Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Buah Manis Menjadi Widyaiswara Penulis

9 Oktober 2019   15:18 Diperbarui: 9 Oktober 2019   15:25 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menurut seorang pemilik penerbitan indie, jumlah tersebut bisa disebut sebagai best seller untuk ukuran buku yang dicetak secara mandiri karena tidak mudah menjual buku sebanyak itu tanpa bermitra dengan toko buku. Bahkan buku yang dijual di toko-toko buku pun belum tentu bisa mencapai target atau rekor penjualan yang fantantis, walau dipajang di rak buku lebih dari satu bulan.

Selain "mengasong" buku saat mengisi diklat, workshop, atau seminar, saya juga memanfaatkan media sosial seperti Facebook atau WhatsApp untuk promosi buku-buku saya. Sasaran utama buku-buku saya adalah pendidik dan tenaga kependidikan. Alhamdulillah, saya memiliki pelanggan tetap yang suka mengoleksi buku-buku saya. Katanya sih, tulisan-tulisan saya disajikan secara sederhana, tidak ribet, penjelasannya mudah dipahami oleh mereka. Oleh karena itu, mereka selalu menyambut dengan antusias kehadiran buku-buku saya dan memesan bukunya.

Untuk memiliki pelanggan (atau mungkin Bahasa lebay-nya penggemar) setia terhadap tulisan-tulisan seorang penulis bukan hal yang mudah. Semua memerlukan proses. Para pembaca akan menilai tulisan-tulisan yang disajikannya baik di media sosial, blog, koran, atau majalah. Mereka akan menjadi hakim yang objektif terhadap kualitas sebuah tulisan, serta membandingkannya dengan tulisan orang lain.

Orang yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas belum tentu mampu menulis dan menyajikan sebuah tulisan "renyah" dan mudah dipahami oleh pembaca. Yang terjadi justru tulisan-tulisannya berat, academic heavy, dan banyak kutipan teori sehingga kurang bisa dipahami dan membosankan dibacanya. Walau demikian, bukan berarti tulisan tersebut jelek, tetapi gaya tulisannya kurang sesuai dengan kebutuhan orang kebanyakan dan praktisi yang lebih memerlukan penjelasan yang praktis, tidak banyak berteori, dan tidak bertele-tele.

Saya mendapatkan penghasilan yang relatif lebih besar justru efek dari menulisnya, yaitu dari honor-honor undangan-undangan menjadi narasumber workshop atau seminar di berbagai tempat. Tulisan-tulisan yang saya posting di blog dan media sosial, serta buku-buku yang telah saya terbitkan menjadi sarana dokumentasi, sosialisasi, informasi, promosi, sekaligus menjadi "magnet intelektual" bagi saya untuk para pembaca, sehingga pembaca tertarik untuk membacanya, lalu merekomendasikan, dan mempertimbangkan mengundang saya untuk mengisi kegiatan yang mereka selenggarakan.  

Dinas Pendidikan, satuan pendidikan, atau organisasi lainnya tentunya memerlukan narasumber yang andal, kompeten, dan terampil untuk menyampaikan materi kepada para peserta (pendidik dan tenaga kependidikan) yang kadang-kadang usianya sudah senior. Mereka semakin kritis dalam memilah dan memilih narasumber yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Menurut saya, ukuran kualitas atau keterpakaian seorang narasumber dimata pengundang adalah dari sisi frekuensi yang bersangkutan diundang. Kalau dia hanya diundang hanya satu kali dan setelah itu tidak diundang lagi, bisa jadi hanya menjadi narasumber yang standar, biasa-biasa saja, tidak ada sesuatu yang lebih dari dirinya, dan bisa dilakukan oleh narasumber lainnya, bahkan ada yang lebih baik darinya, sedangkan kalau dia diundang berkali-kali oleh lembaga yang sama walau dengan materi yang sama atau berbeda, berarti yang bersangkutan adalah narasumber yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan pelanggan atau pengundang. Bahkan narasumber tersebut menjadi narasumber tetap untuk kegiatan di Dinas Pendidikan atau satuan pendidikan.

Sebuah instansi yang pernah mengundang seorang narasumber yang memuaskan dan berkualitas tidak segan-segan merekomendasikan namanya untuk menjadi narasumber untuk koleganya yang sedang mencari narasumber untuk kegiatan yang akan diselenggarakannya karena dijamin berkualitas dan tidak akan memalukan pemberi rekomendasi.

Disinilah terjadi prinsip Multi Level Marketing (MLM) dimana satu konsumen membawa konsumen yang lain, satu pelanggan mendorong pihak lain untuk menjadikan pelanggan seperti dirinya. Jaringan pun akan semakin luas, dan sang narasumber akan semakin sibuk, kegiatannya semakin padat, bahkan tidak dapat menghadiri setiap undangan yang ditujukan kepadanya karena bentrok jadwal dan waktu yang terbatas.

Inilah yang saya alami beberapa waktu terakhir ini dimana saya kewalahan, tidak dapat menghadiri setiap undangan karena bentrok jadwal. Dengan penuh penyesalan saya menolaknya, dan pengundang pun dengan berat hati mencari narasumber lain. Walau demikian, ada juga pengundang yang setia, dimana mereka menunggu jadwal kosong saya sehingga saya bisa mengisi acara yang mereka selenggarakan.

Apa yang saya alami saat ini banyak ditopang dari kegiatan menulis yang tadinya saya anggap hanya sebagai sarana "curat-coret" dan curhat saja, tidak pernah bertujuan untuk membangun popularitas dan berdampak luar biasa seperti saat ini. Intinya, tidak ada kegiatan positif yang sia-sia. Suatu saat pasti akan bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun