Gemuruh kecil sayu-sayup kudengar bersautan dengan bunyi mobil travel. Meski itu berarti bertanda hujan, namun awan di langit masih cerah-pucat. Hari itu, 14 November 2016, aku hendak berkunjung ke desa Sapuak, kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Guna mempersingkat waktu perjalanan, mobil travelku melewati jalan yang tidak biasa atau jalan pintas. Ini karena, keberangkatanku sudah terlambat. Pukul 09.30 pagi, kami baru dijemput dari hotel Santika oleh driver travel Pontinak-Sekadau. Seperti diketahui, perjalanan Pontianak ke Sekadau memakan waktu seharian penuh (kalau tidak salah, kayak perjalanan Jakarta – Yogyakarta….). Jadi normalnya, bila berangkat dari Pontianak jam 07.00 pagi, maka aku sampai di Sapuak, Sekadau, sekitar pukul 16.00 sorean.
Berbekal jalan pintas itulah, saya dan penumpang mobil travel beserta sopirnya optimis akan sampai di lokasi tujuan tepat waktu. “Kira-kira pukul 16.30 an sore lah. Mentok-mentoknya, kita sampai ke tempat penginapan, daerah tujuan, sekitar pukul 16.00 sore. Pas matahari terbenam,” ungkap sang sopir optimis. Dan biasanya, hujan turun selepas sore hari atau Magrib. Dengan begitu, ini berarti, saya nyampe ke sana diharapkan sebelum turun hujan. Sang supir menyemangati kami bahwa sesuai pengalamannya, mukjizat selalu hadir mengiringi perjalanannya. Hujan akan hadir selepas kedatangan. Semoga.
Bulan-bulan ini cuaca di daerah Kalimantan Barat tak menentu. Meski suasana panas terik sepanjang hari, sorenya bisa hujan sederas-derasnya. Antara satu daerah dengan tetangganya juga bisa berbeda sertus delapan puluh derajat suasanya. Itulah yang jadi kekhatiranku di perjalanan ini. Lokasi tujuan terletak pas di areal hutan Sawit. Seperti layaknya hutan sawit di berbagai daerah biasanya memiliki jalan kecil yang bertanah. Apalagi bila pemiliknya masyarakat dan perusahaan swasta, umumnya malas untuk bangun jalan beraspal. Karena memerlukan pembiayaan besar. Bila hujan turun, bisa dibayangkan bagaimana kondisi jalannya.
Itulah gambaran sebenarnya yang kala itu aku belum membayangkannya. Tanpa sengaja, aku menengok wajah sang sopir yang dari tadi memberi harapan optimis. Lama-lama, aku menangkap sisi lain dari wajah sang sopir. Tersirat, meski optimis, hatiku kok khawatir ya. Pelan-pelan kuperhatikan lagi wajah sang sopir yang terguta rasa rada khawatir. Was-was. Hatiku berujar, “wajahnya mengguratkan kekhawatiran. Namun ia menyebunyikannya. Mungkin, supaya kami sebagai penumpangnya tidak ikutan khawatir”.
Seberapa menit sebelum masuk ke desa Semirau, kab. Sekadau, terlihat dari kejauhan kabut hujan mengelayuti ujung desa yang akan kami lalui. Arloji di tanganku menunjukan pukul 16.00 siang menjelang sore. Dengan hati berdebar kecil, aku melihat segerombolan awan hitam beriringan di langit. Itu bertanda akan turun hujan di desa Sepuak, sebagai lokasi terakhir perjalanan. Rimbunan hutan sawit berjejer di kiri dan kanan jalan. Sepi dan kosong. Seolah pepohonan sawit menyaksikan kekhawatiranku. Meski baru sore hari, namun kehidupan bagai buru-buru berganti malam.
Taka ada pilihan lain. Sang supir mengebut laju kendaraan sekuat tenaga diantara rerimbunan hutan sawit. Di tengah suasana was-was, tiba-tiba sang supir berkata bahwa kita harus sampai melalui jalan di depan sana sebelum hujan turun. Bila hujan turun, habislah kita. Karena jalanan tanah otomatis terlumuri air hujan yang membelah hutan sawit. “Waduh…Gawat kalau gitu. Bisa terdampar di kesunyian hutan sawit”, gumanku lirih.
Gubrakkk. Kekhawatiranku pecah. Hujan turun dengan intensitas sesuai dengan lokasi yang dilalui. Kadang deras, dan selanjutnya rintik. Sore perlahan hadir. Malam pun menunggu setelahnya. Jalan tanah di antara pepohonan sawit basah dan mulai licin.
Dengan perasaan dag dig, aku berdoa khusuk. Sementara sang sopir mulai memacu kendaraan. Pelan-pelan namun pasti. Mobil melaju menanjak. Tiba-tiba, kami merasa pantat mobil berbelok ke kiri dan kekanan. Ini akibat kelicinan jalan tanah yang basah. Meski oleng, sang sopir tetap memaksakan mobilnya melaju. Suara gas mobil menderu-deru. Bau kampas rem terasa sangit nan anyir. Degup jantungku makin keras. Seketika mobil berhenti di tengah arah menuju tanjakan. Ini karena, gas mobil sudah tak berfungsi, sementara bila mundur pun pantat mobil oleng (karena licin). Waduh….kekhawatiranku kian menjadi-jadi. Sepertinya gas mobil sudah maskimal, namun kendaraan tetap tidak bisa melaju. Eh, tanpa sadar mobil pelan-pelan mundur sendiri. Sang supir mulai sulit mengendalikannya seratus persen. Uh…..spot jantungku tak karuan saat itu. Meski begitu, sang sopir dengan kelihaiannya tetap tenang dan mampu mengendalikan laju mundur kendaraan.
Jleg. Mobil berhenti. Meski gas ditarik, namun ban depan tak bergerak. Ternyata, tak terasa perlahan namun pasti, mobil terjerembab dan masuk ke parit sebelah kanan jalan. Mobil kami tidak bisa jalan. Sekali lagi, sang sopir mencoba menaikan gasnya, ternyata tidak bisa. Dengan sigap, sang supir mengentikannya dan memberi rem tangan. Segera ia keluar dan berharap ada kendaraan lewat di jalan untuk meminta pertolongan. Mendadak mobil truck dengan ban besar lewat. Kami senang karena bala bantuan hadir di tengah hutan gelap. Sayang, kendaraan itu tidak bersedia membantu, karena mereka sedang buru-buru mengantar barang dagangan. Selanjutnya mobil pick up lewat. Sopir mobil pick up beralasan bahwa mobil kami harus ditarik dengan tali. Sementara mobilnya tidak memilikinya.
Hujan masih tidak menentu kadarnya. Terkadang rintik, dan sesekali deras. Tanah pun makin basah. Gelap pekat menyelimuti hutan sawit. Kami seperti sendirian di tengah hutan sawit itu. Gak ada yang bisa saya dan penumpang lain lakukan. Kami terpaku seribu bahasa di mobil. Sang sopir memintaku berdiam diri. Tak boleh ke mana-mana. Sayup-sayup, bunyi jangkrik bertalu-talu. Untuk menerangi gelapnya malam, kami meminta sopir untuk tetap menyalakan lampu mobil.
Beberapa saat, supir keluar dengan kaki telanjang (tanpa alas kaki). Ia menelpon kesana kemari kepada kawan-kawannya, meminta bantuan. Sayangnya, tidak ada jawaban yang menyenangkan atau positif. Ditengah ketidakpastian itu, pikiranku menerawang jauh. Penuh dengan kekhawatiran. Untuk menghilangkan was-was, saya mencoba menghibur diri dan bercanda dengan penumpang lain, dengan mengeluarkan kata-kata optimis. Tiba-tiba, sang supir pergi menjauh dari mobil. Kami tidak tahu kemana arah perginya. Asli, akau merasa sendirian. Di depan dan belakang mobil, jalanan gelap sekali. Kami tidak tahu daerah apa ini.
Lima belas menit berlalu, tiba-tiba mobil “double gardan” (mobil bak terbuka dan memiliki ban besar. Biasanya untuk off-road) dari perusahaan sawit lewat dan berhenti. Tak dinyana, supir travelku sudah berada di samping mobilnya. Ia meminta sopir mobil tersebut untuk membantu menarik mobil kami supaya tidak terperosok ke parit lebih dalam. Saat itu, kami hendak keluar dari mobil dengan harapan supaya bisa mengurangi beban mobil. Namun sang sopir tidak mengizinkannya. Mungkin ia berfikir, kalau kami keluar mobil, jalanan pun becek sehingga mengotori kaki dan anggota badan kami yang lain.
Ahamdulillah… setelah sopir mobil kami mencari, dan menelpon kawan yang bekerja di perkebunan sawit, didapatlah tali penarik. Hampir 15 menit, proses penarikan mobil travel dari parit oleh mobil double gardan. Dibantu beberapa orang pekerja sawit, akhirnya mobil pun tertarik keluar dari parit. Ajib. Mobil kami tidak mengalami kerusakan berarti. Bahkan sama sekali tidak lecet. Sang sopir memang lihai mengendalikan posisi mobilnya. Meski terjerambab di parit, mobil tetap baik. Hanya lumpur dan kotoran tanah yang menghiasi dinding dan ban mobil.
Setelah lepas dari parit, sang sopir memacu kendaraan kembali dengan didorong pekerja sawit. Meski licin, pelan-pelan mobil dipacu dengn kecepatan rendah. Doa-doa pun tetap kami panjatkan dalam diam di mobil. Makin lama bunyi gas dan asap makin membumbung tinggi. Alhamdulillah….akhirnya mobil mampu melewati tanjakan berkelok nan licin.
Tantangan jalan selanjutnya adalah perempatan. Disampingnya tetap hutan sawit. Pas nyampai di situ, hujan turun dengan sangat deras dan jalan tanah makin sulit dilewati. Sepertinya lumpur telah menebal dan mengelem ban mobil kami. Otomatis, mobil pun sulit dipacu di gegelapan malam. Kami berhenti beberapa menit dan diam di mobil. Sang sopir terlihat menyerah. “Mustahil nih, kita melanjutkan perjalanan. Ban mobil sulit bergerak. Hujan juga tak berhenti,” ungkap sang sopir memecah kebisuan di mobil.
Sesampai di kedai, kami duduk di bangku yang tersusun bergaya “lesehan” dengan papan kayu. Tak di nyana, hujan deras turun lagi selebat-lebatnya begitu sampai. Syukurlah. Sekali lagi, sang supir mengulangi ucapannya bahwa ia menyerah. Ia meminta berhenti sejenak malam itu. Menurutnya, mustahil untuk meneruskan perjalanan di tengah jalanan tanah yang penuh lumpur dan licin. Betul apa yang disampaikan sang sopir. Malam itu jalanan begitu sepi. Tak satu pun kendaraan berani melewatinya.
Terpaksa, kami menyantap dan minum seadanya untuk makan malam dari kedai. Melalui berbagai pertimbangan, dan memohon kepada pemilik kedai, akhirnya kami putuskan untuk bermalam di kedai. “Bila saudara-saudara mau bermalam di sini, silahkan. Namun tempatnya hanya di bangku luar”, ungkap penjaga kedai. Tak ada pilihan. Kami harus tidur di kedai beralaskan papan kayu malam itu. Keras memang papan itu. Tas ransel tenteng terpaksa kujadikan bantal. Nyamuk pun terbang dan berdengung di telinga sesekali. Kesunyian hutan sawit terasa syahdu. Hawa dingin bercampur hujan deras menjadi kawannku malam itu.