Mohon tunggu...
Idna Nawfa
Idna Nawfa Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Pebisnis dan Sastrawan

"Gagal, Ulangi; Salah, Perbaiki; Berhenti, Mati".

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Urgensi Pemindahan Ibu Kota

26 Agustus 2019   20:38 Diperbarui: 27 Agustus 2019   11:02 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketiga, Krisis Ketersediaan air di Pulau Jawa terutama DKI Jakarta dan Jawa Timur.

Keempat, Konversi lahan terbesar terjadi di pulau Jawa. Sekitar 48,41% pada tahun 2000, 46,49% (2010), 44,64% (2020) dan 42,79% pada tahun 2030.

Kelima, Pertumbuhan urbanisasi yang sangat tinggi dengan konsentrasi penduduk terbesar di Jakarta dan Jabodetabekpunjur.

Keenam, Meningkatnya beban Jakarta sehingga terjadi penurunaan daya dukung lingkungan dan besarnya kerugian ekonomi. Seperti rawan banjir, tanah turun dan muka air laut naik, kualitas air sungai 96% tercemar berat, kemacetan tinggi dan sistem pengelolaan transportasi sangat buruk. Bahkan kerugian ekonomi akibat kemacetan mencapai Rp 56 triliun pertahun (PUSTRAL-UGM 2013).

Dari poin-poin diatas dapat kita simpulkan bahwa adanya wacana (ide) pemindahan ibu kota yang hari ini kembali digaungkan, pada dasarnya adalah menyangkut kepastian Indonesia di masa depan. Karena dalam aspek geopoilitik, ibu kota adalah representasi dari keadaan sebuah negara, representasi dari identitas bangsa.

Selain itu, hal berikutnya yang dapat kita cermati dari urgensi pemindahan ibu kota ini adalah perhatian kepada beban Jakarta yang semakin berat. Dimana hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, sebab bagaimana mungkin suatu aktivitas pemerintahan dapat berjalan dengan optimal jika disekitar pusat pemerintahan tersebut banyak permasalahan dan hal lain yang mengganggu proses produksi kebijakan yang dilakukan pemerintah.

Jakarta sendiri merupakan kota multitasking yang setiap harinya terus mengundang hasrat para pengusaha dan pendoa dari desa untuk dapat mengadu nasib yang lebih baik. Mungkin istilah "Jakarta Sentris" memang telah menghipnotis paradigma banyak orang, sehingga dalam mencari hal apapun pasti kiblatnya ke Jakarta. Seiring dengan dinamika tersebut, maka Jakarta secara reaktif akan terus melahirkan banyak vitalitas kegiatan ekonomi, sosial dan politik.

Dalam pengelolaan sebuah negara, idealnya memang antara pusat perekonomian, perindustrian dan pemerintahan harus dipisahkan. Hal ini demi tercapainya efektifitas kegiatan yang termaktub di dalam setap entitas tesebut.

Namun, kajian mengenai wacana pemindahan ibu kota ke luar pulau Jawa (Kalimantan) juga masih harus dipertanyakan. Sejauh mana kesiapan pemerintah dalam merealisasikan ide besar ini? Analis dampaknya bagaimana? Uangnya dari mana? Kerja sama dengan siapa saja? Kemudian aset-aset yang ditinggalkan nantinya akan dikemanakan? atau yang lebih penting lagi semendesak itukah ibu kota harus dipindahkan?

Lantas bagaimana masalah-masalah lain seperti kesenjangan ekonomi, defisit perdagangan, kemiskinan, diplomasi, kesehatan, utang yang terus membengkak, masalah rasisme, intoleransi, dan hal-hal lain yang seharusnya menjadi prioritas dalam waktu dekat ini? Apalagi Kalimantan adalah paru-paru dunia, bukannya dengan memindahkan ibu kota kesana justru akan mengundang konflik baru?

Jawabannya bisa kita temukan dalam segelas kopi yang diseduh oleh dialektika ...sssrruuupuuuttt ahhh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun