Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mental Gratisan

29 Januari 2022   14:00 Diperbarui: 29 Januari 2022   14:07 1743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MENTAL GRATISAN

Oleh: IDRIS APANDI

(Pemerhati Masalah Sosial)

 

Siapa sih yang tidak tertarik saat mendengar atau membaca kata gratis dari sebuah pelayanan, fasilitas, atau pemberian barang tertentu. Kata gratis menjadi kata pemikat promosi jasa layanan atau penjualan barang tertentu dari perusahaan atau toko. Kata gratis 1 setelah membeli 2 barang tertentu menjadi magnet bagi emak-emak untuk belanja dengan semangat.

Siapa pun, tanpa memandang latar belakang usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan latar belakang sosial-ekonomi, baik miskin atau pun kaya. Bahkan tanpa ada tawaran gratis pun, orang ada yang minta layanan atau fasilitas gratis dengan dalih sudah lama berlangganan, sudah banyak belanja dengan jumlah nominal tertentu, atau karena faktor kedekatan hubungan seperti hubungan keluarga, hubungan kekerabatan, atau hubungan pertemanan.

Bicara tentang gratisan, saat tidak memerlukan pun, kalau ada yang gratisan pasti diterima saja. Orang rela antri lama demi mendapatkan barang atau layanan gratisan. Adanya sesuatu yang gratis kadang membuat orang lupa diri, serakah, tamak, tidak ingat kepada orang lain yang juga memerlukan. Adanya fasilitas gratis kadang orang kurang bertanggung jawab. Hanya mau menggunakan tetapi tidak mau ikut memeliharanya. Fasilitas publik yang didapatkan secara gratisan ada yang rusak, kotor, banyak sampah, penuh dengan coretan.

Menurut saya, mental gratisan adalah salah satu jenis penyakit psikologis. Apalagi kalau mentalitas itu dialami oleh banyak orang yang secara ekonomi mampu dan dapat membayar secara layak. Apalagi kalau meminta gratisan itu dilakukan kepada orang yang usahanya kecil, masih berjuang untuk mengembangkan usaha, atau dalam kondisi usaha yang masih kecil. Bagi saya, hal tersebut merupakan hal yang kurang manusiawi.

Berbeda kalau hal yang gratisan itu diberikan secara sukarela dari pedagangnya. Tentu hal tersebut tidak menjadi masalah. Walau demikian, orang yang diberi pun harus peka.  Saat orang lain berbuat kebaikan, tentu dia pun harus bisa membalasnya. Minimal dengan mendoakan atau memberikan balasan yang sama dalam bentuk bingkisan, hadiah, atau fasilitas gratis kepada yang memberi paket gratisan kepadanya. Memberikan paket gratisan bisa saja dilakukan oleh seseorang sebagai bentuk rasa syukur atas kesuksesan yang diraihnya. Dia akan senang kalau orang-orang mau nenerimanya.

Mungkin ada yang bercanda minta gratisan kepada orang lain. Dia tidak serius memintanya. Walau sifatnya bercanda, sebaiknya jangan melakukannya karena bisa menjadi beban pikiran bagi orang yang dimintainya. Apalagi kalau sering mengucapkan hal tersebut. Sama halnya dengan meminta oleh-oleh kepada yang pergi ke sebuah tempat. Walau bercanda, tetap akan menjadi beban pikiran bagi orang bepergian tersebut.

Budaya mental gratisan kadang muncul juga di kalangan pejabat atau orang yang memiliki kewenangan. Saat kunjungan ke sebuah tempat atau daerah, dia melihat sebuah barang yang menarik perhatian, kemudian dia menunjukkan ketertarikannya bahkan memintanya baik secara terbuk maupun dengan menggunakan bahasa kiasan. Biasanya tuan rumah peka, kemudian memberikannya atau membelikannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun