Beberapa saat, supir keluar dengan kaki telanjang (tanpa alas kaki). Ia menelpon kesana kemari kepada kawan-kawannya, meminta bantuan. Sayangnya, tidak ada jawaban yang menyenangkan atau positif. Ditengah ketidakpastian itu, pikiranku menerawang jauh. Penuh dengan kekhawatiran. Untuk menghilangkan was-was, saya mencoba menghibur diri dan bercanda dengan penumpang lain, dengan mengeluarkan kata-kata optimis. Tiba-tiba, sang supir pergi menjauh dari mobil. Kami tidak tahu kemana arah perginya. Asli, akau merasa sendirian. Di depan dan belakang mobil, jalanan gelap sekali. Kami tidak tahu daerah apa ini.
Lima belas menit berlalu, tiba-tiba mobil “double gardan” (mobil bak terbuka dan memiliki ban besar. Biasanya untuk off-road) dari perusahaan sawit lewat dan berhenti. Tak dinyana, supir travelku sudah berada di samping mobilnya. Ia meminta sopir mobil tersebut untuk membantu menarik mobil kami supaya tidak terperosok ke parit lebih dalam. Saat itu, kami hendak keluar dari mobil dengan harapan supaya bisa mengurangi beban mobil. Namun sang sopir tidak mengizinkannya. Mungkin ia berfikir, kalau kami keluar mobil, jalanan pun becek sehingga mengotori kaki dan anggota badan kami yang lain.
Ahamdulillah… setelah sopir mobil kami mencari, dan menelpon kawan yang bekerja di perkebunan sawit, didapatlah tali penarik. Hampir 15 menit, proses penarikan mobil travel dari parit oleh mobil double gardan. Dibantu beberapa orang pekerja sawit, akhirnya mobil pun tertarik keluar dari parit. Ajib. Mobil kami tidak mengalami kerusakan berarti. Bahkan sama sekali tidak lecet. Sang sopir memang lihai mengendalikan posisi mobilnya. Meski terjerambab di parit, mobil tetap baik. Hanya lumpur dan kotoran tanah yang menghiasi dinding dan ban mobil.
Setelah lepas dari parit, sang sopir memacu kendaraan kembali dengan didorong pekerja sawit. Meski licin, pelan-pelan mobil dipacu dengn kecepatan rendah. Doa-doa pun tetap kami panjatkan dalam diam di mobil. Makin lama bunyi gas dan asap makin membumbung tinggi. Alhamdulillah….akhirnya mobil mampu melewati tanjakan berkelok nan licin.
Tantangan jalan selanjutnya adalah perempatan. Disampingnya tetap hutan sawit. Pas nyampai di situ, hujan turun dengan sangat deras dan jalan tanah makin sulit dilewati. Sepertinya lumpur telah menebal dan mengelem ban mobil kami. Otomatis, mobil pun sulit dipacu di gegelapan malam. Kami berhenti beberapa menit dan diam di mobil. Sang sopir terlihat menyerah. “Mustahil nih, kita melanjutkan perjalanan. Ban mobil sulit bergerak. Hujan juga tak berhenti,” ungkap sang sopir memecah kebisuan di mobil.
Sesampai di kedai, kami duduk di bangku yang tersusun bergaya “lesehan” dengan papan kayu. Tak di nyana, hujan deras turun lagi selebat-lebatnya begitu sampai. Syukurlah. Sekali lagi, sang supir mengulangi ucapannya bahwa ia menyerah. Ia meminta berhenti sejenak malam itu. Menurutnya, mustahil untuk meneruskan perjalanan di tengah jalanan tanah yang penuh lumpur dan licin. Betul apa yang disampaikan sang sopir. Malam itu jalanan begitu sepi. Tak satu pun kendaraan berani melewatinya.
Terpaksa, kami menyantap dan minum seadanya untuk makan malam dari kedai. Melalui berbagai pertimbangan, dan memohon kepada pemilik kedai, akhirnya kami putuskan untuk bermalam di kedai. “Bila saudara-saudara mau bermalam di sini, silahkan. Namun tempatnya hanya di bangku luar”, ungkap penjaga kedai. Tak ada pilihan. Kami harus tidur di kedai beralaskan papan kayu malam itu. Keras memang papan itu. Tas ransel tenteng terpaksa kujadikan bantal. Nyamuk pun terbang dan berdengung di telinga sesekali. Kesunyian hutan sawit terasa syahdu. Hawa dingin bercampur hujan deras menjadi kawannku malam itu.