“Great! So now you can sign it here! Trust me, it will do high benefit for your company!”
Kutarik nafas lega, ketika lembaran kertas perjanjian kerja sama sudah di tanda tangani, kami saling bersalaman. Gelisahku menguar entah ke mana! Aku lega, walaupun konsentrasiku buyar saat presentasi berjalan. Dan sekarang aku bisa segera menemui Ari, menengok perempuan penyiram bunga bermata embun.
***
Sore memberi lembayung dihampar langit, jalanan sedikit basah. Gerimis kecil-kecil mulai turun. Aku terpasung lamun pada tatap kosong perempuan penyiram bunga, yang kemarin baru kulihat.
“Dan! Apa yang kau pikirkan? Aku melihatmu begitu gelisah, kurang konsentrasi hari ini!” suara Abimanyu memecahkan heningku.
“Aku? Aku… tak ada! Aku ingin pulang cepat saja! O, ya? Hmm Bim, bagaimana pendapatmu jika aku menikahi seorang janda beranak satu?”
“Ah, jangan bergurau! Aku tahu kau begitu dingin terhadap wanita. Rini di bagian keuangan saja tak pernah kau hiraukan. Padahal cantiknya bukan main! Tapi, di mana kau bertemu dengannya?”
“Aku serius Bim! Aku akan menikahi seorang janda. Dia adalah perempuan bermata embun yang kukagumi sepuluh tahun lalu! Dia adalah tetangga sahabat SMU ku. Suaminya meninggal tiga tahun lalu. Bukankah kini waktunya kutuntaskan semua kakagumanku padanya dahulu, ketika dia masih berstatus istri orang?”
“Ha ha ha… Dani! Dani! ‘Kutunggu jandamu’ seperti tulisan di belakang truk antar kota! Ha ha ha…” Abimanyu terbahak.
“Jangan tertawa! Aku serius, Bim. Kemarin sore aku melihatnya begitu murung. Rasanya aku ingin menikahinya! Kau bisa buktikan, aku tidak main main!” Kami berdua pun terdiam. Kutatap jalanan basah dengan rasa tak sabar. Aku ingin segera sampai di kantor dan pulang cepat. Kuharap Ari ada dirumahnya.
***