Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Haruskah Rumah Tanggaku Kandas Karena Corona?

26 Juni 2021   14:35 Diperbarui: 26 Juni 2021   15:00 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Oleh: IDRIS APANDI

"Assalamu 'alaikum." Kudengar suara suamiku membuka pintu rumah sambil mengucap salam. Sambil keluar dari kamar, aku pun menghampirinya yang duduk di kursi, aku pun menjawab salamnya. "Wa'alaikum salam." Aku sejenak pergi ke dapur mengambil air minum buat dirinya, lalu aku pun menyodorkannya padanya.

Aku duduk di kursi di samping suamiku. Dari raut wajahnya, aku menerka bahwa dia sedang dalam kondisi kurang gembira. Makanya aku menahan diri untuk bertanya hal yang membuat kurang nyaman. "Diminum dulu airnya pak." Ucapku padanya sekadar membuka pembicaraan.  "Iya makasih bu." Jawabnya singkat sambil meminum air yang ada di hadapannya.

Suamiku tampak kehausan. Ia minum segelas air sampai habis sekaligus. Setelah minum, dia pun mengambil nafas panjang dan bersandar ke kursi. Kondisi cuaca hari itu memang panas. Mungkin dia kepanasan di jalan. Aku saja yang seharian berada di rumah merasa gerah, apalagi suamiku yang menyusuri jalan mencari kerja. Sudah hampir 1 tahun suamiku menganggur. Dia di-PHK dari pabrik tempatnya bekerja. Dampak dari adanya Corona, banyak pabrik yang menurun produksinya sehingga terpaksa mem-PHK karyawannya. Dan suamiku yang telah bekerja lebih dari 10 tahun menjadi salah satu korbannya. Pihak pabrik berjanji bahwa setiap karyawan di PHK dijanjikan mendapatkan pesangon tapi hampir 1 tahun, pesangon itu tidak kunjung diterima. Suamiku pernah bilang bahwa masalah pesangon sedang diperjuangkan oleh serikat pekerja agar cepat cair.

"Hari ini habis dari mana pak?" Aku memberanikan diri bertanya kepada suamiku. "Biasa lah, nyari-nyari lowongan kerja. Keliling kawasan pabrik. Barang kali ada yang menerima lowongan. Tapi belum ada lowongan. Terus tadi Bapak juga menjumpai pengurus serikat buruh untuk menanyakan masalah pesangon yang belum cair. Katanya belum ada titik temu. Pihak pabrik minta agar pesangon dicicil sehubungan pabrik sedang kesulitan keuangan, tapi pengurus serikat pekerja menolaknya. Mereka menuntut agar pesangon bagi karyawan yang di-PHK dibayar sekaligus. Pusing jadinya. Mana sampai har ini bapak belum dapat pekerjaan lagi."

"Iya pak. Semoga pesangon segera cair karena kita perlu buat bekal hidup dan buat modal usaha." Aku menanggapi perkataan suamiku. "Ya bu. Bapak juga berharap seperti itu." Suamiku menimpali ucapanku. Hidup keluargaku memang terasa berat setelah suamiku di-PHK. Awalnya kami mengontrak rumah sederhana di dekat pabrik tempat suamiku bekerja, tapi karena sudah tidak sanggup membayar kontrakan, maka kami pun pindah ke kontrakan yang lebih kecil agar biayanya lebih murah. Hanya ada 1 kamar dan dapur. Sedangkan kamar mandi ada di luar kontrakan dan digunakan oleh pengontrak lainnya.  2 orang anakku, Gina dan Ganjar yang awalnya bisa tidur di dalam satu kamar, kini harus mau tidur di tengah rumah yang merangkap ruang keluarga. Mereka tidur beralaskan kasur lipat. Kalau siang kasurnya dibereskan dan malam jelang tidur kasur tersebut baru digunakan.

Prihatin memang, tapi mau gimana lagi? Kondisi sedang sulit. Awalnya, suamiku mengsulkan agar kami menumpang di rumah orang tua suamiku, tapi aku tolak dengan alasan kehadiran keluarga kami di rumah mertua disamping membuat kami merasa canggung juga takut memberatkan mertua kami yang juga hidup pas-pasan. Mereka telah usia senja. Mereka pun mengandalkan biaya hidup dari anak-anaknya. Adik suami yang bungsu yang juga sudah berkeluarga tinggal bersama dengan mertua. Dia pun bekerja sebagai buruh pabrik, tapi tidak terimbas PHK. Walau demikian, dia tidak kerja full dalam satu minggu. Dia giliran dengan karyawan lainnya sehubungan adanya penurunan produksi di pabrik tempatnya bekerja. Hal ini tentunya berdampak terhadap menurunnya penghasilannya.

Aku pernah mengusulkan kepada suamiku jika sementara menumpang di rumah kedua orang tuaku, tapi dia pun menolaknya dengan alasan yang sama, yaitu  tidak ingin merepotkan mereka. Ditambah kedua orang tuaku pun masih mengurus kedua adikku Hani dan Roni yang masih sekolah. Keluargaku yang biasanya juga suka membantu biaya hidup untuk orang tua, baik orang tuaku sendiri maupun mertua, tetapi kondisi saat ini membuat kami tidak bisa membantu biaya hidup bagi mereka. Beruntung, mereka bisa memahami kondisi ini. Sedih sebenarnya tidak bisa membantu nafkah orang tua, tapi mau gimana lagi? Kehidupanku kami saat ini sedang sulit.

Setelah di-PHK, suamiku selain mencoba melamar pekerjaan, juga pernah mendaftar jadi pengemudi ojek online (ojol), tapi sehubungan kuotanya sudah penuh, jadi tidak diterima jadi pengemudi ojol. Pengemudi ojol yang sudah ada saja banyak yang mengeluh karena sulitnya mendapatkan penumpang seiring dengan pembatasan kegiatan masyarakat dan penutupan jalan-jalan protokol. Kalau aku melihat status WA-nya,  dia suka menawarkan diri atau menerima jasa angkut barang. Ya, kerja apa saja yang penting bisa mendapatkan uang. Kadang aku kasihan padanya. Pernah dalam sehari tidak mendapatkan penghasilan.

Aku tidak menampik bahwa kondisi saat ini membuatku sulit mengatur keuangan rumah tangga. PHK telah membuat suamiku kehilangan penghasilan. Sedikit tabungan yang dimiliki pun habis. Sepeda motor yang kami miliki asalnya 2 unit sudah dijual 1 unit untuk menyambung hidup. Godaan rentenir atau "bank emok" dan pinjaman online yang masuk ke HP ku kadang membuatku tergoda ingin pinjam juga, tapi setelah aku pikir-pikir, justru akan menambah masalah. Dari mana aku harus membayarnya? Aku lihat berita di TV ada yang terjerat pinjaman online. Dia harus membayar sampai puluhan juta, padahal pinjamya hanya 1-2 juta saja. Dia mendapat teror dari penagih hutang sampai setres, bahkan ada yang mencoba bunuh diri. Aku tidak sanggup kalau seperti itu. Tentu aku akan malu dan setres jika terjerat pinjaman online.

Tidak kupungkiri juga, kadang aku dan suamiku terlibat percekcokan   dalam menyikapi kondisi sulit saat ini, tapi kami masih bisa mengendalikan diri dan tidak memperlihatkannya di kedua anak kami. Setelah di-PHK, aku perhatikan, dia menjadi lebih sensitif dan mudah emosi, apalagi kalau sudah bicara tentang pekerjaan dan biaya hidup. Mungkin baginya, hal tersebut menjadi hal yang sensitif karena pekerjaan merupakan harga diri bagi laki-laki sebagai kepala keluarga. Sebagai istri, menurutku adalah hal yang wajar jika meminta nafkah padanya, apalagi aku hanya seorang ibu rumah tangga alias tidak bekerja. Nafkah sepenuhnya mengandalkan dari suami. Kedua anakku yang juga sudah hampir 2 tahun belajar dari rumah tentunya tetap diberi makan. Belum lagi kebutuhan kuota internet untuk belajar yang harus dipenuhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun