Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveller amatir. klick: www.nyambi-traveller.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Hinako, Pulau yang Elok dan Ramah

16 Mei 2021   09:57 Diperbarui: 16 Mei 2021   10:21 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kejernihan air dan deretan batu karang menjadi rumah nyaman biota laut/Dokpri

Hinako, nama pulau di Kepulauan Nias, provinsi Sumatera Utara. Ia menyimpan kekayaan alam melimpah, dan keramahan penduduk kepulauan yang hangat, bak saudara, peduli, dsb. Berikut ceritaku saat singgah semalam dua hari disana.

Hujan turun lebat Selasa 16 Februari 2021. Gemuruhnya mengamuk tak henti. Jam dinding masih menunjukan pukul 03.30 pagi. Gelap tak berbintang. Kota Gunung Sitoli seperti menengadah atas kehadiran air hujan. Beberapa hari ini, bumi pulau kering kerontang. Panas terik menyengat penduduk dan seisinya.

Jam 10.00 pagi, saya bersama rombongan CU Pesada (Credit Union Perkumpulan Sada Ahmo) pergi pulau Hinako, di kab Nias Barat. Menuju ke sana, kami berkendara dari Gunung Sitoli ke ujung daratan Sirombu di Nias Barat. Sirombu merupakan kecamatan bagi desa di daratan dan pulau kecil sekitarnya, termasuk Hinako. Lokasinya di pesisir barat Pulau Nias berbatasan dengan Samudra Hindia. Selain pulau Hinako, ada pulau Asu, pulau Lang, Hinako Island.   

Perjalanan dari Gunung Sitoli ke ujung Sirombu sekitar 76 km, dengan waktu 2,5 - 3 jam. Pas jam 12.30, kami sampai di dermaga Sirombu. Terik panasnya bagai tak bertepi. Pelabuhan Sirombu dibangun Pemerintah RI paska tsunami dan gempa 2005. Sisa bangunan tak berpenghuni karena tsunami menjadi pemandangan selama ke pelabuhan. Banyak bangunan tak terpenghuni mangkrak sepanjang jalan ke pantai. "Tanah ini diwakafkan", tulisan  di papan bangunan paska stunami dan gempa. Daerah pantai yang tadinya ramai dan pusat pariwisata, kini lenggang dan sepi. Meski begitu, beberapa vila mencoba bangkit, dan tetap menerima tamu. "Marco Beach", "Toziro Bach", dsb menyebut beberapa nama. Sejumlah  titik keramaian baru sedang bergeliat. Asa di tengah pandemi.

Setengah jam berlalu. Kapal kecil model speed boat muncul dari tengah laut, memaksa kami bersiap di bibir dermaga. Awalnya, kami ragu dengan kemunculannya. Sebab, kebutuhan pokok seperti; beras, minyak goreng, telur, dll, menyertainya. Namun awaknya meyakinkan bahwa inilah kapalnya. Semua awak kapal membantu penumpang naik ke kapal. Perjalan menyusuri laut di tengah terik siang dimulai. Air laut berwana kebiruan dan jernih nampak jelas. Ini pertanda sehatnya ekologi biota laut dan karang sebagai rumahnya. Sapuan ombak laut tak besar. Ia memercik kecil menghantam spead boat. Nampaknya, cuaca sedang bersahabat, kata kapten speed boat.

Pulau-pulau kecil sekitar menjadi pemandangan indah saat petang menjelang/Dokpri
Pulau-pulau kecil sekitar menjadi pemandangan indah saat petang menjelang/Dokpri
Setengah jam speed boat membelah laut. Di tengah perjalanan, kami disuguhi pemandangan deretan pulau kecil -- yang mungkin belum bernama -- tak berpenghuni di sejumlah sudut. Meski begitu, ada pulau yang memperlihatkan barisan rumah dan pohon kelapa di tepi pantainya. Berbagai bongkahan karang berlobang karena diterpa bulir ombak di bibir pulau terlihat jelas.

Tak terasa kecepatan speed boat melemah. Pertanda pulau Hinako sudah dekat. Terpampang di dermaga, tulisan "Selamat Datang ke Pulau Hinako" menyambut pengunjung. Pulau ini terdiri dari 6 (enam) desa, dimana Hinako menjadi salah satu nama dan bagian dari kec Sirombu, kab. Nias Barat.

Di ujung dermaga, ada bangunan baru dilengkapi bangku semen dimana penumpang kapal ke daratan berkumpul. Di sini, sinyal telpon (telkomsel) kuat dan nyaring. Saat malam penuh bintang hadir, anak2 muda berkumpul di sana untuk seutas sinyal, berkomunikasi dengan dunia luar. Kapal laut bertipe spead boat datang sesuai kebutuhan. 

Minimal satu kali di pagi hari dan sore. Sayangnya, tak ada hotel dan penginapan di sana (paling tidak hingga tulisan disusun). Bila wisatawan luar pulau hendak bermalam, mereka harus tinggal di rumah penduduk.  

Itulah yang kami rasakan saat berkunjung ke pulau. Beserta temen Pesada yang hendak membangun kelompok swadaya masyarakat melalui Credit Union, saya tinggal di rumah warga. Deretan permukinan penduduk berlokasi 50-100 meter dari bibir pantai.

Sesampai di rumah penduduk, kami berbincang ringan dengan tuan rumah. Diketahui, rata-rata pekerjaan warga merupakan pencari ikan, kepiting, lobster dsb di lautan. Berbagai macam ikan dan hasil laut tersedia tak terbatas di sana. Khusus kepiting lobster, ia melimpah bagai tak berspasi sekitar pulau. Kami sempat membelinya seharga Rp 100 rupiah (isi 5 ekor...murah kan) dari nelayan, saat  berenang di pinggir dermaga. Lobster menjadi sajian makan siang kami besok hari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun