Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveller amatir. klick: www.nyambi-traveller.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keaksaraan dan Sifat Kritis

12 September 2017   07:13 Diperbarui: 12 September 2017   08:39 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan September -- khususnya tanggal 8 --, masyarakat selalu memperingatinya dengan hari keaksaraan. Sayang, tingkat keaksaraan warga kini "dihujat" habis-habisan. Semua masyarakat menuntut bahwa "manusia ber-aksara" merupakan makhluk cerdas yang menjadi sumber kedamaian, pendobrak kebodohan, pembersih "kesimpang-siuran" berita mejadi penjernih khabar. Artinya, makna "keaksaraan" kini tidak sekedar "baca dan tulis". Dikenal "calistung". Karena, keaksaraan calistung tidak cukup mampu "memfilter" aneka HOAK dan ujaran kebencian lainnya.

Kementrian Pendidikan Nasional RI bangga dengan penurunan angka buta aksara setiap tahun. Setiap 8 September, penurunan angka keaksaraan menjadi berita keberhasilan. Data Kemendikas menyebutkan tahun 2014, jumlah buta aksara sebesar 5,9 juta penduduk, tahun 2015 turun menjadi sebesar 5,7 juta, dan tahun 2016 juga diperkirakan terus berkurang. Sayang, penurunan ini kelihatannya masih di keaksaran calistung. Sementara level keaksaraan yang lebih tinggi, masih menjadi cita-cita warga Indonesia.

Kontras dengan penurunan angka buta aksara, gambaran lain malah sebaliknya. Menurut EGRA (Early Grade Reading Assesment) yang digagas USAID, tentang kemampuan murid dalam level membaca, tersaji menyedihkan. Murid sekolah Indonesia hanya memperoleh skor 52,1 kata per menit dengan 62,8 persen level pemahaman. Ini lebih rendah dibanding murid sekolah di Philippines yang mendapat skor 68,8 kata per menit dengan 74 persen level pemahaman.

Gambaran itu sejalan dengan level penilaian international sebelumnya, yaitu seperti pemanfaatan waktu pelajaran yang cenderung panjang, namun tidak sebanding hasilnya. Jam pelajaran siswa Indonesia lebih banyak dari negara maju. Indonesia memiliki 1.095 jam pelajaran per tahun. Murid sekolah Korea Selatan hanya mempunyai 903 jam per tahun.

Sementara murid sekolah di Jepang cuma 712 jam per tahun. Anehnya, peringkat remaja Indonesia berusia 15 tahun terhadap sains, membaca, dan matematika, seperti dikutip laporan PISA (Programme for International Student Assessment) masih di lapisan bawah. Sesuai PISA dan Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS) tahun 2012, Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara, dengan rata-rata nilai matematika, bacaan, dan sains berturut-turut sebesar 375, 395, dan 382, jauh dibawah angka 500 sebagai rata-rata nilai negara OECD.

Yang menambah keprihatinan lain adalah minat baca siswa Indonesia rendah. Pelajar Indonesia tidak pernah selesai membaca 1 buku pun. UNESCO (organisasi di bawah naungan PBB yang bergerak dalam bidang Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan) tahun 2012 mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Bahkan bisa diterjemahkan bahwa pelajar Indonesia menghabiskan waktu 30 hari untuk membaca 15 halaman. Mudah-mudahan tahun 2017, minat baca (dan literasi) anak didik Indonesia meningkat seiring kemudahan dalam mendapatkan askes bahan bacaan.

Level Keaksaraan

Bila kita telaah definisi keaksaraan berbagai organisasi, maka level keaksaraan selalu diukur dengan jenjang pemahaman yang diseuaikan dengan tuntutan masyarakat.   Definisi keaksaraan UNESCO mengalami beberapa kali perubahan. Di pendifinisian awal, tertulis di "rekomendasi UNESCO" tahun 1958 tentang Standarisasi Internasional Statistik Pendidikan. Disebutkan bahwa orang yang beraksara merupakan seseorang yang mampu membaca dan menulis, dengan pemahaman, sebuah pernyataan pendek sederhana di kehidupan sehari-hari.

Sementara di definisi 1970 yang banyak dikritik orang namun sering dipakai, menyebutkan bahwa manusia "Beraksara Fungsional" adalah seseorang yang mampu mengaitkan keahlian "keaksaraan" dalam kegiatan untuk berfungsi efektif dalam kelompok dan komunitasnya. Sebagai damapknya memungkinkan orang tersebut selalu menggunakan kemampuan membaca, menulis dan berhitung untuk pengembangan diri dan masyarakat.

Di evolusi ketiga UNESCO, definisinya merujuk yang dikembangkan Assesment Education for All (EFA) tahun 2000, yaitu, "KeAksaraan merupakan kemampuan membaca dan menulis, dengan pemahaman, sebuah pernyataan sederhana yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Itu mencakup berbagai ketrampilan membaca dan menulis, dan ketrampilan aritmatika (berhitung) Dasar." Kemudian, definisi keaksaraan terakhir merupakan hasil pertemuan ahli internasional Juni 2003 di UNESCO.

Definisinya berbunyi bahwa keasaraan ialah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menginterpretasikan, menciptakan, mengkomunikasikan, dan menghitung, menggunakan bahan-bahan cetak dan tertulis yang berhubungan dengan berbagai konteks. Kekasaraan mencakup berbagai pembelajaran dalam memampukan seseorang guna mencapai tujuannya, membangun pengetahuan dan potensinya, dan untuk berperan penuh dalam komunitasnya." (Lihat UNESCO, Evaluation of Literacy Assessment and Monitoring Programme (LAMP) / UNESCO Institute for Statistics (UIS) UNESCO)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun