Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Agama, Akhlak, dan Budaya

9 Maret 2021   17:38 Diperbarui: 9 Maret 2021   18:09 2174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mengawali tulisan ini saya ingin membatasi khusus pada pembahasan tentang agama pada tulisan ini banyak dikaitkan dengan ajaran agama yang saya anut, yaitu agama Islam. Agama, baik agama yang wahyukan oleh Tuhan melalui malaikat dan disebarkan oleh para utusan-Nya (yang dalam keyakinan saya agama Islam adalah agama wahyu/samawi) maupun agama yang merupakan hasil refleksi dan kontemplasi seorang yang manusia lalu dijadikan sebuah ajaran yang dianut oleh banyak orang yang disebut sebagai agama ardi (agama bumi). 

Agama mengajarkan kebaikan dan mencegah keburukan. Agama juga mengampanyekan perdamaian dan hidup dalam harmoni serta berdampingan antarsesama manusia tanpa membeda-bedakan rasa atau warna kulit. Terkait agama, pembukaan dan isi UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa Indonesia adalah negara yang percaya kepada Tuhan YME. 

Kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia adalah berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, kemudian didorongkan oleh keinginan luhur untuk merdeka dari seluruh bangsa Indonesia. Pasal 29 UUD 1945, pasal 1 menyebutkan "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa", sementara pasal 2 menyatakan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Lalu pasal 31 ayat (3) menyatakan bahwa "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang." 

Berdasarkan hal di atas, sudah sangat terang benderang bahwa agama menjadi fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keyakinan terhadap Tuhan YME yang tercantum pada UUD 1945 lalu dioperasionalkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Di Indonesia ada kementerian agama yang tugas utamanya adalah menyelenggarakan urusan pendidikan agama, pembinaan umat beragama, dan mengelola urusan keagamaan seperti pelaksanaan ibadah haji, menetapkan awal dan akhir bulan ramadan, dan sebagainya. Dalam konteks pendidikan, wujud keyakinan terhadap Tuhan YME dijabarkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional dan berbagai peraturan yang mengatur dunia pendidikan. Pada kurikulum pendidikan pun dicantumkan mata pelajaran pendidikan agama. Mata pelajaran ini ada sejak kurikulum pendidikan pascaIndonesia merdeka. 

Pendidikan agama selain diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi umum, juga sekolah atau perguruan tinggi yang berbasis agama seperti MI, MTs, MA, dan Institut, atau Universitas Islam (dalam konteks agama Islam). Dalam konteks pendidikan nonformal, pendidikan agama (Islam) diajarkan di pesantren-pesantren, Madrasah Diniyah, atau majelis taklim. Dan dalam konteks pendidikan informal, pendidikan agama diberikan di lingkungan keluarga olah orang tua. Agama menjadi panduan bagi para pemeluknya untuk menjalani hidup dan kehidupan.

Ajaran agama bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga diharapkan bisa tecermin dalam kehidupan sehari-hari. Idealnya memang ketaatan beragama berbanding lurus dengan sikap dan perilakunya. Namun pada praktiknya, memang tidak bisa dipungkiri tingginya ketaatan seseorang menjalankan ritual agama belum tentu berbanding lurus dengan akhlak (sikap dan perilaku). Taat beragama tapi masih banyak melakukan penyimpangan atau keburukan. 

Hal ini yang menjadi argumen bagi pihak-pihak yang kurang setuju dengan diajarkannya pendidikan agama pada lembaga pendidikan formal. Alasannya bahwa agama adalah hal yang bersifat privat antara seorang individu dengan Tuhannya. Negara tidak perlu terlalu jauh mengintervensi urusan agama warga negara. Bagi mereka, pendidikan agama di sekolah atau perguruan dinilai melahirkan potensi radikalisme dan tindakan diskriminatif dari pemeluk agama mayoritas kepada pemeluk agama minoritas. 

Oleh karena itu, mereka meminta agar pendidikan tidak diajarkan di sekolah. Biarlah itu menjadi urusan orang tua atau individunya sendiri. Dengan kata lain, bagi mereka, pendidikan agama kurang atau bahkan tidak berdampak pembentukan karakter peserta didik. Menurut saya, saat praktik dalam kehidupan ada sikap atau perilaku peserta didik, individu, atau kelompok masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agama, bukan agama atau pendidikan agama yang disalahkan atau minta untuk dihilangkan, tetapi praktiknya yang terus diperbaiki. Ibaratnya, kalau ada tikus di lumbung padi, bukan lumbung padinya yang dibakar, tetapi tikusnya yang dibakar. 

Kalau saya menggunakan logika terbalik, ada pendidikan agama saja, masih banyak terjadi perilaku masyarakat yang menyimpang atau tidak sesuai dengan ajaran agama, apalagi kalau tidak ada pendidikan agama. Orang yang mengiblat kepada pemikiran sekuler-liberal suka membandingkan-bandingkan antara Indonesia dengan negara-negara barat. Misalnya di sebuah negara barat, tingkat kejahatan sangat jarang, penjara sepi karena tidak ada napi yang dihukum. Lingkungannya bersih, tidak ada yang suka membuang sampah sembarangan, masyarakatnya tertib, taat hukum, dan sebagainya. Gambaran tersebut seolah membenarkan dan menguatkan anggapan bahwa ketaatan agama tidak berbanding lurus dengan akhlak dan budaya. Mengapa ada orang sekuler bahkan atheis di sebuah negara akhlak dan budayanya baik? Menurut saya, akhlak dan budaya yang baik yang diperlihatkan oleh mereka adalah gambaran dari berhasilnya pendidikan dan penegakkan hukum di negara tersebut. 

Hal tersebut tentunya perlu proses yang lama. Mulai dari sosialisasi, pembiasaan, hingga penegakaan hukum yang objektif dan berkeadilan. Sistem pengawasan yang bagus membuat orang takut untuk melanggarnya. Adapun agama tidak disangkut-pautkan karena dianggap sebagai urusan pribadi. Seharusnya karakter warga Indonesia bisa jauh lebih baik dari warga yang tinggal di negara yang sekuler karena Indonesia dikenal sebagai negaranya taat beragama, tetapi memang realitanya belum sebagaimana yang diharapkan. Walau demikian, justru hal tersebut perlu menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan, mulai dari para pemimpin sebagai pemegang kebijakan, para pendidik, tenaga kependidikan, hingga orang tua dan masyarakat. 

Karakter negatif yang melekat pada bangsa Indonesia memang sudah sejak puluhan tahun dikenal. Menurut Budayawan Mochtar Lubis, ada 8 karakter negatif bangsa Indonesia, yaitu; (1) munafik, (2) enggan bertanggung jawab, (3) berjiwa feodal, (4) percaya takhayul, (5) artistik, (6) karakter lemah, (7) boros, dan (8) tidak suka bekerja keras/menerabas. Hal yang disampaikan oleh Mochtar Lubis tersebut tentunya bisa menjadi sarana refleksi bagi semua bangsa Indonesia apakah yang disampaikan oleh Beliau itu benar atau tidak, karena sampai dengan saat ini pun, sepengetahuan saya belum ada tulisan yang secara terbuka menolak pendapatnya tersebut. Walau demikian, jika melihat kepada berbagai fenomena, tren, sikap, dan perilaku masyarakat, maka menurut saya, pendapat yang disampaikan oleh Mochtar Lubis adalah banyak benarnya. 

Agama, khususnya agama Islam adalah hal yang bersifat kewahyuan. Islam mengatur masalah akhlak. Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak manusia. Adapun budaya adalah sesuatu yang muncul atau lahir sebagai bentuk hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Menurut saya, agama dan budaya tidak memiliki kaitan secara langsung, tetapi agama bisa mendorong seorang manusia untuk menjadi makhluk yang berbudaya. Misalnya Islam mengajarkan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Dari hal tersebut diharapkan lahir manusia yang menyintai budaya hidup bersih. Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT kepada kaum Quraisy yang saat itu mengalami masa jahiliyah dengan diwarnai akhlak dan budaya yang tidak beradab seperti suka berperang, tidak menghormati hak asasi manusia, suka berbuat maksiat, dan sebagainya. 

Walau diwarnai perjuangan yang sangat luar biasa, sampai Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat harus berhijrah dari Mekkah ke Madinah dan mengalami beberapa kali perang untuk mempertahankan diri dari serangan kaum kafir Quraisy, pada akhirnya perjuangan untuk menyebarkan Islam kepada masyarakat Quraisy pada khususnya dan masyarakat Arab pada umumnya berhasil. Masyarakat Arab yang tadinya jahiliyah lekat dengan budaya yang tidak baik menjadi masyarakat yang beradab. Berdasarkan kepada hal tersebut, maka antara agama, akhlak, dan budaya memiliki keterkaitan antara satu dengan lainnya. Walau demikian, agama menjadi hal utama yang menjadi fondasi untuk mewujudkan manusia yang berakhlak dan berbudaya. Oleh karena itu, agama tidak perlu dipertentangkan dengan akhlak dan budaya. 

Hal yang perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan adalah penguatan peran agama untuk menguatkan akhlak dan budaya manusia. Dan bidang pendidikan, baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal menjadi sarana penting untuk menguatkan peran pendidikan agama dalam membangun manusia yang berakhlak mulia dan berbudaya. Wallaahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun