Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Kita yang Gagap dan Hipokrit

12 April 2016   06:53 Diperbarui: 12 April 2016   07:17 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. (Ilustrasi: mustafahorton.com)"][/caption]Oleh: IDRIS APANDI

Pendidikan pada hakikatnya bertujuan untuk mamanusiakan manusia.  Pendidikan memberikan bekal pengetahuan, sikap, dan keterampilan kepada peserta didik yang nantinya dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dan untuk menghadapi persaingan global yang semakin ketat.

Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara orang tua, sekolah, dan masyarakat. Ketiga pihak ini harus bersinergi dan bekerjasama untuk mewujudkan amanat undang-undang sistem pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,  kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan akan terus berkembang seiring waktu. Para pelaku pendidikan seperti orang tua, guru, dan masyarakat harus mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Oleh karena itu, ketiga pihak tersebut disamping berperan menjadi pendidik, juga menjadi pembelajar sepanjang hayat. Kunci utama mendidik selain memiliki kompetensi yang dipersyaratkan, juga harus dilakukan melalui keteladanan.

Dalam perjalanannya, praktek pendidikan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah dan berbagai dinamika yang terjadi pada masyarakat. Misalnya, pada kurikulum 1994 kita mengenal istilah CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), tahun 2004 Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dilanjutkan dengan kurikulum 2006, kemudian pada kurikulum 2013 muncul istilah pendekatan saintifik. Apapun istilahnya, sah-sah saja sepanjang untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

Praktek pendidikan di negeri kita pun diwarnai oleh “kegagapan.” misalnya, adanya “titipan-titipan” pada kurikulum pendidikan. Ada program integrasi imtaq dalam pembelajaran, pendidikan lingkungan hidup, pendidikan berbasis gender, pendidikan HAM, pendidikan anti narkoba, pendidikan anti korupsi, pendidikan lalu lintas, pendidikan karakter, pengembangan budi pekerti, dan sebagainya.

Saya ingat, ketika ramai-ramainya program pendidikan karakter, maka sosialisasi dan workshop dilakukan dimana-mana, guru-guru pun diminta untuk menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) “berkarakter”, yang intinya menyisipkan 18 (delapan belas) nilai pendidikan karakter ke dalam Kompetensi Dasar (KD) yang sesuai. Lalu datang lagi program pendidikan anti korupsi, ramai-ramai workshop pendidikan anti korupsi. Saat ini tengah ramai program revolusi mental dan pengembangan budi pekerti, ramai-ramai dunia pendidikan pun harus menyesuaikan dengan kebijakan pemerintah tersebut.

Program-program tersebut tidak salah. Tujuannya semuanya baik, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional, tetapi yang menjadi masalah adalah penyelenggaraan kegiatannya yang berbasis proyek dan bersifat temporer, alias tidak berkelanjutan. Ketika anggarannya masih ada, kegiatan tersebut berjalan, tetapi ketika anggarannya sudah tidak ada, maka program pun terhenti. Dokumen-dokuman yang telah disusun hanya menjadi dokumen mati, dan kegiatan tindak lanjut yang telah direncanakan pun tidak direlisasikan.

Pendidikan kita pun diwarnai dengan hipokritisme atau kemunafikan. Misalnya, beberapa waktu yang lalu di Bandung heboh dengan kemunculan video dua orang siswi SMA di sebuah sekolah swasta yang sedang merokok di dalam kelas, padahal sejak jaman Saya sekolah, atau bahkan jaman-jaman sebelumnya pun, sudah banyak pelajar yang merokok, hanya bedanya, jika dulu, masih ada ketakutan kena razia guru. Mereka tidak berani merokok di lingkungan sekolah. Mereka biasanya merokok sambil nongkrong di warung, pasar, atau perempatan jalan sambil menunggu datangnya angkot, sementara saat ini para siswa sudah berani merokok di dalam kelas.

Dalam  konteks rokok, Saya melihat ada semacam hipokritisme, yaitu di satu sisi, pihak sekolah melarang siswanya merokok, tetapi di sisi lain banyak guru yang suka merokok di sekolah, bahkan ada guru yang menyuruh siswanya membeli rokok, padahal saat ini sudah ada Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan sekolah. Aturan tersebut belum dilaksanakan secara efektif.

Berdasarkan kepada uraian tersebut di atas, maka sudah waktunya praktek pendidikan di Indonesia dibebaskan dari “kegagapan” dan hipokritisme agar prosesnya dapat mewujudkan amanat sistem pendidikan nasional. Hilangkan praktek program pendidikan berbasis proyek untuk kepentingan jangka pendek. Lakukan revolusi mental. Proses pendidikan harus dilaksanakan secara berkelanjutan dan berkesinambungan serta disertai dengan keteladanan para pendidik.

 

Penulis, Pelaku dan Pemerhati Pendidikan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun