Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Buah Manis Menjadi Widyaiswara Penulis

9 Oktober 2019   15:18 Diperbarui: 9 Oktober 2019   15:25 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saya menjadikan menulis bukan menjadi mata pencaharian utama, karena di atas pun sudah saya sebutkan bahwa dalam konteks profesionalisme, saya menulis untuk menunjang karir saya sebagai widyaiswara, karena dalam pandangan orang lain, utamanya kalangan pendidik dan tenaga kependidikan, widyaiswara adalah orang yang berwawasan luas dan berilmu tinggi, bahkan serba tahu yang dibuktikan bukan hanya melalui kepiawaiannya dalam menjelaskan sebuah materi, tetapi melalui produktivitasnya menulis. Dengan kata lain, karya tulis adalah gambaran kapasitas intelektualitas seorang widyaiswara.

Saat saya menyajikan sebuah materi atau mata diklat, saya tidak hanya mengandalkan bahan tayang powerpoint yang kadang itu pun bukan buatan sendiri, tetapi bahan tayang buatan orang lain atau hasil dari pelatihan, tetapi juga disertai dengan bahan tayang atau karya tulis milik sendiri. Selain dalam bentuk buku, saya melengkapi materi diklat, seminar, atau workshop dalam bentuk artikel, puisi, atau pantun agar lebih variatif.

Mengapa demikian? Karena kadang bahan yang bukan buatan sendiri kurang nyaman, kurang terjiwai, dan belum tentu sesuai dengan situasi dan kondisi peserta pelatihan. Hal itu juga untuk membuktikan bahwa menyampaikan materi di depan peserta bukan hanya sekedar "membaca berita" (baca = power point) tetapi juga mampu memberikan contoh produk hasil sendiri.

Dan ternyata saya merasakan hal yang berbeda saat saya menyampaikan materi dengan menggunakan bahan yang saya tulis sendiri. Lebih dikuasai, lebih terjiwai karena terbangun chemistry antara saya dengan bahan tayang, lebih percaya diri, dan lebih bisa mengatur suasana pembelajaran. Peserta diklat, workshop, atau seminar pun terlihat lebih antusias dalam menerima materi yang saya sampaikan.

Selain materi yang sesuai dengan kebutuhan peserta, gaya penyampaian yang serius tapi santai (sersan), tidak menggurui, larut dalam dunia orang dewasa, dan disertai dengan humor menjadi kunci keberhasilan dalam presentasi di depan orang dewasa. Dalam konteks pembelajaran orang dewasa (andragogik), orang dewasa hanya akan belajar sesuai dengan kebutuhannya dan tidak bisa dipaksa-paksa. 

Mereka pun bukanlah "gelas kosong" atau tidak tahu apa-apa sama sekali, tetapi mereka adalah "gelas-gelas berisi" (walau mungkin tidak penuh) yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman masing-masing. Tugas fasilitator adalah memfasilitasi, menghimpun ide-ide mereka, mendengarkan pengalaman-pengalaman mereka, memberikan penguatan terhadap materi yang disampaikan, dan menggiring mereka untuk menyusun kesimpulan atau refleksi.

Pascapelatihan, workshop, atau seminar, sesi tanda tangan buku karya saya dan ajakan selfie dari para pembeli buku saya seolah menjadi sesi "wajib" untuk dokumentasi. Hal ini menjadi kebanggaan baik bagi saya sebagai penulisnya, karena saya merasa karya saya diapresiasi orang lain maupun bagi mereka yang membeli buku saya karena bisa mendapatkan tanda tangan dan berfoto langsung dengan penulisnya.

Bagi seorang penulis, alangkah senangnya jika tulisannya mendapatkan apresiasi dari para pembacanya. Alangkah senangnya jika tulisan-tulisannya bisa menambah wawasan pembaca, memotivasi, bahkan mengubah pola pikir para pembacanya. Alangkah senangnya jika karya sang penulis dijadikan referensi dan dikutip oleh orang lain. Itulah kebernilaian seorang penulis.

Apakah saya mendapatkan penghasilan atau keuntungan dari menulis? Tentunya iya. Saya mendapatkannya walau belum menjadi sumber penghasilan utama, jumlahnya relatif tidak besar, dan hanya temporer saja. Saya mendapat honor saat tulisan saya dimuat di koran atau majalah (walau ada juga koran atau majalah yang tidak memberikan honor). Saya pernah mendapatkan honor menulis koran mulai dari Rp 50.000 hingga Rp 300.000 untuk tulisan yang dibuat di koran atau majalah.

Saya pun mendapatkan sedikit keuntungan dari jasa menjual buku-buku saya yang saya cetak secara mandiri (self publishing). Mengapa saya menjual buku secara mandiri? Karena bisa lebih bebas, tidak tergantung kepada pihak lain (penerbit mayor), bisa mencetak buku sesuai dengan kebutuhan, modalnya bisa cepat kembali, tidak harus menunggu berbulan-bulan royalty dari penerbit yang jumlahnya kadang tidak besar.

Saya menjual buku-buku saya bersamaan dengan pelatihan, workshop, atau seminar yang saya isi. Agar bisa laku dan diterima oleh para pembaca, maka saya menulis buku sesuai dengan kebutuhan  atau tren yang sedang berkembang di dunia pendidikan. Biasanya para guru, kepala sekolah, dan pengawas memerlukan buku-buku yang praktis dan mudah dipahami. Oleh karena itu, buku saya yang berjudul "Saya Guru Saya Bisa Menulis", "Kiat Praktis Menulis Best Practice", dan "Strategi Pembelajaran Abad 21 dan HOTS" menjadi buku-buku paling laris (best seller) karena tercetak 1000-2500 eks.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun