Setiap bulan Ramadan, ada satu fenomena yang hampir selalu muncul di berbagai kota besar di Indonesia: Sahur On The Road (SOTR). Awalnya, kegiatan ini punya niat yang mulia---membagikan makanan sahur kepada mereka yang membutuhkan, mulai dari tunawisma, pekerja jalanan, hingga orang-orang yang kesulitan mendapatkan makanan di waktu sahur. Namun, seiring berjalannya waktu, SOTR justru sering jadi kontroversi.
Di satu sisi, ada yang menganggapnya sebagai bentuk solidaritas sosial, cara anak muda berbagi berkah Ramadan dengan yang kurang mampu. Di sisi lain, banyak juga yang melihatnya sebagai gangguan masyarakat---konvoi berisik di tengah malam, aksi ugal-ugalan di jalan, bahkan berujung tawuran. Jadi, sebenarnya SOTR ini masih relevan sebagai aksi sosial, atau justru lebih banyak merugikan?
Dari Aksi Sosial ke Ajang Gengsi
Kalau melihat konsep awalnya, SOTR adalah salah satu bentuk charity movement yang dilakukan secara spontan oleh komunitas, anak muda, atau kelompok tertentu yang ingin berbagi makanan sahur. Ide dasarnya bagus: berbagi tanpa pamrih, memberikan kehangatan di tengah malam Ramadan, dan menciptakan momen kebersamaan yang penuh makna.
Tapi, seiring berjalannya waktu, praktiknya banyak yang melenceng dari tujuan awal. SOTR yang seharusnya menjadi aksi sosial kini lebih sering jadi ajang gengsi. Konvoi kendaraan yang mengular, kebut-kebutan di jalan raya, dan suara knalpot yang memekakkan telinga malah jadi lebih menonjol daripada niat berbagi itu sendiri. Tidak jarang juga SOTR berujung pada konflik antar kelompok, yang bukannya membawa keberkahan, malah menciptakan keresahan.
Ketika Solidaritas Bertemu dengan Anarki
Di banyak kota, SOTR sudah sering diwarnai insiden yang berujung ricuh. Tawuran antar geng, bentrokan dengan warga sekitar, hingga meresahkan pengguna jalan lain. Polisi pun kerap membubarkan konvoi SOTR yang dianggap sudah melewati batas kewajaran.
Ironisnya, niat berbagi malah berubah menjadi ajang pamer keberanian di jalanan. Beberapa kelompok menjadikan SOTR sebagai kesempatan untuk unjuk eksistensi, membawa nama komunitasnya dengan kebut-kebutan, dan bahkan menantang kelompok lain yang mereka anggap sebagai rival.
Kalau sudah begini, apakah masih bisa disebut sebagai solidaritas sosial? Atau justru lebih mirip dengan aksi vandalisme terselubung?
SOTR yang Ideal: Bisa atau Tidak?