Mohon tunggu...
Idna Nawfa
Idna Nawfa Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pebisnis dan Sastrawan

"Gagal, Ulangi; Salah, Perbaiki; Berhenti, Mati".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Urgensi Pemindahan Ibu Kota

26 Agustus 2019   20:38 Diperbarui: 27 Agustus 2019   11:02 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Secara konstitusional, Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1964. Dalam sejarahnya, Jakarta telah menjadi pusat pemerintahan sejak masih bernama Batavia pada masa Hindia Belanda.

Salah satu wacana paling awal terkait pemindahan ibu kota dari Batavia (nama lain Jakarta) ke daerah lain, muncul pada era Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1762-1818). Pada masanya, Deandels ingin memindahkan pusat pemerintahan dari Batavia ke Surabaya.  Setidaknya ada dua faktor yang membuat Daendels ingin memindahkan pusat pemerintahan ke Surabaya.

Pertama, alasan kesehatan karena di Batavia banyak sumber penyakit. Kedua, alasan pertahanan, di Surabaya terdapat benteng dan pelabuhan. Namun rencana itu gagal di tengah jalan. Batavia sendiri sempat dijuluki sebagai Koningin van den Oost (Ratu dari Timur), namun kemudian terkenal sebagai kuburan orang Belanda karena banyaknya penyakit malaria dan kolera yang menjangkit masyarakat waktu itu.

Ide mengenai pemindahan ibu kota, kemudian berlanjut pasca kemerdekaan. Kala itu ide ini tidak lagi hanya bersemayam dalam dunia pemikiran, namun telah menyentuh pada ruang realitas di era presiden Soekarno. Dan hal paling urgent atas perpindahan ibu kota waktu itu sebagian besar disuplai oleh adanya rasa kecemasan dan keamanan nasional.

Seperti pada tahun 1946 saat Jakarta diduduki oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA), ibu kota negara dipindahkan ke Yogyakarta.  Kemudian Pada tanggal 19 Desember 1948 ibu kota kembali dipindahkan ke Bukit Tinggi, hal ini dikarenakan Yogyakarta sedang diserang oleh pasukan militer Belanda dalam Agresi Militer II, sehingga Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan di Pulau Bangka.

Satu tahun berikutnya pada tanggal 6 Juli 1949, Soekarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta untuk mengembalikan amanat pemerintahan negara dan membubarkan PDRI secara resmi pada 13 Juli 1949. Yogyakarta kemudian menjadi ibu kota Republik Indonesia, yang merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dibentuk pada 27 Desember 1949.

Hingga pada akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1949, RIS dibubarkan dan Jakarta kembali menjadi ibu kota Republik Indonesia secara defacto.

Dan akhir-akhir ini, wacana pemindahan ibu kota (negara) kembali semerbak dalam panggung diskusi bangsa Indonesia. Hal ini secara semiotik telah dikonfirmasi oleh Presiden Jokowi saat perhelatan sidang DPD/DPR pada tanggal 16 Agustus lalu. Namun urgensi apa yang melandasi ibu kota harus pindah? bagaimana negara berperan dalam mengambil keputusan besar ini? Apalagi Kalimantan dipilih sebagai opsi untuk menjadi tempat pemindahan ibu kota baru.

Mengutip kajian dari Bappenas, setidaknya ada enam poin kenapa ibu kota  harus pindah ke luar jawa.

Pertama, Sekitar 57% penduduk Indonesia terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sementara di daerah-daerah lain konsentrasinya sangat rendah (<10%).

Kedua, Kontribusi Ekonomi per Pulau terhadap PDB Nasional. Kontribusi Ekonomi Pulau Jawa terhadap PDB Nasional mencapai 58,49 %, paling besar dari daerah-daerah lain seperti Sumatera (21,66%), Kalimantan (8,20%), Sulawesi (6,11%), Bali dan Nusa Tenggara (3,11%) dan Papua (2,43%).

Ketiga, Krisis Ketersediaan air di Pulau Jawa terutama DKI Jakarta dan Jawa Timur.

Keempat, Konversi lahan terbesar terjadi di pulau Jawa. Sekitar 48,41% pada tahun 2000, 46,49% (2010), 44,64% (2020) dan 42,79% pada tahun 2030.

Kelima, Pertumbuhan urbanisasi yang sangat tinggi dengan konsentrasi penduduk terbesar di Jakarta dan Jabodetabekpunjur.

Keenam, Meningkatnya beban Jakarta sehingga terjadi penurunaan daya dukung lingkungan dan besarnya kerugian ekonomi. Seperti rawan banjir, tanah turun dan muka air laut naik, kualitas air sungai 96% tercemar berat, kemacetan tinggi dan sistem pengelolaan transportasi sangat buruk. Bahkan kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai Rp 56 triliun pertahun (PUSTRAL-UGM 2013).

Dari poin-poin diatas dapat kita simpulkan bahwa adanya wacana (ide) pemindahan ibu kota yang hari ini kembali digaungkan, pada dasarnya adalah menyangkut kepastian Indonesia di masa depan. Karena dalam aspek geopoilitik, ibu kota adalah representasi dari keadaan sebuah negara, representasi dari identitas bangsa.

Selain itu, hal berikutnya yang dapat kita cermati dari urgensi pemindahan ibu kota ini adalah perhatian kepada beban Jakarta yang semakin berat. Dimana hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, sebab bagaimana mungkin suatu aktivitas pemerintahan dapat berjalan dengan optimal jika disekitar pusat pemerintahan tersebut banyak permasalahan dan hal lain yang mengganggu proses produksi kebijakan yang dilakukan pemerintah.

Jakarta sendiri merupakan kota multitasking yang setiap harinya terus mengundang hasrat para pengusaha dan pendoa dari desa untuk dapat mengadu nasib yang lebih baik. Mungkin istilah "Jakarta Sentris" memang telah menghipnotis paradigma banyak orang, sehingga dalam mencari hal apapun pasti kiblatnya ke Jakarta. Seiring dengan dinamika tersebut, maka Jakarta secara reaktif akan terus melahirkan banyak vitalitas kegiatan ekonomi, sosial dan politik.

Dalam pengelolaan sebuah negara, idealnya memang antara pusat perekonomian, perindustrian dan pemerintahan harus dipisahkan. Hal ini demi tercapainya efektifitas kegiatan yang termaktub di dalam setap entitas tesebut.

Namun, kajian mengenai wacana pemindahan ibu kota ke luar pulau Jawa (Kalimantan) juga masih harus dipertanyakan. Sejauh mana kesiapan pemerintah dalam merealisasikan ide besar ini? Analis dampaknya bagaimana? Uangnya dari mana? Kerja sama dengan siapa saja? Kemudian aset-aset yang ditinggalkan nantinya akan dikemanakan? atau yang lebih penting lagi semendesak itukah ibu kota harus dipindahkan?

Lantas bagaimana masalah-masalah lain seperti kesenjangan ekonomi, defisit perdagangan, kemiskinan, diplomasi, kesehatan, utang yang terus membengkak, masalah rasisme, intoleransi, dan hal-hal lain yang seharusnya menjadi prioritas dalam waktu dekat ini? Apalagi Kalimantan adalah paru-paru dunia, bukannya dengan memindahkan ibu kota kesana justru akan mengundang konflik baru?

Jawabannya bisa kita temukan dalam segelas kopi yang diseduh oleh dialektika ...sssrruuupuuuttt ahhh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun