Mohon tunggu...
Wahyu Fahrul Ridho
Wahyu Fahrul Ridho Mohon Tunggu... Dosen - Dosen UPN "VETERAN" Jawa Timur

Just learn to write

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Dilema Komunikasi Brand di Media Sosial

28 Juli 2022   10:05 Diperbarui: 28 Juli 2022   10:14 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebut saja Diana. Tangannya gemetar menunggu pesan dari atasannya. Beberapa menit yang lalu ia mengirimkan draft untuk campaign mingguan tempatnya bekerja. Pekerjaannya terlihat sederhana, membuat feed instagram dan sosial media lain untuk kampanye mingguan. Namun degup yang dirasakan tak sederhana seperti biasanya. beberapa hari yang lalu mungkin ia akan biasa saja, tapi tidak sejak ada kasus promosi minuman beralkohol dengan untuk yang bernama muhammad dan maria. Jika tak hati-hati, bisa saja ia kehilangan pekerjaan, dan bahkan masa depannya Diana bukan satu-satunya. 

Pekerjaan admin media sosial mendadak menjadi mencekam. Bagaimana tidak, sejak ada kasus holywings yang berujung status tersangka terhadap admin media sosial sampai seluruh tim marketingnya (tapi tidak menajemennya), pekerjaan ini menjadi beresiko tinggi. Banyak yang menganggap manajemen seolah "cuci tangan" terhadap kasus ini dan mengaku tidak tahu menahu terhadap materi campaign. Mengapa seolah tidak ada kontrol atas kontennya? Hal ini merupakan konsekuensi dari berkembangnya paradigma baru dalam komunikasi sebuah brand

Pergeseran Komunikasi Brand
Dalam beberapa dekade yang lalu komunikasi oleh suatu brand hanya bisa dilakukan melalui media tradisional (tv, majalah, flyer, poster dsj). Perusahaan hanya bisa melakukan komunikasi satu arah, yaitu memberikan informasi/narasi kepada konsumen dan tidak memungkinkan terjadinya timbal balik. Sehingga tidak mengherankan jika banyak penelitian membuktikan komunikasi perusahaan macam seperti ini terasa 'dingin', kaku, mekanik, dan impersonal. 

Persepsi seperti ini adalah konsekuensi logis dari tidak mampunya suatu brand berinteraksi secara langsung seperti orang ke orang, sehingga suatu brand tersebut dianggap jauh dan tidak dekat ke konsumennya. Namun perkembangan teknologi, khususnya sosial media memungkinkan suatu brand untuk berinteraksi langsung secara dekat dan personal. 

Lewat sosial media seperti twitter, akun brand/perusahaan bisa dengan aktif berinteraksi dengan followersnya. Sehingga seolah-olah brand terasa seperti kawan sendiri. Hal ini menimbulkan citra positif terhadap brand dengan suksesnya mereka membangun komunikasi terhadap followersnya. Tidak sedikit brand yang mampu meningkatkan penjualan karena citra positif yang mereka bangun lewat komunikasi yang dekat. Namun taktik seperti ini menimbulkan pertanyaan. Bagaimana kontrol komunikasi brand terhadap followers?


Dilema Kontrol
Dahulu komunikasi terhadap konsumen dikontrol dengan ketat. Untuk suatu materi bisa sampai ditampilkan ke publik, lapisan yang harus ditembus sangat banyak sekali mulai dari pelaksana hingga top management. Tak sedikit pula perusahaan yang memiliki unit khusus untuk memfilter komunikasi terhadap konsumen. Hal ini bertujuan untuk menjaga citra brand itu sendiri. 

Dalam era komunikasi brand di sosial media saat ini, akan sangat sulit jika suatu materi harus menembus banyak layer. Jika untuk membalas satu tweet harus melalui top management, maka berapa banyak waktu yang terbuang untuk filter? Disini terjadi trade off antara keluwesan interaksi terhadap konsumen dan memastikan konten yang keluar ke publik sudah terfilter dengan baik. Semakin ketat filter, maka ruang gerak komunikasi semakin terbatas dan begitu pula sebaliknya. 

Akan sangat beresiko jika komunikasi yang dikeluarkan hanya dikurasi oleh admin medsos dan segelintir orang, begitu pula konsumen akan merasa komunikasi yang dilakukan akan kaku atau tidak aktual karena membutuhkan waktu untuk filter.
Lalu bagaimana harusnya spektrum kontrol dalam hal ini? Tidak ada jawaban yang pasti, namun hemat saya, spektrum ini akan sangat berbeda-beda melihat jenis usahanya. Untuk usaha yang memiliki risiko sosial agak tinggi seperti bar alkohol, tempat hiburan malam dan sejenisnya,  komunikasi harus dilakukan dengan sangat hati hati karena dapat menyinggung agama tertentu. 

Diperlukan seni dalam menentukan mana sekiranya komunikasi yang sensitif terhadap isu sosial tertentu sehingga tidak menjadi masalah. Dapat pula didefinisikan dan dipetakan secara jelas dalam SOP perusahaan komunikasi seperti apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Karena jika hanya mengandalkan kompas moral admin medsos, resikonya akan sangat tinggi

Usaha untuk mencari titik tengah antara komunikasi brand yang efektif dan aman masih menjadi pekerjaan yang cukup berat untuk dunia usaha. Namun hasil yang dijanjikan dari komunikasi brand yang efektif cukup signifikan. Seperti halnya investasi, komunikasi juga bermain dengan risiko. Mau high risk high return atau low risk low return?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun