Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveller amatir. klick: www.nyambi-traveller.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Bau Anyir di Kaki Rinjani

13 Agustus 2015   12:01 Diperbarui: 13 Agustus 2015   12:01 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Udara awal Agustus 2015 di kelurahan Pancor, kec. Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) terasa lembab. Tiupan angin daerah yang terletak beberapa kilometer dari kaki gunung Rinjani terasa dingin di kulit. Kelurahan Pancor, kec. Selong, kira-kira berjarak 45 kilometer dari kec Sembalun, lokasi Gunung Rinjani berada. Meski begitu, hawa Rinjani yang dingin-sembab terasa begitu dekat denganku saat hendak bergegas keluar kamar penginapan bernama “Green Hayaq”, di Pancor. Kelurahan ini juga merupakan tempat kelahiran ulama besar bernama Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, pendiri Nahdlatul Wathan (disingkat NW) organisasi islam terbesar di Lombok. Salah satu cucunya Muhamad Zainul Majdi adalah Gubernur NTB 2008-2013.

[caption caption="Sudut hotel "green hayaq" yang dikelilingi persawahan"][/caption]

Pagi itu, jam dinding menunjukkan pukul 06.30, namun suasana masih serasa jam 05.00 pagi. Dingin sekali. Setiap angin berhembus menerpa wajah, badanku menggigil seketika. Namun begitu, hasratku untuk berjalan pagi tak terbendung. Tepat pukul 07.00 pagi, aku memaksakan diri keluar hotel. Jalan pagi menjadi rutinitas setiap aku berkunjung ke daerah luar Jakarta. Selain menyehatkan badan setelah ditempa rutinitas kerjaan, ini juga menjadi pengetahuan baru bagiku tentang kondisi kota di pagi hari. Kata pepatah kuno, kondisi kota di pagi hari merupakan wajah “asli” nya. Laksana manusia, ia masih “original”, belum terpoles dengn aneka dandanan dan aksesoris.

Pikiranku berujar bahwa sambil berjalan pagi, aku bisa menemukan makanan khas Selong, Lombok Timur. Begitu keluar dari hotel, suasana sepi. Jalanan lenggang. Pantas memang, ini karena letak hotel green hayaq persis bersebelahan dengan sawah. Hotel tersebut baru berdiri satu tahun. Untuk ukuran penginapan kabupaten, fasilitasnya terbilang lumayan. Air panas dan kebersihannya terjaga setiap hari.

Sayangnya, bila petang menjelang suasana sepi senyap. Wajar saja, jumlah bangunan kamar baru terisi sekitar 15 kamar. Sehingga suasana ramai terjadi saat menjelang sarapan pagi (sekitar jam 07.00 – 10.00) dan sore hari ketika tamu pulang dari aktiftas. Jarang ada tamu yang menikmati suasana penginapan. Kelihatannya, para tamu menginap sekedar istirahat tidur di malam hari.

[caption caption="Suasana lenggang di salah satu sudut kelurahan Pancor"]

[/caption]

Kutengok ke kiri dan ke kanan. Tak ada orang yang berjalan pagi atau berlalu lalang. Hari itu, Sabtu, tgl 8 Agutsus 2015. Beberapa meter dari penginapan kudapati lampu merah persimpangan empat, yang selama aku melewatinya selalu berlampu kuning. Itu bertanda hati-hati dan waspada. Mungkin karena minimnya kendaraan yang melintas, jadi “traffic light” tidak difungsikan seperti biasa. Udara segar dari humbusan sawah pelan-pelan menerpa kulit tanganku. Dingin namun segar. Jalanan setelah perempatan lenggang. “Wuih enak nih buat jalan pagi-pagi guna menyegarkan badan”, pikirku di tengah jalan-jalan.

Jalan yang sepi, membuat langkah pagiku nyaman. Jalan kecil di pinggirnya berdebu. Untungnya hari itu masih pagi, jadi taburan debu belum begitu ganas. Pohon besar berdiri rindang di sisi kanan-kiri jalan di kelurahan Pancor, kecamatan Selong yang menuju arah pusat kota Lombok Timur. Sambil berjalan, aku memperhatikan kondisi jalan raya Pejanggik dan bangunan di sekitarnya. Pertokoan masih terlihat satu dua bangunan saja. Lampu jalan yang biasa terpasang untuk menerangi pejalan kaki dan kendaraan, belum terlihat. Sehingga jalan Pejanggik terasa gelap gulita bila menjelang malam. Agak ngeri juga sih, saat aku berjalan sendiri menjelang malam ketika keluar mencari makan malam. Sepi dan tak ada lampu. Sejumlah toko HP (hand pond) dan perkakasnya terlihat menjamur di ujung jalan (perempatan kedua). Saya melihat rimbunan manusia mengerubunginya saat hari menjelang malam. Daya konsumsi penduduk Pancor terhadap HP besar – atau jangan-jangan HP telah menyita perhatian penduduk Indonesia umumnya. HP seperti menjadi kebutuhan “primer” layaknya makan dan minum serta sandang pangan.

Padanganku makin tajam mencari penjual sarapan pagi. Dalam hatiku berujar, pasti tidak ada penjual makanan karena sepinya jalanan. Sesampai di perempatan kedua, aku berdiri sebentar untuk menatap situasi sekitar. Di perempatan, kendaraan mulai menyemut. Anak-anak sekolah bergegas berangkat dengan berjalan kaki dan berkendaraan motor. Perempatan tersebut menyimpan memori tak terlupakan, karena keberadaan kulinernya. Jalan yang ke kiri merupakan arah menuju Jalan Kyai Ahmad Dahlan. Beberapa meter dari situ ada warung makan yang terkenal sajian khas Lombok Timur, yaitu “Warung Kelor”. Warung ini familiar bagi warga Pancor dan sekitarnya. Bila anda pergi ke Lombok Timur, serasa belum pas bila tidak berkunjung ke warung ini. Memang sih, beberapa meter darinya ada juga warung kelor yang dikelola anak dan menantunya. Namun mereka tidak seramai warung makan Kelor pusatnya. Ayam goreng kampung dan kangkung pletjingnya ….”huh, lezat sekali”. Saya sering makan siang di situ. Karena saat siang hari, kondisi lauknya dihidangkan dengan panas-panas baru digoreng. Pernah juga sih, makan sore hari di sana (ia tetap lezat, namun tidak sehebat di siang hari). Ia buka dari jam 10.00 pagi hingga jam 21.00 malam. Saat aku makan sore dengan lauk 2 paha ayam kampung, tahu dan tempe goreng serta bakwan goreng beserta lalapannya, kasir warung menghargainya Rp 40.000,-. Yah, standar lah.

[caption caption="Supir dokar sedang menunggu penumpang di sudut kota"]

[/caption]
Sementara simpang sebelah kanannya yang menuju jalan Prof Moh. Yamin, terdapat warung maknyus lainnya, bernama “Warung Arema Pancor”. Menurut kawan-kawanku dari Lotim (Lombok Timur), warung ini juga bisa menjadi alternate kuliner yang berciri khas Lotim. Karena penasaran, kemarin malam saya mencoba menikmati makan malam di sana. Dari sisi rasa, menurutku sih hampir sama dengan warung Kelor. Namun begitu, warung Kelor sedikit lebih enak bila lauknya dimakan saat panas-panas. Yang membedakan, warung Arema ini, ayam yang kita pesan akan digoreng pelayan. Kalau harga, hampir tidak ada bedanya. Standar harga Lotim.

Setelah beberapa menit berdiri di perempatan, aku menatap kembali kalau-kalau ada penjual sarapan di samping jalan. Warung-warung yang aku sebutkan diatas, tentu belum buka pagi itu. Waktupun berjalan lambat. Pelan-pelan kendaraan dan langkah anak sekolah makin terasa memenuhi bahu jalan. Saya melanjutkan jalan pagi ke arah lurus menuju perempatan jalan Jl. TGH Zainudin Abd Majid. Sebelum perempatan itu, beridri masjid besar yang sedang direnovasi. Sementara di depannya ada pasar rakyat, yang kalau sore hari menjadi pusat keramaian penduduk Pancor. Jalanan menuju perempatan tersebut juga ramai dengan pertokoan samping kiri dan kanan jalan. Ada toko penjual pakaian ABG (anak baru gede) yang sedang ngetrend, dan tentu toko HP, dan ada pula minimart “indomart”, serta seberang jalannya terdapat bakso yang terkenal dan terfavorit warga Pancor, yaitu “bakso Surabaya”, satu atap dengan toko HP. Pagi itu semua pertokoan masih tutup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun