Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pentingnya Literasi Etika Berbahasa Saat Menggunakan Media Sosial

28 Februari 2021   00:28 Diperbarui: 28 Februari 2021   01:10 3156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Digital Civility Index (DCI) yang mengukur tingkat kesopanan digital pengguna internet dunia saat berk#liomunikasi di dunia maya, menunjukkan warganet atau netizen Indonesia menempati urutan terbawah se-Asia Tenggara. Dalam riset yang dirilis oleh Microsoft ini, tingkat kesopanan netizen Indonesia memburuk delapan poin ke angka 76, di mana semakin tinggi angkanya tingkat kesopanan semakin buruk. (Kompas, 26/02/2021).

Rendahnya kesopanan pengguna internet di Indonesia ditandai dengan banyaknya hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian di media sosial. Coba kita perhatikan postingan atau komentar-komentar warganet (netizen) di media sosial seperti FB, Twitter, atau Instagram. Sungguh sangat mengerikan. Kata-kata atau kalimat tidak pantas banyak dikeluarkan dengan oleh mereka. Mereka tidak peduli terhadap dampak dari postingan atau komentar-komentarnya. Seolah para pencaci dan penghina itu lebih baik dari orang yang dicaci atau dihinanya. Kasus yang melanda seseorang, utamanya figur publik menjadi sasaran empuk bully-an netizen yang "maha benar."

Perang kata-kata, cacian, hinaan, perudungan sudah menjadi sebuah hal yang menjadi sangat mudah ditemui. Perkataan yang disampaikan seolah meluncur begitu saja. Tidak dipertimbangkan begitu baik dan buruknya. Sasaran cacian, hinaan, perundungan sudah tidak memperimbangkan usia, kedudukan, atau jabatan yang disandang oleh seseorang. Orang yang lebih muda seenaknya merundung orang yang lebih tua dan dihormati banyak orang. Masyarakat pun dengan mudahnya mencaci maki pemimpinnya, walau pun hal tersebut muncul sebagai dampak dari kinerja sang pemimpin yang kurang memuaskan sebagian masyarakat.

Jari-jari netizen banyak yang lebih dulu bergerak menulis postingan atau komentar dibandingkan dengan kecepatan otaknya. Akibatnya, terjadi konflik antarnetizen sebagai dampak postingan atau komentar yang tidak bertanggung jawab tersebut. Cukup banyak juga perseteruan di dunia maya berlanjut dengan perseteruan di dunia nyata seperti tawuran atau tindakan kekerasan. Bahkan ada yang sampai berujung ke ranah hukum. Aksi saling lapor akibat unggahan postingan atau komentar di media sosial menjadi hal yang sudah banyak dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa atau pihak yang merasa dirugikan.

"Netizen yang maha benar." Pernyataan tersebut adalah sebuah ironi atau gambaran dari netizen yang senang mengomentari, mem-bully, dan menyerang dan menyerang orang lain, baik orang yang dikenalnya atau orang yang tidak dikenalnya. Ada yang memang memiliki tendensi atau tujuan pribadi dari komentar-komentarnya atau hanya sekadar ikut-ikutan komentar tanpa tahu hal yang sebenarnya. Kadang sebuah berita pun hanya dibaca judulnya saja, malas untuk membaca isi beritanya secara utuh. Kalau pun membaca isi beritanya secara utuh. Kadang tidak cek dan ricek kebenaran isi beritanya. Oleh karena itu, hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian dengan sangat mudah menyebar di media sosial.

Menurut saya, perang postingan atau komentar di media sosial dengan menggunakan kata atau kalimat yang tidak santun disebabkan oleh beberapa hal, seperti rendahnya literasi bahasa, rendahnya literasi etika, dan rendahnya literasi hukum. Hal ini juga diperuncing dengan polarisasi masyarakat dalam pilihan politik saat pilkada atau pilpres yang hingga saat ini polarisasi tersebut masih sangat terasa. Adanya pendengung (buzzer) disinyalir menjadi penyebab semakin kurang kondusifnya media sosial, karena kata-kata yang disampaikan oleh mereka provokatif, menyerang individu lawan politik, bahkan bertendensi melakukan pembunuhan karakter lawan politiknya. Banyak diantara buzzer bentuknya akun anonim atau akun palsu. Buzzer saat ini sudah dijadikan sebagai industri yang digunakan untuk kepentingan politik atau bisnis. Tujusnnya menaikkan citra pihak tertentu dan menjatuhkan citra lawan orang yang memesan jasanya.

Literasi etika berbahasa, khususnya bahasa Indonesia atau bahasa daerah mendesak untuk segera dikuatkan agar netizen menjadi orang yang mampu bermedia sosial secara santun dan beradab. Bahasa adalah cermin peradaban sebuah bangsa. Oleh karena itu, kalau bangsa Indonesia ingin memperbaiki citranya terkait dengan kesantunannya yang rendah di media sosial, maka literasi etika berbahasa harus diperbaiki.

Meningkatkan atau memperbaiki etika berbahasa di media sosial bukan hany mudah mengingat pengguna media sosial yang beragam dari sisi usia, latar belakang sosial, latar belakang latar belakang pendidikannya. Jangankan orang yang berpendidikan rendah, orang yang berpendidikan tinggi saja, kadang literasi etika berbahasanya rendah. Kata-kata kasar muncul dalam postingan atau komentarnya.

Literasi etika berbahasa yang saya maksud bukan hanya dalam artian kemampuannya memilih kata-kata yang santun untuk disampaikan di media sosial, tetapi juga kemampuannya untuk menakar atau mempertimbangkan dampak dari kata-kata yang disampaikannya tersebut. Apakah lebih banyak positifnya atau negatifnya. Apalagi saat ini banyak yang telah terjerat undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena postingan atau komentarnya yang melanggar hukum.

Dalam konteks pendidikan, hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi dunia pendidikan, karena jika ada masalah terkait rendahnya karakter bangsa, maka sektor yang pertama kali disorot adalah sektor pendidikan, khususnya Pendidikan formal, walau sebenarnya urusan pendidikan bukan hanya tanggung jawab sekolah saja, tetapi juga tanggung jawab keluarga dan masyarakat. Keluarga harus menjadi institusi pendidikan pertama yang mengajarkan literasi etika berbahasa yang sopan dan santun. Kemudian sekolah, dan masyarakat.

Literasi digital khsususnya menggunakan media sosial harus disertai dengan literasi etika berbahasa. Jangan sampai media sosial yang tujuan awalnya untuk berkomunikasi atau menyambungkan silaturahim, tetapi justru menjadi sumber perpecahan. Distintegrasi sosial yang saat ini banyak terjadi di masyarakat tidak dapat dipungkiri sebagai dampak penggunaan media sosial secara kurang bertanggung jawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun