Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kiai dan Santri Sebagai Agen Perubahan

21 Oktober 2017   10:28 Diperbarui: 21 Oktober 2017   10:44 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak zaman perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan Jepang, peran kiai dan santri tidak dapat dipisahkan. Para kiai dan santri telah banyak mengorbankan jiwa raganya untuk meraih kemerdekaan RI. Perlawanan Tuanku Imam Bonjol di Sumatera Barat, Pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, Sultan Hasanuddin di Makassar, KH Zainal Mustafa di Tasikmalaya menjadi saksi peran kiai dan santri dalam melawan penjajah, hingga kisah para wali songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa hingga antero nusantara.

Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk Jepang tanggal 1 Maret 1947, lalu dibubarkan pada tanggal 7 Agustus 1945 dan berganti menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang menyusun Piagam Jakarta yang kemudian dijadikan sebagai Pembukaan UUD 1945 juga diisi oleh kiai-santri yang dinamakan kelompok agamis seperti KH Wahid Hasyim, Abdoel Kahar Moezakir, dan Haji Agus Salim. Dengan demikian, komitmen kiai dan santri untuk kedaulatan dan keutuhan NKRI tidak perlu diragukan lagi.

Pascakemerdekaan RI, tentunya peran kalangan kiai dan santri dalam membangun bangsa pun sangat terlihat. Para kiai mendirikan pesantren untuk mengajarkan ilmu dan mendidik para santri. Model salafiyah dan kajian kitab kuning menjadi "kurikulum" utamanya. Kiai sebagai figur pemimpin pesantren yang sangat dianut, disegani, dan diteladani oleh para santri, pejabat pemerintah, dan masyarakat secara umum. 

Dalam perkembangannya, pesantren-pesantren bukan hanya bersifat salafiyah atau hanya mengajarkan ilmu agama saja, tetapi banyak berdiri pula pesantren modern atau pesantren salafiyah yang mengubah diri menjadi pesantren modern, yaitu pesantren yang selain mengajarkan ilmu-imu agama, juga mendirikan pendidikan umum sehingga menjadi pesantren atau sekolah berasrama (boarding school). Selain itu, tren masyarakat modern saat inii mengharapkan adanya lembaga pendidikan yang disamping memberikan pendidikan agama juga sekaligus pendidikan agama supaya melahiran anak yang disamping memiliki ilmu pengetahuan yang luas, juga memiliki saleh, salehah, memiliki budi pekerti yang luhur.

Pesantren saat ini disamping banyak modern, juga bersifat tematik. Hal ini ditentukan oleh kompetensi utama sang kiai, karakteristik daerah, tuntutan dan perkembangan IPTEK. Oleh karena itu,  ada yang fokus kepada penguasaan ilmu Alquran baik bacaan, tafsir, maupun seni kaligrafi. Ada yang fokus  ke ilmu fiqih, ilmu tauhid, dan sebagainya.

Kiai dibantu oleh para ustadz memberikan pendidikan tambahan seperti bertani, membuat kerajinan, dan berdagang,. Bahkan di pesantren modern, para santri juga diberikan semacam kegiatan ekstrakurikuler komputer, desain grafis, musik islami, dan fotografi, sehingga santri memiliki kecakapan hidup (life skill)dan memiliki jiwa wirausaha.

Santri modern saat ini tampaknya bukan lagi hanya identik dengan kalangan bersarung. Nasaruddin Umar dalam bukunya yang berjudul "Rethinking Pesantren" (2014 : 6) berpendapat bahwa "santri tidak hanya terbatas pada orang yang sedang dan pernah pendidikan agama di pesantren di bawah asuhan para kiai-ulama, tetapi juga kepada mereka yang belaar dan memahami ilmu-ilmu keagamaan baik secara autodidak maupun secara institusi formal yang kemudian diwujudkan aktivitas kesehariannya."  

Berdasarkan kepada pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa santri bukan hanya sebagai status pelajar di sebuah pesantren, tetapi juga bisa belajar agama secara autodidak, atau berjiwa santri, yaitu pribadi yang paham dan melaksanakan ilmu agama dalam kehidupannya.

Dalam konteks institusional, belajar di pesantren tidak tentu batas waktunya. Santri bisa selama mungkin belajar sampai merasa cukup. Kitab-kitab yang dipelajari pun kadang tidak sekaku seperti pada pendidikan formal. Santri bebas belajar kitab apa saja yang dipelajari. Bahkan yang telah keluar dari sebuah pesantren, pada waktu-waktu tertentu datang lagi untuk bersilatrahmi, belajar, atau berkonsultasi kepada sang kiai.

Peran kiai-santri terlihat sangat nyata dalam masyarakat dan justru makin dibutuhkan sebagai agen perubahan. Kehidupan masyarakat tidak akan lepas dari peran kiai-santri, mulai dari urusan kelahiran, kematian, pernikahan, sosialisasi program pemerintah, sampai kepada mencari solusi dari konflik sosial dan politik.

Peran kiai dan santri mereka sangat membantu pemerintah dalam pendidikan, dan sosial-kemasyarakatan. Fatwa, nasihat, dan aksi sosialnya sangat diperlukan untuk menciptakan situasi masyarakat yang kondusif. Oleh karena itu, kiai-santri, bukan dijauhi, tetapi harus didekati oleh pemerintah untuk bersama-sama membangun negeri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun