Betapa tatapan embunnya kini mengering, sangat membuatku terusik. Kelebat bayangannya seakan memantul - mantul di malam sepiku. Aku tak tahan untuk segara menemuinya lagi.
Kutatap weker di atas meja, jam dua belas lebih seperempat. Waktunya aku harus segera terlelap, sebab esok aku harus memberikan presentasi pada klien perusahaan dari Korea.
Abimanyu akan menemaniku dalam perjalanan ke ujung Utara Jakarta. Mungkin bisa kusempatkan waktu untuk mampir ke rumah Ari, sekedar melihat perempuan penyiram bunga, sepulang dari sana. Ah! Tak sadar kantuk pun menyergap.
***
Selama presentasi berjalan, mataku terus menatap arloji di tangan. Seakan tak sabar menunggu sore. Jarum jam berjalan begitu lambat. Untunglah Abimanyu cepat tanggap menghadapi situasi. Nampaknya ia bisa membaca pikiranku. Ia segera mengambil alih setengah dari presentasi.
Namun pertanyaan demi pertanyaan dari Mr. Chun tak segera mampu kujawab. Keringat dingin mengalir, terlihat sekali bahwa seakan aku tak siap pada presentasi itu. Konsentrasiku membubul tinggi, tak berada di ruangan.
“Bim, sudah?” Aku berbisik ketika Mr Chun dan beberapa stafnya sedang rehat menyeruput kopi yang mulai hangat.
Abimanyu menengok padaku sekilas, alisnya terangkat sebelah, seakan memintaku untuk bersabar menunggu akhir dari presentasi itu. Setidaknya jawaban Mr. Chun akan melegakan. Ia setuju untuk memasok alat kesehatan untuk rumah sakit di perusahaannya.
“Mr. Chun, so what’s your decision? Low cost high benefit, huh?” ucap Abimanyu.
“Well, I agree with your offer. We will sign the contract, includes the insurance for the shipping.” jawaban Mr. Chun melegakan kami.