Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendekatan Saintifik, Hots, Literasi, dan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Abad 21

21 Juni 2019   14:42 Diperbarui: 29 Juni 2021   06:59 17608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendekatan Saintifik, Hots, Literasi, dan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran Abad 21 | pexels

PENDEKATAN SAINTIFIK, HOTS, LITERASI, DAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN ABAD 21

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara LPMP Jabar, Penulis Buku Strategi Pembelajaran Aktif Abad 21 dan HOTS)

Salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan adalah perubahan kurikulum dari kurikulum 2006 menjadi kurikulum 2013 (K-13). Sejalan dengan implementasi K-13, guru diharapkan mengubah paradigma pembelajaran yang awalnya berpusat kepada guru (teacher centered) menjadi berpusat kepada siswa (sudent centered), dan mengembangkan model pembelajaran kolaboratif dan serta kooperatif sehingga para siswa memiliki pengalaman belajar yang bermakna, mampu berpikir kritis, kreatif, inovatif, dan mampu menyelesaikan masalah.

Hal inilah yang disebut sebagai kompetensi abad 21 atau dikenal dengan 4C, yaitu (1) communicative, (2) collaborative, (3) critical thinking and problem solving, dan (4) creative and innovative. Kompetensi abad 21 menjadi modal penting untuk melahirkan generasi bangsa yang disamping kompeten dan kompetitif, juga memilih jiwa tangguh di tengah persaingan global dan regional yang semakin ketat.

Pembelajaran abad 21 juga mengarahkan siswa untuk mengalami pengalaman belajar, yaitu; (1) learning to know (belajar untuk tahu), (2) learning to do (belajar untuk melakukan), (3) learning to be (belajar untuk menjadi), dan (4) learning to live together (belajar untuk hidup bersama dengan yang lain). 

Menyikapi hal tersebut, maka pada K-13 dikenal 4 (empat) Kompetensi Inti (KI) yang meliputi KI-I sikap spiritual, KI-II sikap sosial, KI-III pengetahuan, dan KI-IV keterampilan. Kompetensi inti merupakan gambaran secara kategorial mengenai kompetensi dalam aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dipelajari siswa untuk suatu jenjang sekolah, kelas dan mata pelajaran. Dalam konteks pengalaman belajar, KI-I dan KI-II relevan dengan learning to be dan learning to live together, KI-III relevan dengan learning to know, dan KI-IV relevan dengan learning to do.

Pendekatan Saintifik

Dalam upaya memberikan kompetensi abad 21 kepada para siswa, maka para proses pembelajaran, guru didorong untuk menerapkan pendekatan saintifik atau pendekatan ilmiah yang dikenal dengan 5M, yaitu (1) mengamati, (2) menanya, (3) mengumpulkan informasi, (4) menalar/ mengasosiasikan, dan (5) mengomunikasikan. Sesuai dengan namanya, pendekatan saintifik dalam pembelajaran mengarahkan siswa untuk meneliti melalui penerapan metodologi ilmiah.

Dengan kata lain, proses pembelajaran tidak hanya mengondidisikan agar siswa duduk, dengar, catat, dan hapal yang dikenal dengan DDCH, tetapi dapat aktif belajar baik secara individu maupun secara kelompok. Pada kurikulum 1984 dan 1994 pernah populer istilah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), tapi dalam pelaksanaannya banyak yang tidak sesuai dengan harapan. 

Hal ini disebabkan oleh; pertama, guru belum bisa keluar dari paradigma lama seolah sebagai satu-satunya sumber belajar, padahal guru hanya merupakan salah satu sumber belajar. Seolah guru yang baik adalah guru yang banyak bicara (ceramah) dari awal hingga akhir pembelajaran, padahal guru yang baik adalah yang mampu secara efektif mengelola pembelajaran. Dengan kata lain, guru bukan hanya sebagai sumber belajar, tetapi juga sebagai fasilitator pembelajaran. Dan sebagai fasilitator pembelaran, guru cukup mengatur lalu lintas pembelajaran, sehingga pembelaran dapat berjalan secara aktif dan bermakna.

Dalam praktiknya hal ini tidak mudah, karena disamping faktor kompetensi guru, juga ada faktor latar belakang (intake) siswa. Kadang guru sudah berupaya mengaktifkan siswa, tetapi mereka lebih banyak yang pasif daripada yang aktif, sehingga pembelajaran tetap kurang hidup atau monoton.

Kedua, banyak guru belum dibekali dengan penguasaan pembelajaran kooperatif (CBSA). Guru pun belum mengoptimalkan keterampilan proses dalam pembelajaran, sehingga masih dominan menggunakan metode ceramah. Mengapa demikian? Sekian tahun silam, kesempatan bagi guru untuk mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh pemerintah sangat terbatas. Kalau pun ada program pelatihan, hanya diikuti oleh guru-guru tertentu saja, dan tidak diimbaskan kepada guru yang lain. Peran organisasi profesi guru yang belum optimal meningkatkan mutu guru, dan guru itu sendiri banyak yang belum aktif meningkatkan mutu dirinya secara mandiri.

Akibatnya, CBSA hanya sebuah istilah yang implementasinya tidak sekeren namanya. Bahkan CBSA dalam bahasa Sunda suka dipelesetkan menjadi Cul Budak Sina Anteng yang kalau diartikan secara bebas kurang lebih artinya guru meninggalkan siswa belajar sendiri di kelas sedangkan gurunya sibuk melakukan kegiatan lain.

Pascapopuler istilah CBSA, lalu muncul istilah Pembelajaran Aktif Kreatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM), dengan berbagai varian istilah lainnya seperti PAIKEM (tambahan I yang artinya inovatif), PAILKEM (tambahan L  yang artinya memanfaatkan Lingkungan sebagai salah satu sumber belajar), PAIKEM GEMBROT (Gembira dan Berbobot). 

Berikutnya, seiring dengan implementasi kurikulum 2006 atau KTSP muncul istilah Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) yang memiliki 7 (tujuh) pilar, yaitu; (1) constructivism (konstruktivisme), (2) inquiry (mencari), (3) questioning (bertanya), (4) learning community (masyarakat belajar), (5) modelling (pemodelan), (6) reflection (refleksi), dan (7) authentic assessment (penilaian otentik).

Berbagai istilah tersebut tidak dapat dipungkiri merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan mutu pembelajaran, tetapi pada kenyataannya banyak yang hanya indah diatas kertas, tidak membumi, karena tidak dilakukan oleh guru dalam pembelajaran. Mengapa demikian? Penyebabnya disamping masalah sarana dan prasana dan intake siswa, juga dipengaruhi oleh faktor kompetensi dan pola pikir (mind set) guru. 

Diakui atau tidak, diantara banyak guru yang berupaya sekuat tenaga menyampaikan materi pelajaran dengan sebaik-baiknya, tidak sedikit guru yang datang ke sekolah hanya sekedar menggugurkan kewajiban, tanpa banyak melakukan refleksi dan evaluasi terhadap kualitas pembelajaran yang telah dilakukannya. Keterlibatan dalam kegiatan organisasi profesi guru untuk meningkatkan kompetensinya pun relatif rendah.

Pada K-13, semangat pembelajaran aktif mencoba dihidupkan melalui implementasi pendekatan saintifik dalam pembelajaran, dimana siswa diarahkan untuk belajar secara aktif, berpikir kritis, mampu mengumpulkan dan mengolah data, menyusun sebuah analisis, menyimpulkan, menyusun rekomendasi, hingga membuat sebuah laporan, dan mempersentasikannya. Laporan yang dimaksud disini tidak selalu identik dengan laporan penelitian yang tebal, tetapi laporan sederhana yang merepresentasikan hasil kerja mereka.

Pada Bimtek K-13, beberapa model pembelajaran diperkenalkan kepada guru sebagai sarana menerapkan pendekatan saintifik, seperti pembelajaran berbasis proyek (project based learning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), penyelesaian masalah (problem solving), dan mencari/menemukan (inquiry/discovery). Pada pembelajaran yang menerapkan pendekatan saintifik, siswa diarahkan untuk belajar secara berkelompok atau secara kolaboratif.

Adapun indikator keberhasilan pembelajaran saintifik sebagai berikut; (1) meningkatnya kemampuan intelektual peserta didik, khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi, (2) terbentuknya kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan suatu masalah secara sistematik, (3) terciptanya kondisi pembelajaran dimana peserta didik merasa belajar itu merupakan sebuah kebutuhan, (4) diperolehnya hasil belajar yang tinggi, (5) peserta didik terlatih dalam mengomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis artikel ilmiah, dan (6) terbentuknya karakter positif dalam diri peserta didik (Machin, A., 2014 : 29 dalam Yani dan Ruhimat, 2018 : 134).

Mengamati

Pada proses mengamati, guru mengarahkan siswa untuk memperhatikan stimulan yang diberikan oleh guru. Stimulan itu bisa dalam bentuk gambar, video, tabel, grafik, skema, membaca sebuah lembar informasi, dan sebagainya. Dari proses mengamati ini, maka keterampilan berpikir kritis peserta mulai dibangun.

Siswa yang memiliki perhatian dan daya kritis yang tinggi akan memperhatikan dengan seksama stimulan yang ada dihadapannya. Dari stimulan tersebut, lalu bisa muncul tanggapan atau pertanyaan sebagai bentuk rasa ingin tahunya yang akan disampaikan kepada guru.

Pada saat mengamati, siswa menggunakan alat-alat inderanya, seperti mata, hidung, telinga, kulit, dan sebagainya. Proses pengamatan bisa berlangsung baik di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Pada saat para siswa mengamati sebuah objek, lingkungan, atau fenomena, tugas guru adalah membimbing mereka agar dapat dapat mencatat setiap hal pentig yang mereka temukan.

Baca juga: Strategi Jitu dalam Memecahkan Soal Matematika Berbasis HOTS bagi Pemula

Menanya

Setelah siswa diberikan stimulan oleh guru pada tahap mengamati, tidak tertutup kemungkinan akan muncul rasa ingin tahu siswa. Oleh karena itu, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya. Pertanyaan tersebut bisa dalam bentuk pertanyaan lisan atau pertanyaan tertulis. Pertanyaan bisa disusun oleh individu atau kelompok. Selain dijawab oleh guru, pertanyaan tersebut bisa juga didiskusikan bersama dengan teman-temannya di kelas.

Pertanyaan yang muncul meliputi 5W + 1 H (What, Who, Where, When, Why, dan How). Misalnya kalau stimulannya adalah sebuah sungai yang kotor dan penuhi banyak sampah. Maka pertanyaan yang bisa muncul misalnya, Apa yang menyebabkan sungai kotor dan tercemar oleh sampah? Siapa yang bertanggung jawab menjaga kebersihan sungai? Dimanakah seharusnya masyarakat membuang sampah? Kapan sampah-sampah yang dibuang oleh masyarakat ke sungai itu diangkut oleh petugas? Mengapa masyarakat masih ada yang suka membuang sampah sembarangan? Bagaimana cara menyadarkan masyarakat supaya membuang sampah pada tempatnya?

Mengumpulkan Informasi

Setelah siswa didorong untuk menyusun sejumlah pertanyaan berkaitan dengan objek, fenomena, atau peristiwa yang diamati, maka tahap berikutnya adalah mengumpulkan informasi. Dalam proses pengumpulan informasi, para siswa dapat mengumpulkannya dari berbagai sumber seperti buku, koran, majalah, internet, lembar observasi, angket, wawancara, atau studi dokumentasi.

Pada tahap ini, siswa dilatih untuk mengembangkan keterampilannya dalam menemukan, mengesahkan data, tentang fakta dan kebenaran. Data dan informasi yang yang didapatkannya bisa dalam bentuk kuantitatif dan kualitatif. Berbagai informasi yang didapatkannya akan menjadi bahan untuk menjawab atau membuktikan hipotesis pertanyaan.

Menalar/Mengasosiasikan

Tahapan menalar atau mengasosiasikan bisa dikatakan sebagai tahapan utama pendekatan santifik. Mengapa? Karena pada tahap inilah siswa dilatih untuk menganalisis data dan informasi yang telah dikumpulkannya untuk dijadikan sebagai bahan menjawab hipotesis atau menyelesaikan masalah. Tahap ini sangat mengandalkan kelogisan dalam berpikir dan berargumen sesuai dengan bukti.

Makna menalar atau mengasosiasikan dalam konteks pembelajaran saintifik adalah kegiatan memproses informasi untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lainnya, menemukan pola dari keterkaitan informasi dan bahkan mengambil berbagai kesimpulan dari pola yang ditemukan (Yani dan Ruhimat, 2018 : 121).

Pada tahap mengasosiasi, siswa dilatih untuk menganalisis dan mengevaluasi pemecahan masalah. Pada tahap ini peserta didik akan berpikir pada tingkat analisis dan evaluasi karena harus melakukan refleksi terhadap proses yang mereka lakukan. (Machin, 2014 : 31 dalam Yani dan Ruhimat, 2018 : 122).

Dalam aktivitas berpikir kritis, terdapat aktivitas membaca kritis atau kajian kritis. Membaca kritis adalah membaca yang melibatkan pemikiran kritis sedangkan kajian kritis merupakan kegiatan membaca, menelaah, menganalisis sebuah bacaan untuk memperoleh ide-ide, penjelasan, data-data pendukung yang mendukung pokok pikiran utama, serta memberikan komentar terhadap isi bacaan secara keseluruhan dari sudut pandang kepentingan pengkaji (Khusniati, M. dan Pamelasari S.D., 2014 : 169 dalam Yani dan Ruhimat, 2018 : 122).

Pertanyaan yang muncul dalam kajian kritis adalah "apa?, mengapa?, dan bagaimana?" Jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut disamping dalam bentuk jawaban yang konsepsional, prosedural, aplikasi, juga hubungan sebab akibat antar variabel. Kalau contoh kasusnya adalah pencemaran sungai, maka pertanyaan yang muncul misalnya "apa penyebab terjadi pencemaran sungai?", mengapa orang membuang sampah ke sungai? dan bagaimana kaitan antara pencemaran sungai dengan penegakkan hukum dan pola pikir masyarakat?"

Mengomunikasikan

Mengomunikasikan merupakan tahap terakhir dalam pembelajaran saintifik. Seteah siswa mengamati, menyusun sejumlah pertanyaan, mengumpulkan informasi,  menalar/ mengasosisasikan, langkah berikutnya adalah mengomunikasikan. Pada tahap ini, siswa menyampaikan hasil kerja mereka baik secara lisan maupun secara tulisan.

Produk presentasi bisa dalam bentuk laporan, makalah, bahan tayang, atau produk lainnya. Pada tahap presentasi, guru beserta siswa yang lainnya mengamati dan memberikan kesempatan bagi siswa yang lainnya untuk menyampaikan tanggapan. Dengan demikian, maka akan terjadi komunikasi, diskusi, dan interaksi antara guru dengan siswa, dan antara dengan siswa.

Supaya proses mengomunikasikan dapat lebih menarik dan lebih mudah dipahami oleh audience, maka dapat disajikan melalui bahan tayang yang menarik disertai dengan media musik, gambar, video, tabel, grafik, peta pikiran (mind map) dengan warna variatif dan relevan dengan bahan yang dipresentasikan.

Baca juga: Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa dalam Menghadapi Soal HOTS pada Mata Pelajaran IPA di Sekolah Dasar

HOTS

Dalam pembelajaran saintik, selain guru membimbimbing dan mengarahkan siswa menjadi peserta didik, siswa pun digiring untuk melaksanakan pembelajaran HOTS (Higher Order Thinking Skills). Pada pembelajaran HOTS, siswa bukan hanya diarahkan untuk sekedar mengetahui (C-1), memahami (C-2), dan menerapkan (C-3) yang dikenal dengan kognitif tingkat rendah atau LOTS (Lower Order Thinking Skills), tetapi ditingkatkan kepada ranah menganalisis (C-4), mengevaluasi (C-5), dan mencipta (C-6).

Pada pembelajaran HOTS, siswa didorong untuk untuk berpikir kritis dan dan menyelesaikan masalah melalui pengerjaan tugas atau projek. Guru memberikan rangsangan atau stimulant yang agar siswa terangsang untuk berpikir, menyampaikan tanggapan, ide, atau bahkan solusi yang dari rangsangan yang diberikan. Rangsangan bisa dalam bentuk sebuah kasus yang diambil dari berita, kisah yang dibuat oleh guru, atau fenomena yang sedang terjadi di masyarakat.

Pembelajaran pun perlu dilakukan secara kontekstual agar berjalan lebih menarik. Agar suasana pembelajaran lebih hidup dan menarik, guru membuka perlu membuka ruang kepada siswa untuk berekspresi dan berpendapat agar siswa memiliki kepercayaan diri untuk menyampaikan pendapat. Kemampuan berpikir kritis siswa juga dapat dilatih melalui kegiatan eksperimen di laboratorium.

Sebelum menerapkan pembelajaran HOTS, terlebih dahulu guru menyusun  Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang akan mengimplementasikan HOTS. Kata-kata Operasional (KKO) yang tercantum pada Indikator Ketercapaian Kompetensi (IPK) perlu dicantumkan hal yang menghasilkan kompetensi siswa pada ranah C-4, C-5, atau C-6. Walau demikian, tidak setiap Kompetensi Dasar (KD) dapat dijadikan sebagai HOTS. Kalau dipaksakan menjadi HOTS, disamping menjadi rancu, juga akan mempersulit guru dalam pembelajaran dan mengukur hasil belajarnya.

Beberapa model pembelajaran seperti yang saya sebut di atas disarankan kepada guru untuk dilakukan untuk menciptakan HOTS dalam pembelajaran. Selain model-model pembelajaran yang sudah banyak dikenal oleh guru, guru pun diharapkan untuk menggunakan atau mengembangkan mode-model pembelajaran yang lebih variatif agar pembelajaran lebih menyenangkan dan menantang.

Pembelajaran yang HOTS ditindaklanjuti dengan penilaian HOTS. Soal-soal yang diberikan harus mengukur ketercapaian siswa pada ranah C-4, C-5, dan C-6, disesuaikan dengan KKO yang telah ditetapkan pada RPP. Instrumen test yang digunakan bisa dalam bentuk soal Pilihan Ganda (PG) atau uraian.

Soal PG dan HOTS yang berorientasi pada HOTS tentunya bukan sekedar menanyakan sekedar menanyakan "apa?", "siapa?", "kapan?" dan "dimana?", tetapi menanyakan "mengapa?" dan "bagaimana?". Berdasarkan kepada hal tersebut, maka guru harus banyak membiasakan soal-soal HOTS kepada siswa, agar siswa terbiasa mengasah nalar, meningkatkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan solutif.

Literasi 

Literasi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari pembelajaran saintifik. Aktivitas mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar/ mengasosiasikan, sampai kepada mengomunikasikan sarat dengan aktivitas literasi. Maksud literasi disini bukan hanya literasi dalam konteks membaca dan menulis, tetapi juga dalam konteks yang lain, seperti literasi teknologi, literasi informasi, literasi komunikasi, literasi sosial, literasi lingkungan, literasi keuangan, literasi TIK literasi sains, literasi kesehatan, literasi hukum, dan sebagainya. Aktivitas belajar siswa dari awal sampai dengan akhir penuh dengan literasi.

Tujuan digulirkannya gerakan literasi di sekolah adalah untuk meningkatkan minat, kuantitas, dan kualitas dalam berliterasi khususnya dalam membaca, sehingga  terbangun warga sekolah yang literat. Warga sekolah yang literat akan mendukung terhadap terbentuknya sekolah sebagai organisasi pemelajar, karena hakikat dari literasi adalah kemelekkan terhadap berbagai data atau informasi yang diperlukan untuk menunjang kegiatan belajar atau kehidupannya sehari-hari.

Orang yang literat tentunya dapat memilih dan memilah informasi yang diterimanya. Tidak langsung ditelan mentah-mentah, bahkan disebaran di grup-grup media sosial (medsos), dan ternyata informasi tersebut hoaks dan fitnah. Sudah banyak orang yang terjerat hukum akibat menyebar hoaks dan fitnah di medsos. Oleh karena itu, sebuah pepatah bijak mengatakan "saring sebelum sharing." Hal tersebut bertujuan untuk memimalisasi tersebarnya hoaks dan fitnah di medsos dan untuk mengantisipasi dampak hukum dari perbuatan tersebut.

Walau literasi walau baru beberapa tahun ini digembar-gemborkan seiring dengan implementasi K-13, secara substantif sebenarnya telah banyak diimplementasikan oleh guru dalam pembelajaran. Bentuk aktivitas literasi dalam pembelajaran selain membaca buku berbagai sumber belajar, juga memfasilitasi adanya curah pendapat (brainstorming), dan diskusi antarsiswa sehingga bisa saling melengkapi dan mencerahkan. Tugas guru hanya disamping sebagai sebagai salah satu sumber belajar, juga menjadi fasilitator dan mengatur jalannya proses pembelajaran.

Pendidikan Karakter

Pembelajaran saintifik sangat kental dengan nilai-nilai pendidikan karakter. antara lain; kerja sama, kerja keras, sungguh-sungguh, tekun, sabar, belajar bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain, saling menghormati, saling menghargai, komunikatif, kreatif, inovatif, jujur, disiplin, tertib, tanggung jawab, dan sebagainya. Dengan demikian, pada pembelajaran saintifik bukan hanya terjadi transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) tetapi juga transformasi nilai (transformation of value).

Baca juga: Pembelajaran HOTS Colaborative di Masa Pandemi

Pembelajaran saintifik yang melatih siswa untuk melakukan penelitian walau pada tataran yang sederhana mendorong siswa untuk mampu menginternalisasikan nilai-nilai karakter positif dalam kehidupannya sehari-hari, karena untuk bisa sukses dalam kehidupan bukan hanya bermodal kecerdasan intelektual (hard skill), tetapi  juga perlu softskill seperti kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan kecerdasan ketahanpayahan.

Pada kondisi saat ini, dimana setiap orang disamping diarahkan untuk mampu bersaing juga harus mampu bersanding, sinergi, dan berkolaborasi, karena pada manusia selain sebagai individu juga sebagai makhluk sosial alias tidak dapat hidup sendiri, tetapi memerlukan bantuan orang lain.

Orang yang hanya siap menang, tidak siap kalah, egois, dan sulit bekerja dalam kelompok adalah gambaran orang yang memiliki karakter yang buruk. Dalam konteks pembelajaran saintifik, biasanya dalam kelompok akan terlihat ada siswa yang dominan dan mau menang sendiri, tetapi ada pula ada siswa yang pasif, hanya diam, tidak mau menyampaikan gagasan dan kurang kreatif serta inovatif. Oleh karena itu, guru sekuat tenaga agar mampu membimbing, mengarahkan, dan memberdayakan para siswanya sesuai dengan gaya siswanya yang beragam.

Berdasarkan kepada uraian diatas, maka pembelajaran penerapan pendekatan saintifik, HOTS, literasi, dan pendidikan karakter dalam pembelajaran merupakan satu kesatuan dan saling melengkapi dalam rangka membentuk generasi emas Indonesia 2045 yang cerdas dan berkarakter. Wallaahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun