Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Humanistik

20 Maret 2018   11:07 Diperbarui: 7 November 2020   20:58 563
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi. (stevejobsschool.world)

Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara."

Driyarkara menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Sedangkan Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa sekolah harus menjadi taman belajar bagi siswa. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan memang bertujuan untuk membentuk manusia yang memiliki karakter yang baik.

Sekolah sebagai salah satu institusi pendidikan menjadi sarana untuk menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan karakter positif siswa. Selain itu juga sebagai tempat untuk membimbing, membina, dan memberikan sejumlah kecerdasan dan kecakapan kepada para siswanya sebagai bekal di masa depan.

UNESCO menyatakan bahwa pilar-pilar pendidikan adalah memberikan fondasi kepada setiap siswa untuk (1) belajar untuk tahu (earning to know),(2) belajar untuk melakukan (learning too do),(3) belajar untuk menjadi (learning to be),dan (4) belajar untuk hidup bersama yang lain (learning to live together).

Pendidikan harus memberikan pengalaman kepada siswa untuk melakukan olah pikir (kognitif), olah hati (afektif), olah rasa (afektif), dan olah raga (psikomotor). Tujuannya agar menjadi pribadi yang memiliki keseimbangan, baik jasmani maupun rohani. Bukan hanya memiliki kecerdasan intelektual, tapi juga memiliki kecerasan spiritual, emosioanal, dan spiritual.

Sungguh indah jika tujuan pendidikan tersebut dapat terwujud. Kehidupan manusia akan aman dan damai. Di tengah derasnya arus globalisasi dan perkembangan IPTEK, dia tetap memiliki kepribadian yang kokoh, dan tidak terbawa oleh dampak negatifnya. Inovasi dan kreativitasnya digunakan untuk memberi manfaat kepada masyarakat, bukan sebaliknya, yaitu melakukan kejahatan dan menimbulkan bencana bagi umat manusia.

Sebagaimana tadi disebutkan di atas bahwa hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia, maka siswa pun sebagai seorang manusia harus dididik dan diperlakukan secara manusiawi. Siswa tidak dianggap hanya sebagai objek atau gelas kosong, tetapi juga sebagai subjek dan individu yang sedang mengalami perkembangan dan memerlukan bimbingan dari guru untuk menemukan jati dirinya.

Proses pendidikan yang diberikan kepada siswa harus bersifat humanistik, mampu menyentuh nuraninya. Menjadikan proses pendidikan sebagai ajang untuk membentuk dirinya sendiri. Menjadikan dirinya sebagai manusia yang disamping sebagai makhluk Tuhan, sebagai seorang individu, juga sebagai makhluk sosial yang memiliki misi kemanusiaan yang secara operasional dilaksanakan melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler.

Sebagai manusia yang sedang berkembang dan sebagai makhluk yang unik, tentunya setiap siswa memiliki potensi dan keunikan yang beragam. Oleh karena itu, Howard Gardner menyampaikan teori tentang kecerdasan majemuk (multiple intelligences) yang terdiri dari 7 (tujuh) kecerdasan sebagai berikut: (1) kecerdasan visual-spasial, (2) kecerdasan kinestetik, (3) kecerdasan musikal, (4) kecerdasan intrapersonal, (5) kecerdasan interpersonal, (6) kecerdasan linguistik, dan (7) kecerdasan logis-matematik.

Berdasarkan kepada hal tersebut, maka setiap siswa dibimbing sesuai potensinya masing-masing dan memperoleh pembelajaran yang bermakna bagi dirinya. Dalam prakteknya memang bukan hal yang mudah di tengah kurikulum pendidikan yang seragam di setiap daerah dan setiap sekolah. Guru seolah hanya sebagai pelaksana kurikulum yang telah disusun oleh pemerintah. Pola pikir seperti itu perlu diperbaiki. Guru harus diberi kebebasan untuk menyusun dan mengembangkan bahan ajar sesuai situasi, kondisi, dan kebutuhan siswa.

Dalam proses pembelajaran, siswa bukan hanya dijejali teori dan memosisikannya seperti hidup di menara gading, tetapi perlu diperkenalkan dan dibawa ke dengan dunia nyata. Berhadapan berbagai persoalan yang terjadi di tengah masyarakat agar mentalnya terbentuk. Siswa menjadi sosok manusia yang memiliki sifat-sifat kemanusiaan, mampu berpikir kritis, peka dan peduli terhadap berbagai persoalan di masyarakat, mampu menjadi bagian dari agen perubahan, dan mampu menjadi bagian dari solusi permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Itulah menurut saya sejatinya dari pendidikan humanistik. Wallaahu a'lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun