Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sirine Ambulan Pembawa Pesan

24 Juni 2021   22:15 Diperbarui: 24 Juni 2021   22:28 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

SIRINE AMBULAN PEMBAWA PESAN

Oleh: IDRIS APANDI

Dua minggu selama Juni 2021 suasana terasa cukup mencekam. Kasus Covid-19 meningkat tajam di berbagai daerah. Hari ini aku dengar kenaikan kasusnya yang fantastis. Terjadi lebih dari 20 ribu kasus baru secara nasional. Ada ahli dan pengamat yang mengatakan bahwa hal ini sebagai dampak mudik lebaran. Padahal saat mudik lebaran, penyekatan sudah dilakukan di berbagai jalur mudik. 

Tujuannya untuk menahan warga agar tidak mudik. Para pemudik yang tidak memenuhi persyaratan disuruh putar balik oleh aparat, walau dalam kenyataannya para pemudik yang membludak bisa lolos karena "main kucing-kucingan" dengan aparat yang menjaga pos penyekatan.

Aku melihat berita di TV bahwa Rumah sakit-rumah sakit penuh bahkan overload. Banyak pasien yang tidak kebagian ruang rawat. Ruang selasar pun terpaksa dijadikan sebagai ruang rawat sementara. 

Tenaga kesehatan pun kewalahan. Mereka pun banyak yang terpapar Covid-19, bahkan ada yang gugur saat bertugas. Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah bekerja keras mencari upaya agar kasus Covid-19 bisa ditekan dan dikendalikan. Jangan sampai muncul lagi kasus baru Covid-19.

Rumahku kebetulan tidak jauh dari jalan protokol. Dalam 1 jam bisa terdengar 1 sampai 3 sirine mobil ambulan yang wara-wiri. Kemungkinan mobil tersebut membawa pasien yang sakit atau jenazah menuju atau dari rumah sakit. Setiap mendengar sirine ambulan, sambil terasa risau, aku bertanya dalam hati, "siapa lagi nih yang jadi korban Covid-19?" 

Walau mungkin saja pasien atau korban yang ada pada ambulan itu bukan korban Covid-19, tapi karena pandemi Covid-19 sudah banyak memakan korban, maka setiap ada mobil ambulan yang lewat, ingatanku langsung ke kasus Covid-19.

Aku sendiri saat ini lebih banyak beraktivitas di rumah. Sudah sejak tahun lalu, kantor tempatku bekerja memberlakukan Work From Home (WFH) bagi para pegawainya secara terjadwal. Tujuannya untuk menjaga kesehatan dan keselamatan pegawai. Apalagi saat ini kasus Covid-19 naik drastis, kebijakan WFH sepertinya akan dipertahankan.

Bagiku, suara sirine ambulan bukan hanya sebuah suara yang biasa, tetapi sebuah suara ambulan yang mengirimkan 2 pesan kepadaku. Pertama, jangan sampai Anda naik mobil ini, karena setiap yang naik mobil ini pasti ada kaitannya dengan masalah kesehatan atau musibah.  

Tidak ada yang pergi bekerja naik mobil ambulan, kecuali sopir ambulan yang memang kerjanya mengendarai ambulan. Tidak ada orang liburan naik mobil ambulan. Tidak ada rombongan hajatan yang naik ambulan. Walaupun gratisan, jangan mau naik mobil ambulan.

Orang yang berada dalam di ambulan, hampir dipastikan kondisi jiwanya tidak tenang. Sopir ambulan harus cekatan sekaligus hati-hati membawa pasien ke rumah sakit atau ke rumah duka. Pengantar pasien atau jenazah kondisi hatinya pasti sedih. Aku sendiri pernah merasakan naik mobil ambulan, yaitu saat aku membawa jenazah ayahku dari sebuah klinik di Tangerang ke rumahku di Bandung tahun 2017.

Cukup sekali saja naik ambulan. Aku merasakan, suara sirine yang menyertai laju mobil ambulan semakin membuat suasana mencekam. Hampir dipastikan tidak ada orang yang turun dari mobil ambulan wajahnya sumringah. Justru yang tampak adalah wajah yang sedih, tegang, khawatir, atau minimal kurang bergairah.

Kedua, suara sirine ambulan seolah berpesan kepadaku agar tetap menaati protokol kesehatan. Jaga imun tubuh dan jaga kesehatan karena sehat itu mahal dan berharga. Pasien Covid-19 sudah banyak bergelimpangan di rumah sakit. Jangan sampai Anda menyusul dirawat di rumah sakit. Naudzubillaah. Dari konteks religi, adalah benar segala sesuatu yang menimpa seorang hamba adalah ketentuan dari Allah SWT. Walau demikian, dia wajib berikhtiar agar terhindar dari musibah.

Waspada perlu tapi jangan takut berlebihan atau paranoid terhadap Covid-19, karena kekhawatiran yang berlebihan justru membuat batin tidak tenang. Setelah semua ikhtiar duniawi telah dilakukan, maka perlu dikuatkan dengan mendekatkan diri kepada-Nya.

Aku sendiri mencoba mensugesti diriku untuk tetap sehat dengan meningkatkan ibadah, khususnya dengan meningkatkan membaca Al-Qur'an. Dengan kata lain, membaca Al-Qur'an sebagai terapi rohani. Saat membaca Al-Qur'an, batinku terasa tenang.

Selain meningkatkan imun tubuh, saat ini yang perlu ditingkatkan adalah iman. Musibah yang terjadi saat ini merupakan ketentuan dari Allah SWT. Saat imun kuat, iman ditingkatkan, maka lahir batin kita Insya Allah akan aman. Setiap orang tentunya punya cara masing-masing menjaga imun dan imannya. Intinya semua ingin selamat.

Belum ada pihak yang bisa memastikan kapan Pandemi ini berakhir. Pemerintah beserta pihak terkait hanya bisa berikhtiar untuk menangani pandemi ini. Mari bantu jangan sampai sirine ambulan terus berbunyi dengan cara tubuh tetap sehat. 

Jika sakit tidak sampai dirawat di rumah sakit apalagi hingga meregang nyawa di rumah sakit. Saat sirine ambulan tidak berbunyi, maka bisa jadi tanda kasus Covid-19 menurun dan sopir-sopir ambulan bisa sejenak istirahat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun