Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yang Dhuafa yang Berkurban

24 September 2015   11:10 Diperbarui: 24 September 2015   11:53 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Walau hidup miskin dan harus mengobati cucunya yang sakit, Nenek Hafsah mampu Berkurban Setiap Tahun. (Sumber http://dkinews.com/wp-content/uploads/2015/06/Nenek-Hafsah.jpg"][/caption] 

Terenyuh menyaksikan acara Gesture tadi malam (Rabu, 23/09/2015) di TV One. Pada acara tersebut dihadirkan dua orang kaum dhuafa yang berkurban. Mereka adalah nenek Hafsah dan Bendi. Hati ini merasa terpukul dan malu melihat kemuliaan akhlak mereka berdua.

Nenek Hafsah adalah seorang janda miskin, tidak punya rumah, dan sehari-harinya berjualan kecil-kecilan. Beliau seorang diri menghidupi cucunya yang sakit. Walau demikian, hal tersebut tidak menghalanginya untuk bersedekah dan berkurban. Beliau setiap hari menyisihkan uang untuk membeli kambing kurban, sehingga dapat berkurban secara rutin selama empat tahun.

Bendi, pria berusia 25 tahun ini adalah seorang pemulung, dan sewaktu-waktu bekerja menjaga counter HP dan menjual pulsa. Walau usianya masih muda tetapi kepedulian sosialnya sangat tinggi. Dia setiap minggu menyisihkan uang untuk membeli kambing kurban. Ketika Ustadz Yusuf Mansur yang juga hadir pada acara tersebut bertanya apa yang melatarbelakanginya melakukan hal tersebut? Bendi menjawab dengan mantap, bahwa hal tersebut didasarkan atas rasa cintanya kepada Allah SWT, ingin mengikuti sunnah Rasulullah SAW, dan ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesamanya.

Selain itu, tambahnya, harta yang dimiliki pada dasarnya adalah titipan dari Allah SWT sehingga tidak menjadi masalah jika dikeluarkan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Mendengar jawaban tersebut, Ustadz Yusuf Mansur pun tertegun mendengarkan jawaban dari Bendi, seorang pemuda belia, yang berpenampilan preman tetapi berhati remaja mesjid.

Yusuf Mansur yang dimintai tanggapannya mengatakan bahwa Beliau dan kita semua harus banyak belajar dari hal yang dilakukan oleh Nenek Hafsah dan Bendi. Hidup mereka boleh miskin, tapi mereka hati kaya. Dalam ceramahnya, Yusuf Mansur yang dikenal sebagai ustadz sedekah ini selalu mengingatkan bahwa jangan menunggu kaya untuk bersedekah, tetapi bersedekahkah jika ingin menjadi kaya.

Sebelum nenek Hafsah dan Bendi, tahun 2012 muncul kisah nenek Yati (65) yang bekerja sebagai pemulung di Jakarta berkurban dua ekor kambing. Tahun 2013, nenek Rasma (61) di Surabaya, yang bekerja sebagai pemulung dan Bambang (51) yang bekerja sebagai tukang becak yang berkurban.

Hal yang dilakukan oleh orang-orang tersebut di atas adalah hal sangat luar biasa, hal yang perlu menjadi contoh teladan untuk kita semua. Bagi mereka, berkurban dilandasi oleh niat hanya mengharap ridha Allah SWT. Bagi mereka, kurban adalah sebuah keputusan yang sangat mulia di tengah himpitan kesulitan hidup yang mereka hadapi. Himpitan tersebut tidak otomatis membuatnya jiwanya ikut sempit, tetapi hatinya lapang, mau menyisihkan sebagian hartanya untuk berbagi kebahagiaan kepada sesama.

Bagi mereka, tidak perlu menunggu kaya atau mampu untuk berkurban, tetapi yang penting adalah niat dan keikhlasan. Insya Allah akan diberikan kemudahan oleh Allah SWT. Mereka memilki keimanan yang mantap. Mereka tidak takut hartanya berkurang karena kurban, tetapi justru mengharapkan keberkahan dari kurban tersebut.

Sepintas, jika melihat kondisi mereka, mereka lebih layak menerima daging kurban daripada memberi, tetapi mereka justru sebaliknya, mereka yang memberi, bukan menerima, karena bagi mereka, tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Hal ini kontradiktif dengan para pejabat di negeri ini yang sudah hidup bergelimang harta, mendapatkan gaji dan berbagai tunjangan, tapi masih melakukan korupsi.

Para pejabat dan orang kaya bermental kikir seharusnya malu terhadap hal yang dilakukan oleh para kaum dhuafa tersebut. Mereka tidak banyak beretorika tentang kontribusi terhadap negara dan bangsa ini seperti yang biasa dilakukan para pejabat, tetapi secara nyata mereka melakukannya, karena bagi mereka, pengabdian bukan sekedar kata-kata tetapi aksi nyata. Mereka berprinsip bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang paling bermanfaat bagi sesamanya, persis seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun