Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Apakah Perlu Seorang Pemimpin Marah-Marah?

2 Oktober 2021   17:54 Diperbarui: 2 Oktober 2021   18:39 2323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Marah adalah sebuah hal yang sangat manusiawi. Bisa terjadi kepada siapa saja. Mulai dari bayi hingga orang dewasa. Mulai dari orang biasa hingga pejabat. Jangankan manusia, hewan saja bisa marah kalau dirinya diganggu atau merasa terancam. Kemarahan dipicu oleh rasa kecewa atau rasa tidak puas terhadap sesuatu. Di sini berlaku hukum aksi-reaksi dan teori stimulus-respon.

Kemarahan kadang bisa ditahan tapi saat sudah memuncak, kemarahan itu pada akhirnya dilampiaskan. Kemarahan biasanya diekspresikan dengan wajah yang tidak ramah, nada suara yang tinggi, pandangan mata yang tajam, nafas tersengal-sengal, badan bergetar, atau bahkan sambil menangis dan berteriak-teriak.

Dampak atau efek dari kemarahan itu adalah hal yang kurang baik, seperti berubahnya citra seseorang, rusaknya barang tertentu, luka fisik, luka batin, rusaknya hubungan yang sudah sekian lama terjalin, bahkan hilangnya nyawa seseorang karena kemarahan yang tidak terkendali. Marah pada dasarnya adalah sifat yang buruk. Seorang pemarah pun sebenarnya tidak suka kalau melihat orang marah, karena kemarahan justru menurunkan martabat dan wibawa seseorang.

Seorang pemimpin pada dasarnya dapat marah pada saat dia melihat kinerja stafnya rendah, pelaksanaan program tidak optimal atau tidak sesuai instruksi, atau target kegiatan tidak tercapai. Walau demikian, kemarahan adalah ekspresi terakhir yang dimunculkan saat rasa kecewa itu memuncak. Dalam menyelesaikan masalah, seorang pemimpin sebaiknya mencari dan mengindentifikasi informasi secara objektif, proporsional, berimbang dari berbagai sumber disertai dengan data dan fakta yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kalau misalnya, dia perlu memanggil staf yang menurutnya menjadi penyebab dari masalah tersebut, sang pemimpin berhak dan/atau berkewajiban untuk memanggilnya untuk dimintai klarifikasi atau pertanggungjawaban. Lakukanlah secara tertutup. Bertemu 4 mata atau lebih dari 4 mata jika memang diperlukan dan relevan dengan masalah yang dibahas. Jika memang data dan fakta memang menunjukkan ada kesalahan dari staf sehingga program tidak terlaksana dengan baik, maka bisa saja sang pemimpin marah, memberikan peringatan kepada stafnya, bahkan bisa memberhentikan stafnya tersebut jika dinilai kesalahannya sudah fatal atau sudha berulang kali melakukan kesalahan yang sama.

Sekali lagi, pemimpin dapat marah, tapi jangan suka bahkan hobi marah-marah. Apalagi memarahi staf di hadapan orang banyak sehingga staf yang dimarahinya tersebut merasa malu sehingga harkat dan martabatnya merasa direndahkan. Sesalah-salahnya orang, tetap dia punya harga diri dan tidak ingin direndahkan di hadapan orang lain.

Walau kemarahan itu tujuannya baik yaitu untuk mengoreksi, mengingatkan, atau memperbaiki sesuatu hal yang kurang baik, tetapi hasilnya tidak akan positif. Kalau pun orang-orang di sekitarnya diam seolah mendengarkan kemarahan sang pemimpin, tetapi dalam hati mereka mungkin saja berkecamuk ketidaksukaan bahkan dendam kepada sang pemimpin yang telah mempermalukannya di depan umum.

Pemimpin berhak dan berkewajiban mengoreksi kesalahan stafnya. Dia pun berhak dan berkewajiban mengevaluasi kinerja stafnya. Walau demikian, upayakan dengan cara yang baik, santun, dan bermartabat. Tidak mengedepankan emosi dan arogansi karena belum tentu efektif bahkan kontraproduktif. Manajemen perubahan perlu dilakukan secara elegan, santun, dan bijaksana sehingga perubahan dapat tercapai tanpa meninggalkan luka atau dendam. Sikap tegas seorang pemimpin perlu, tapi ketegasan yang tetap menjaga harkat dan martabat stafnya.

Penulisan kata marah secara tunggal menunjukkan hal tersebut menunjukkan bahwa marah atau kemarahan seorang pemimpin adalah hal normal dan manusiawi dalam dinamika memimpin sebuah organisasi. Pemimpin yang suatu saat marah, dia akan berubah menjadi baik jika harapan dan keinginannya untuk perbaikannya terwujud. Intinya, sifat marah bukan karakter yang melekat pada dirinya, tapi hanya ekspresi sesaat saja, tidak masuk ke dalam hati. Dengan demikian, wibawanya pun akan tetap terjaga di hadapan staf.

Sedangkan kalau penulisan kata marahnya jamak (marah-marah), bisa diartikan karakter pemarah melekat dalam diri seorang pemimpin. Hal tersebut merugikan bagi dirinya sendiri. Tidak akan ada staf yang mau dan nyaman dipimpin oleh seorang pemimpin yang hobinya marah-marah. Ketaatan seorang staf kepada pemimpin yang hobinya marah-marah hanya didasarkan atas rasa takut bukan rasa hormat. Dengan kata lain, ketaatan yang muncul adalah ketaatan yang semu, ketaatan pura-pura, atau ketaatan yang palsu.

Mungkin saja ada staf yang bicara dalam hatinya, "kapan orang ini akan dimutasi ke tempat lain?" atau "kapan orang ini akan pensiun?" atau mungkin sang staf berpikir dirinya yang akan pindah atau mengundurkan diri karena sudah merasa tidak nyaman bekerja di kantor yang dipimpin oleh pemimpin yang bisanya atau hobinya marah-marah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun