“Dani… Duduklah dahulu. Di sini atau di dalam?”
“Di sini saja. Aku ingin melihatnya.” tanpa menunggu komentar Ari, aku segera duduk di kursi yang menghadap ke rumah perempuan penyiram bunga.
“Dan. Aku harap kau jangan terkejut. Perempuan itu sudah pulang kampung!”
“Apa maksudmu? Pulang kampung, ke mana?”
“Wonosobo. Tadi pagi kakak lelakinya menjemput paksa. Awalnya dia tidak mau, sebab rumah itu menyisakan kenangan bersama suaminya.”