Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru sebagai Agen Peredam Penyebaran Hoaks

12 Januari 2019   11:02 Diperbarui: 12 Januari 2019   17:45 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di era media sosial saat ini, beragam informasi sangat cepat beredar dari satu perangkat ke perangkat yang lain, mulai dari informasi yang memang benar-benar jelas sumber informasinya dan dapat dipertanggungjawabkan, hingga informasi "sampah" yang tidak jelas sumber dan manfaatnya untuk masyarakat. Dan diantara informasi "sampah" tersebut adalah hoaks dan fitnah.

Media teknologi dan informasi memang ibarat pisau bermata dua, bisa menyelamatkan dan bisa mencelakakan penggunanya. Beragam informasi hoaks yang beredar di masyarakat, mulai dari kasus penculikan, kecelakaan, musibah, dampak dari makanan, minuman, dan obat-obatan, hingga urusan politik. 

Dan menjelang pilpres atau pemilu serentak 2019, hoaks kaitannya dengan politik semakin meningkat, seperti isu bangkitnya kembali ideologi komunis, masalah radikalisme, kecurangan pemilu, dan sebagainya.

Latar belakang penyebar hoaks dan fitnah di media sosial beragam dari yang tingkat pendidikannya rendah hingga tingkat pendidikannya tinggi. Dari kalangan pelajar, mahasiswa hingga guru dan dosen. Dari kelas masyarakat biasa hingga selevel pejabat dan politisi. Motivasi orang menyebar hoaks pun beragam, mulai dari sekedar iseng hingga ada motif ekonomi dan motif politik.

Mengapa hoaks tumbuh subur? Faktor utamanya adalah rendahnya budaya literasi di tengah-tengah masyarakat. Ketika jari lebih cepat dibandingkan dengan otak, ketika emosi lebih dominan dari akal sehat, ketika budaya copas dan forward lebih dominan daripada budaya membaca dengan cerdas, teliti, analitis, dan kritis. 

Diantara netizen ada semacam ingin ada perasaan yang paling depan untuk memberitakan sebuah peristiwa, sehingga tanpa cek dan ricek mereka dengan sangat cepat menyebar berita baik secara japri atau ke grup-grup WA.

Hal yang membuat saya prihatin adalah diantara penyebar hoaks dan fitnah di media sosial adalah kalangan berpendidikan. Beberapa waktu yang lalu seorang dosen berinisial HDL di Sumatera Utara ditangkap polisi karena diduga menyebar hoaks bahwa bom Surabaya adalah pengalihan isu terkait pilpres. 

Lalu yang terbaru, seorang guru berinisial MIK di Cilegon juga ditangkap polisi karena diduga menyebarkan hoaks tujuh container surat suara yang telah dicoblos.

Idealnya, seorang yang terdidik memiliki daya kritis dan daya literasi yang lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan, bahkan harus dapat memberikan pencerahan kepada orang lain karena seorang yang terdidik memiliki kompetensi dan tanggung jawab moral untuk melakukannya, bukannya ikut-ikutan menjadi penyebar hoaks.

Kebiasaan hanya membaca judul atau link berita tanpa dibaca isinya menjadi awal tersebarnya hoaks. Karakter berita hoaks antara lain judulnya sensasional, provokatif, tendensius, dan menyudutkan pihak tertentu. Terus ada ajakan untuk menyebarkan atau memviralkan berita tersebut sebagai bentuk kepedulian, apalagi kalau sudah menyangkut urusan SARA yang sangat sensitif.

Dalam kondisi informasi yang kadang simpang siur ini, yang diperlukan adalah penggunaan fikih komunikasi. Ketika ada yang menyebarkan informasi kepada kita, kita cek sumber berita dan cek kebenarannya. Kroscek juga dengan sumber-sumber lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun