Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jabatan Kepala Sekolah, Antara Tuntutan Administratif, Manajerial, dan Politis

17 April 2017   09:20 Diperbarui: 17 April 2017   19:42 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Leader. (Ilustrasi : http://sujanpatel.com)

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Master Trainer Diklat Cakep)

“Pak, Saya menyesal menjadi Kepala Sekolah. Saya mending jadi guru lagi saja.” Ucap seorang kepala sekolah kepada Saya. Saya menangapi, “Mengapa menyesal  bu? Bukankah ibu dulu  memutuskan ikut seleksi calon kepala sekolah? Bukannya jabatan kepala sekolah adalah peningkatan karir seorang guru?” Dia menjawab, “Pusing pak ah. Jadi Kepala Sekolah tidak seindah di atas kertas. Sulit untuk menerapkan hal-hal yang Saya dapatkan waktu diklat Calon Kepala Sekolah. Baru beberapa bulan menjabat, dan masih dalam tahap beradaptasi, ingin bergerak meningkatkan kualitas sekolah, Saya sudah dipindah lagi ke tempat baru.”

Dialog di atas adalah Curhat seorang kepala sekolah yang baru diangkat kurang lebih selama satu tahun ketika bertemu dengan Saya.  Kebetulan Saya sendiri tahu proses perjalanannya menjadi Kepala Sekolah, karena Saya menjadi salah satu Master Trainernya (MT) pada saat yang bersangkutan mengikuti Diklat Calon Kepala Sekolah.

Seorang guru yang akan diangkat menjadi Kepala Sekolah memang harus mengikuti serangkaian seleksi mulai dari seleksi, mulai dari seleksi administratif, seleksi akademik, sampai mengikuti diklat selama 300 JP denga pola In-1 (70JP), OJL (250 JP) dan In-2 (30 JP). Pasal 1 ayat 1 Permendiknas Nomor 28 tahun 2010 menyebutkan bahwa “Kepala sekolah/madrasah adalah guru yang diberi tugas tambahan untuk memimpin taman kanak-kanak/raudhotul athfal (TK/RA), taman kanak-kanak luar biasa (TKLB), sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah (SD/MI), sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah (SMP/MTs), sekolah menengah pertama luar biasa (SMPLB), sekolah menengah atas/madrasah aliyah (SMA/MA), sekolah menengah kejuruan/madrasah aliyah kejuruan (SMK/MAK), atau sekolah menengah atas luar biasa (SMALB) yang bukan sekolah bertaraf internasional (SBI) atau yang tidak dikembangkan menjadi sekolah bertaraf internasional (SBI).”

Pasal 1 ayat 3 menyebutkan “Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah adalah suatu tahapan dalam proses penyiapan calon kepala sekolah/madrasah melalui pemberian pengalaman pembelajaran teoretik maupun praktik tentang kompetensi kepala sekolah/madrasah yang diakhiri dengan penilaian sesuai standar nasional.” Lalu pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa “Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah merupakan kegiatan pemberian pengalaman pembelajaran teoretik maupun praktik yang bertujuan untuk menumbuhkembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan pada dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.”

Penyiapan calon kepala sekolah bertujuan untuk melahirkan seorang kepala sekolah yang kompeten. Pasal 1 ayat 5 menyatakan bahwa “Kompetensi kepala sekolah/madrasah adalah pengetahuan, sikap dan keterampilan pada dimensi-dimensi kompetensi kepribadian, manajerial, kewirausahaan, supervisi, dan sosial.”

Uraian di atas adalah gambaran normatif dari karakteristik seorang kepala sekolah. Dalam berbagai kesempatan Saya menjadi MT Diklat Cakep, Saya selalu mengatakan bahwa hal yang dipelajari oleh seorang calon kepala sekolah pada saat diklat adalah hal-hal yang bersifat normatif, dan “medan tempur” yang sebenarnya adalah pada saat sudah diangkat menjadi kepala sekolah. Di lapangan, kadang ada hal yang kontradiktif antara yang seharusnya dengan kenyataannya. Seorang kepala sekolah mengalami dilema atau konflik batin dalam mengambil keputusan.

Seorang Kepala sekolah disamping harus mampu mengelola sekolah yang dipimpinnya dengan baik, juga harus harus mampu menjaga silaturahim, loyal, dan taat pada atasannya, yaitu dinas pendidikan. Apapun yang dipesankan oleh Dinas Pendidikan, maka sang kepala sekolah harus mengamankannya.

Walau banyak teori kepemimpinan dari berbagai referensi, tetapi di lapangan, memimpin adalah seni. Kadang teori-teori tersebut jauh panggang dari api alias sulit untuk dilaksanakan. Bukan teorinya yang salah, tetapi kondisi di lapangan yang kurang memungkinkan bagi seorang Kepala Sekolah untuk melaksanakannya, apalagi kalau sudah dimasuki unsur politis baik dalam pengangkatan, penempatan, maupun mutasi kepala sekolah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun