Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Halo Mas Menteri, Bagaimana Solusi Krisis Karakter di Indonesia?

8 Maret 2020   23:29 Diperbarui: 8 Maret 2020   23:28 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Anak-anak muda kekurangan teladan, karena banyak orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya, sehingga abai terhadap anak-anaknya. Mereka menyerahkan pendidikan anaknya kepada sekolah, sehingga sekolah tidak ubahnya seperti tempat penitipan anak. Orang tua merasa sudah membayar (atau tidak wajib membayar karena sekolah gratis), sehingga mereka menuntut sekolah harus memintarkan anak-anaknya.

Ukuran prestasi anak hanya berkutat pada pencapaian angka-angka yang tertera pada nilai rapot, sehingga pada saat dibagi rapot, orang tua banyak yang bertanya kepada gurunya, anaknya rangking berapa. Padahal, proses pendidikan bukan hanya urusan pencapaian nilai-nilai pada aspek pengetahuan, tetapi juga aspek sikap dan keterampilan. 

Saat pembagian rapot, mungkin masih jarang orang tua yang bertanya kepada gurunya berkaitan dengan sikap dan perilaku anaknya selama belajar di sekolah. Misalnya, apakah disiplin, jujur, bertanggung jawab, suka membantu teman, suka meminta maaf jika melakukan kesalahan, suka berterima kasih jika ada yang membantu, menghormati dan menghormati orang lain, dan sebagainya.

Hal ini disebabkan oleh penyempitan makna pendidikan (education) hanya menjadi persekolahan (schooling). Pendidikan berlangsung di keluarga, sekolah, dan masyarakat. Oleh karena itu, ada pendidikan pendidikan formal, nonformal, dan informal, sedangkan persekolahan hanya menitikberatkan proses belajar hanya terjadi di sekolah. Peran guru sangat dominan dalam pembelajaran. Guru hanya sebagai satu-satunya sumber belajar.

Proses belajar pun membosankan, sehingga siswa merasakan sekolah ibarat sebuah penjara daripada sebuah taman belajar sebagai yang diamanatkan oleh Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara, sehingga wajar mereka lebih senang saat guru tidak hadir mengajar, dan lebih senang mendengar bel tanda berakhir belajar dibandingkan bel  tanda mulai belajar.

Pendidikan adalah proses internalisasi nilai-nilai atau karakter yang baik kepada para peserta didik sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal 1 ayat (1) UU Sisdiknas menyatakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara."

Pasal 3 menyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka proses pendidikan disamping memberikan bekal ilmu pengetahuan, juga menanamkan sikap yang baik, dan keterampilan. Maksud keterampilan di sini bukan hanya keterampilan dalam konteks keterampilan motorik saja seperti praktik atau membuat suatu produk, tetapi juga keterampilan atau kecakapan hidup (life skill) sebagai modal sukses di masa depan.

Para pemimpin dan politisi menujukkan pertengkaran dan konflik disertai dengan perkataan, sikap, dan perilaku yang kurang terpuji di media sosial dan di TV. Demi memperjuangkan kepentingan politik, mereka tidak segan saling caci-maki walau disorot kamera dan ditonton jutaan orang. Akibatnya, rakyat pun kehilangan panutan. Rakyat sulit menemukan contoh pemimpin yang mampu menjadi figur role model dan menjadi inspirasi. Dengan kata lain, di negeri ini sangat mudah menemukan politikus, tapi sangat sulit menemukan negarawan.

Solusi untuk mengatasi krisis karakter memang tidak bisa dilakukan hanya oleh salah satu pihak, tetapi harus ada kerjasama atau sinergi dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholder).  

Walau demikian, Kemendikbud sebagai lembaga yang diberi tugas dan wewenang mengelola pendidikan di Indonesia tentunya memiliki tanggung jawab terbesar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun