Mohon tunggu...
Idris setiawan
Idris setiawan Mohon Tunggu... Lainnya - Sang Pencinta Keheningan

Dari hidup kita belajar berjuang. Dan dari Tuhan kita belajar iklas. Tak ada perhentian yang akan indah selain mati dengan bahagia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Langit-langit Kamar

15 Februari 2020   00:41 Diperbarui: 15 Februari 2020   02:56 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sendiri lagi, menyendiri lagi. Terpojok oleh kenangan yang kembali datang. Terlintas indah sebuah senyuman wanita, yang dulu sempat mengobral janji setia. Tapi pada akhirnya, ia pergi dengan orang lain. Meninggalkan ku sendiri dengan berjuta kenangan. Membunuhku dengan sebuah harapan yang ternyata palsu.

Aku ingat terakhir kali? Dimana dulu ia perna berkata, "jangan perna pergi, janji! Aku akan bersamamu. Menghapus lelahmu, dan menemani di hari tuamu. Itu janjiku padamu.". Tapi apa, janji hanya tinggal janji, luka kini luka dan Jelas aku kecewa. Tapi harus bagaimana lagi, kini dia telah pergi.

 "Diko?"(panggil ibu dari luar kamar)

 "Ia bu... ada apa?"(sembari membuka pintu)

 "Ibu boleh masuk?"

 "Ya masuk aja. Emang kapan diko larang ibu masuk ke kamar diko?"(sambil mempersilakan ibu masuk)

"Kamu kenapa? Kok ibu dan ayah lihat, beberapa hari ini suka murung?"(tanya ibu)

 "Gak bu. Diko gak apa-apa. Cuman kecapekan banyak tugas aja di sekolah."

 "Yakin karena tugas? Nanti taunya lagi ada masalah. Hmm... cerita sama ibu masalah apa? siapa tau ibu bisa bantu."

 "Gak bu. Diko cuman kecapekan."

 "Yasudah kalo gak mau cerita. Nah Ini uang.(sembari menyodorkan uang Rp.100.000) mungkin kamu lagi perlu. Atau mau beli apa yang kamu pengen?"

 "Terima kasih bu."(sembari mengambil uang tersebut)

 "Yaudah. Kalo gitu ibu keluar dulu.

 Dah tidur! Sudah malam. Besok kan sekolah? Nanti telat bangun ayah bisa marah. Kamu tau sendiri, ayah kalo marah kayak gimana."

 "Iya bu. diko langsung tidur."(sembari merapikan buku novel kesukaku di atas kasur)

 "Baguslah. Yaudah ibu tinggal dulu. Selamat malam?"(sembari menutup pintu)

"Malam bu."(kulihat pintu telah tertutup, dan ibu telah pergi)

  Ku tidurkan tubuhku di atas kasur, sembari melihat langit-langit kamar. Semua masih nampak sama, namun hanya ceritaku yang berbeda. Dulu dia(nita) perna menemaniku berbaring di kasur ini, sambil menatap langit-langit kamar dia berkata,

 "Kamu punya impian apa ko?"

 "Impianku cuman satu, yaitu menikahi kamu"

 "Apakah kamu yakin, bahwa aku ini jodoh kamu ko?"

 "Yakin. Seratus persen yakin! Kalo kamu nit, apa impian kamu?"

 "Aku tak memiliki impian."

 "Kok gak punya?(sedikit kaget atas jawaban nita) walau menikah denganku bukan termasuk impian kamu, ya... setidaknya berimpianlah untuk kebahagiaan keluarga kamu nit."

 "Bagiku, kebahagian keluarga itu bukan termasuk impian. Tapi, kewajiban. Sudah sepantasnya, atau seharusnya keluarga kita bahagia oleh kita. Dan kita sebagai anak atau saudara kandung dari kakak atau adik kita, tidak boleh menyampingkan hal itu. Maka dari itu, aku tak mempunyai impian."(nita yang masih menatap langit-langit kamar)

 "Ooo seperti itu."(sembari kagum dengan jawaban yang di ucapkan nita.)

 "Yasudah aku mau pulang ko, uda sore."(sembari beranjak dari kasur)

 "Iya nit, sebentar aku anter kamu?"(sembari ikut beranjak dari kasur)

  Akhirnya aku pun mengantarkan nita pulang, ke rumahnya yang terletak di perumahan tigaraksa tangerang. Aku begitu kagum oleh pandangannya yang unik menurutku. Dia wanita yang pertama ku temui dengan cerita, serta sudut pandang yang kadang membuat ku ingin lebih jau mengenalnya. Tapi pada akhirnya dia pergi, pergi dengan orang lain. 

 Aku masih menatapi langit-langit kamar, sembari mengingat kembali semua tentang  nita. Bayangan wajahnya, senyuman datarnya, dan semua cerita uniknya terbayang-bayang di pikiranku. Hatiku bertanya-tanya, akankah ada wanita lain seperti nita di bumi ini? Adakah akan ku temukan dan bahkan menjadi istriku nanti?. 

  Hmm..! Selamat menempuh hidup baru nita, kau menikah terlalu muda. Di satu sisi aku kecewa, tapi di satu sisi lagi aku bahagia dan bangga padamu. Betul katamu nita, membahagiakan orang tua bukanlah sebuah impian. Tapi sebuah kewajiban. Dan karena kewajiban itu, kau menikah dini. Meninggalkan ku sendiri, meratapi sepi di perjalanan hidup yang masih panjang ini. 

Nita, di bawah langit-langit kamar ini dulu kita bercerita, bercanda dan tertawa bersama. Mungkinkah sekilas perna kau ingat itu? atau telah hilang, lenyap karena besarnya pengorbananmu. 

Nita, aku perna berkata bahwa menulis adalah kegemaranku. Dan kau menganjurkan untuk menjadi penulis. Maka aku berjanji nita, akan ku penuhi saranmu. Sampai jumpa lagi nita. Biarkan langit-langit kamar ini menjadi saksi, atas semua cerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun