Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Buah Manis Menjadi Widyaiswara Penulis

9 Oktober 2019   15:18 Diperbarui: 9 Oktober 2019   15:25 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

BUAH MANIS MENJADI WIDYAISWARA PENULIS

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Penulis Ratusan Artikel dan Puluhan Buku)

Pasal 1 ayat (2) Permeneg PAN dan RB Nomor 22 tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Widyaiswara dan Angka Kreditnya menyebutkan bahwa "Widyaiswara adalah PNS yang jabatan yang mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan kegiatan mendidik, mengajar, dan/atau melatih Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang selanjutnya disingkat Dikjartih PNS, dan melakukan evaluasi dan pengembangan Pendidikan dan Pelatihan yang selanjutnya disingkat Diklat pada Lembaga Diklat Pemerintah".

Jabatan fungsional Widyaiswara berada di lembaga atau balai diklat kementerian atau instansi milik pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai widyaiswara, saya mau berbagi sekelumit pengalaman saya berkaitan dengan kegiatan menulis yang saya geluti sejak tahun 2006 sampai dengan saat ini.

Menulis bukan profesi utama saya, karena profesi utama saya. Walau demikian, tidak dipungkiri bahwa menulis telah menjadi penunjang bahkan pendongkrak karir saya sebagai seorang widyaiswara. Mengapa demikian? Karena banyak orang mengenal saya bukan hanya dalam konteks sebagai pribadi atau sebagai widyaiswara, tetapi juga sebagai penulis. Ratusan artikel yang saya tulis di blog, koran, atau majalah telah dibaca banyak orang yang membuat mereka mengenal saya.

Begitu pun puluhan buku saya telah banyak dibaca dan dikoleksi para pembaca, khususnya dari kalangan pendidik dan tenaga kependidikan, karena buku sesuai dengan profesi saya sebagai Widyaiswara di lembaga Pendidikan, maka buku-buku yang saya tulis pun lebih banyak bertema pendidikan dan pembelajaran.

"Candu" menulis mulai merasuki tubuh saya sejak tahun 2004 saat saya hanya sekedar membuat surat pembaca di koran lokal Bandung dan koran yang beredar luas di wilayah Jawa Barat sampai pada akhirnya saya memutuskan untuk menulis artikel dan buku saat ini. Saking sudah kuatnya "candu" menulis dalam diri saya, saya merasa pusing, merasa kurang produktif, dan merasa kurang berharga terhadap diri saya sendiri kalau sekian hari tidak menulis. Dengan kata lain, saat saya tidak menulis, serasa ada yang hilang dalam diri saya.

Diakui atau tidak, banyak widyaiswara yang piawai dalam menjelaskan sebuah materi, tetapi belum tentu lancar dalam menulis, sehingga dia sendiri pun kesulitan dalam pengembangan profesinya. Mengapa demikian? Karena menulis memerlukan keterampilan khusus, yaitu harus mampu menata narasi, deskripsi, atau argumen secara runtut dan sistematis. Dan tentunya tidak asal menulis, tetapi harus berkualitas, setidaknya berkualitas dalam pandangan pembacanya. Oleh karena itu, saya merasa bersyukur kepada Allah Swt karena diberikan kemampuan lebih dari yang lain berupa mampu menulis karya tulis, walau saya sendiri belum seperti penulis-penulis yang sudah terkenal dengan buku-bukunya yang laris terjual (best seller) ribuan bahkan jutaan eksemplar.

Awal saya menulis bukan untuk menjadi profesi, tetapi hanya sekedar sarana curhat saja. Saya menemukan kebahagiaan dan kepuasan batin melalui tulisan. Saya merasa diri saya bernilai atau berharga melalui karya-karya tulis yang dihasilkan. Di saat dapat menyelesaikan sebuah tulisan, saya merasa bahwa harta kekayaan intelektual saya bertambah, dan akan menambah daftar portfolio kumpulkan tulisan saya.

Saya menjadikan menulis bukan menjadi mata pencaharian utama, karena di atas pun sudah saya sebutkan bahwa dalam konteks profesionalisme, saya menulis untuk menunjang karir saya sebagai widyaiswara, karena dalam pandangan orang lain, utamanya kalangan pendidik dan tenaga kependidikan, widyaiswara adalah orang yang berwawasan luas dan berilmu tinggi, bahkan serba tahu yang dibuktikan bukan hanya melalui kepiawaiannya dalam menjelaskan sebuah materi, tetapi melalui produktivitasnya menulis. Dengan kata lain, karya tulis adalah gambaran kapasitas intelektualitas seorang widyaiswara.

Saat saya menyajikan sebuah materi atau mata diklat, saya tidak hanya mengandalkan bahan tayang powerpoint yang kadang itu pun bukan buatan sendiri, tetapi bahan tayang buatan orang lain atau hasil dari pelatihan, tetapi juga disertai dengan bahan tayang atau karya tulis milik sendiri. Selain dalam bentuk buku, saya melengkapi materi diklat, seminar, atau workshop dalam bentuk artikel, puisi, atau pantun agar lebih variatif.

Mengapa demikian? Karena kadang bahan yang bukan buatan sendiri kurang nyaman, kurang terjiwai, dan belum tentu sesuai dengan situasi dan kondisi peserta pelatihan. Hal itu juga untuk membuktikan bahwa menyampaikan materi di depan peserta bukan hanya sekedar "membaca berita" (baca = power point) tetapi juga mampu memberikan contoh produk hasil sendiri.

Dan ternyata saya merasakan hal yang berbeda saat saya menyampaikan materi dengan menggunakan bahan yang saya tulis sendiri. Lebih dikuasai, lebih terjiwai karena terbangun chemistry antara saya dengan bahan tayang, lebih percaya diri, dan lebih bisa mengatur suasana pembelajaran. Peserta diklat, workshop, atau seminar pun terlihat lebih antusias dalam menerima materi yang saya sampaikan.

Selain materi yang sesuai dengan kebutuhan peserta, gaya penyampaian yang serius tapi santai (sersan), tidak menggurui, larut dalam dunia orang dewasa, dan disertai dengan humor menjadi kunci keberhasilan dalam presentasi di depan orang dewasa. Dalam konteks pembelajaran orang dewasa (andragogik), orang dewasa hanya akan belajar sesuai dengan kebutuhannya dan tidak bisa dipaksa-paksa. 

Mereka pun bukanlah "gelas kosong" atau tidak tahu apa-apa sama sekali, tetapi mereka adalah "gelas-gelas berisi" (walau mungkin tidak penuh) yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman masing-masing. Tugas fasilitator adalah memfasilitasi, menghimpun ide-ide mereka, mendengarkan pengalaman-pengalaman mereka, memberikan penguatan terhadap materi yang disampaikan, dan menggiring mereka untuk menyusun kesimpulan atau refleksi.

Pascapelatihan, workshop, atau seminar, sesi tanda tangan buku karya saya dan ajakan selfie dari para pembeli buku saya seolah menjadi sesi "wajib" untuk dokumentasi. Hal ini menjadi kebanggaan baik bagi saya sebagai penulisnya, karena saya merasa karya saya diapresiasi orang lain maupun bagi mereka yang membeli buku saya karena bisa mendapatkan tanda tangan dan berfoto langsung dengan penulisnya.

Bagi seorang penulis, alangkah senangnya jika tulisannya mendapatkan apresiasi dari para pembacanya. Alangkah senangnya jika tulisan-tulisannya bisa menambah wawasan pembaca, memotivasi, bahkan mengubah pola pikir para pembacanya. Alangkah senangnya jika karya sang penulis dijadikan referensi dan dikutip oleh orang lain. Itulah kebernilaian seorang penulis.

Apakah saya mendapatkan penghasilan atau keuntungan dari menulis? Tentunya iya. Saya mendapatkannya walau belum menjadi sumber penghasilan utama, jumlahnya relatif tidak besar, dan hanya temporer saja. Saya mendapat honor saat tulisan saya dimuat di koran atau majalah (walau ada juga koran atau majalah yang tidak memberikan honor). Saya pernah mendapatkan honor menulis koran mulai dari Rp 50.000 hingga Rp 300.000 untuk tulisan yang dibuat di koran atau majalah.

Saya pun mendapatkan sedikit keuntungan dari jasa menjual buku-buku saya yang saya cetak secara mandiri (self publishing). Mengapa saya menjual buku secara mandiri? Karena bisa lebih bebas, tidak tergantung kepada pihak lain (penerbit mayor), bisa mencetak buku sesuai dengan kebutuhan, modalnya bisa cepat kembali, tidak harus menunggu berbulan-bulan royalty dari penerbit yang jumlahnya kadang tidak besar.

Saya menjual buku-buku saya bersamaan dengan pelatihan, workshop, atau seminar yang saya isi. Agar bisa laku dan diterima oleh para pembaca, maka saya menulis buku sesuai dengan kebutuhan  atau tren yang sedang berkembang di dunia pendidikan. Biasanya para guru, kepala sekolah, dan pengawas memerlukan buku-buku yang praktis dan mudah dipahami. Oleh karena itu, buku saya yang berjudul "Saya Guru Saya Bisa Menulis", "Kiat Praktis Menulis Best Practice", dan "Strategi Pembelajaran Abad 21 dan HOTS" menjadi buku-buku paling laris (best seller) karena tercetak 1000-2500 eks.

Menurut seorang pemilik penerbitan indie, jumlah tersebut bisa disebut sebagai best seller untuk ukuran buku yang dicetak secara mandiri karena tidak mudah menjual buku sebanyak itu tanpa bermitra dengan toko buku. Bahkan buku yang dijual di toko-toko buku pun belum tentu bisa mencapai target atau rekor penjualan yang fantantis, walau dipajang di rak buku lebih dari satu bulan.

Selain "mengasong" buku saat mengisi diklat, workshop, atau seminar, saya juga memanfaatkan media sosial seperti Facebook atau WhatsApp untuk promosi buku-buku saya. Sasaran utama buku-buku saya adalah pendidik dan tenaga kependidikan. Alhamdulillah, saya memiliki pelanggan tetap yang suka mengoleksi buku-buku saya. Katanya sih, tulisan-tulisan saya disajikan secara sederhana, tidak ribet, penjelasannya mudah dipahami oleh mereka. Oleh karena itu, mereka selalu menyambut dengan antusias kehadiran buku-buku saya dan memesan bukunya.

Untuk memiliki pelanggan (atau mungkin Bahasa lebay-nya penggemar) setia terhadap tulisan-tulisan seorang penulis bukan hal yang mudah. Semua memerlukan proses. Para pembaca akan menilai tulisan-tulisan yang disajikannya baik di media sosial, blog, koran, atau majalah. Mereka akan menjadi hakim yang objektif terhadap kualitas sebuah tulisan, serta membandingkannya dengan tulisan orang lain.

Orang yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas belum tentu mampu menulis dan menyajikan sebuah tulisan "renyah" dan mudah dipahami oleh pembaca. Yang terjadi justru tulisan-tulisannya berat, academic heavy, dan banyak kutipan teori sehingga kurang bisa dipahami dan membosankan dibacanya. Walau demikian, bukan berarti tulisan tersebut jelek, tetapi gaya tulisannya kurang sesuai dengan kebutuhan orang kebanyakan dan praktisi yang lebih memerlukan penjelasan yang praktis, tidak banyak berteori, dan tidak bertele-tele.

Saya mendapatkan penghasilan yang relatif lebih besar justru efek dari menulisnya, yaitu dari honor-honor undangan-undangan menjadi narasumber workshop atau seminar di berbagai tempat. Tulisan-tulisan yang saya posting di blog dan media sosial, serta buku-buku yang telah saya terbitkan menjadi sarana dokumentasi, sosialisasi, informasi, promosi, sekaligus menjadi "magnet intelektual" bagi saya untuk para pembaca, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya, lalu merekomendasikan, dan mempertimbangkan mengundang saya untuk mengisi kegiatan yang mereka selenggarakan.  

Dinas Pendidikan, satuan pendidikan, atau organisasi lainnya tentunya memerlukan narasumber yang andal, kompeten, dan terampil untuk menyampaikan materi kepada para peserta (pendidik dan tenaga kependidikan) yang kadang-kadang usianya sudah senior. Mereka semakin kritis dalam memilah dan memilih narasumber yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Menurut saya, ukuran kualitas atau keterpakaian seorang narasumber dimata pengundang adalah dari sisi frekuensi yang bersangkutan diundang. Kalau dia hanya diundang hanya satu kali dan setelah itu tidak diundang lagi, bisa jadi hanya menjadi narasumber yang standar, biasa-biasa saja, tidak ada sesuatu yang lebih dari dirinya, dan bisa dilakukan oleh narasumber lainnya, bahkan ada yang lebih baik darinya, sedangkan kalau dia diundang berkali-kali oleh lembaga yang sama walau dengan materi yang sama atau berbeda, berarti yang bersangkutan adalah narasumber yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan pelanggan atau pengundang. Bahkan narasumber tersebut menjadi narasumber tetap untuk kegiatan di Dinas Pendidikan atau satuan pendidikan.

Sebuah instansi yang pernah mengundang seorang narasumber yang memuaskan dan berkualitas tidak segan-segan merekomendasikan namanya untuk menjadi narasumber untuk koleganya yang sedang mencari narasumber untuk kegiatan yang akan diselenggarakannya karena dijamin berkualitas dan tidak akan memalukan pemberi rekomendasi.

Disinilah terjadi prinsip Multi Level Marketing (MLM) dimana satu konsumen membawa konsumen yang lain, satu pelanggan mendorong pihak lain untuk menjadikan pelanggan seperti dirinya. Jaringan pun akan semakin luas, dan sang narasumber akan semakin sibuk, kegiatannya semakin padat, bahkan tidak dapat menghadiri setiap undangan yang ditujukan kepadanya karena bentrok jadwal dan waktu yang terbatas.

Inilah yang saya alami beberapa waktu terakhir ini dimana saya kewalahan, tidak dapat menghadiri setiap undangan karena bentrok jadwal. Dengan penuh penyesalan saya menolaknya, dan pengundang pun dengan berat hati mencari narasumber lain. Walau demikian, ada juga pengundang yang setia, dimana mereka menunggu jadwal kosong saya sehingga saya bisa mengisi acara yang mereka selenggarakan.

Apa yang saya alami saat ini banyak ditopang dari kegiatan menulis yang tadinya saya anggap hanya sebagai sarana "curat-coret" dan curhat saja, tidak pernah bertujuan untuk membangun popularitas dan berdampak luar biasa seperti saat ini. Intinya, tidak ada kegiatan positif yang sia-sia. Suatu saat pasti akan bermanfaat.

Kepuasan batin, koin, dan poin saya dapatkan dari kegiatan menulis. Kepuasan batin lahir saat tulisan selesai atau terbit, karya saya bisa diterima oleh para pembaca, dan mendapat apresiasi dari orang lain. Poin saya saya dapatkan dari angka kredit (AK) karya tulis yang saya ajukan untuk kenaikan pangkat. Dan koin saya dapatkan dari honor menulis, keuntungan menjual buku, dan honor menjadi narasumber, walau tidak setiap undangan menjadi narasumber (khususnya di media) ada honornya.

Jenama diri, popularitas, dan pendapatan akan datang dan mengalir dengan sendirinya jika kita tekun menggeluti sebuah bidang termasuk menulis. Melalui karya, menjadikan diri kita lebih berharga dan dihargai orang lain. Karya akan jadi pesona. Pesona akan menjadi jenama, dan jenama akan menjadi harga. Walau demikian, kita harus tetap rendah hati, tidak jumawa demi menjaga muruah diri kita. Wallaahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun