Mohon tunggu...
UNZURNA
UNZURNA Mohon Tunggu... Konsultan - Hamba Allah

Tentang Apapun Yang Sedang Kamu Perjuangkan Saat Ini, Semoga Allah SWT Memudahkan dan Melancarkan Usahamu Untuk Mencapainya. Amin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dialog Islam dan Negara

6 Mei 2019   10:15 Diperbarui: 6 Mei 2019   13:22 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hubungan Islam dan Negara telah menjadi bagian penting dalam sejarah peradaban umat manusia, dimana hubungan antara keduanya seolah tidak akan pernah ada habisnya. 

Kehadiran Islam selalu ada dimana-mana dalam menawarkan prinsip-prisip dasar tentang etika dan moral, sehingga kehadiran Islam dibutuhkan oleh Negara dalam mencapai tujuannya untuk menyelenggarakan ketentraman, dan menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya. 

Namun dalam pengalamannya, hubungan keduanya tidak saja hanya menghadirkan kebahagiaan, tetapi turut pula menghadirkan kesedihan.

Banyak upaya yang telah dilakukan dalam merekonsiliasi keduanya, sebab Islam selalu dihadapkan dengan adanya pertentangan-pertentangan dari aktivitas politik barat, seperti nasionalisme, demokrasi, liberalisme dan lainya. 

Adanya pertentangan ini, Islam justru hadir dalam model-model tertentu yang digantungkan pada tataran metodologis ijtihadnya. Basis inilah yang menjadi kekuatan Islam dapat beradaptasi dengan segala perbedaan dan pertentangannya.

Idealitas Islam dan Realitas Politik Indonesia

Warna-warni ini terangkum pula dalam dinamika perjalanan sejarah negara Indonesia, konfigurasi hubungan keduanya dengan segala pertentangannya sudah dimulai sejak merdeka, dan berlanjut sampai sekarang. Jika dirisalahkan, maka dapat digolongkan dalam tiga periode. 

Pertama, interaksi konfigurasinya diawali dalam hubungan Islam sebagai negara, dimana dalam periode tersebut Islam dikehendaki sebagai agama dan dasar negara. 

Namun, gagasan formalitas Islam sebagai agama dan dasar negara belum dapat menjembatani kepentingan masyarakat non muslim. Sehingga untuk menyatukan kepentingan tersebut, maka lahirlah Pancasila sebagai dasar negara.

Kedua, tranformasi konfigurasinya berlanjut dalam menyikapi pembangunan nasional Indonesia. Dalam periode ini, konfigurasi hubungan Islam dan negara mampu berasimilasi dalam struktur hukum positif untuk membangun kesadaran masyarakatnya. 

Ini didasarkan dengan adanya kenyataan aturan-aturan yang selama ini dikenal dalam hukum Islam telah terserap dalam peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor: 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor: 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor: 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan Instruksi Presiden Nomor: 01 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Keterasingan Politik Islam

Selanjutnya dalam risalah ketiga, interaksi konfigurasinya mempersoalkan hubungan Islam dengan demokrasi dalam sistem negara modern, dan realitas interaksinya sedang berlangsung saat ini. 

Dimulai dengan dihidupkannya kembali partai-partai Islam yang dahulu sempat ditiadakan oleh Rezim Orde Baru dengan alasan stabilitas politik. 

Bertranformasinya kembali partai-partai Islam dalam aktivitas politik diyakini dapat memberikan panduan moral dan bimbingan hubungan manusia dengan khalik, karena semua permasalahan keduniaan termasuk aturan prilaku antar manusia, negara, dan pemerintah diserahkan pada ijtihad dan kesepakatan manusia, atau kelompok-kelompok manusia.

pxhere.com
pxhere.com

Namun keyakinan tersebut belum mendapat kepercayaan oleh masyarakat, terutama dikalangan masyarakat muslim Indonesia. Ini didasarkan dengan adanya kenyataan partai-partai Nasionalis lebih populer dihati masyarakat Indonesia ketimbang partai-partai Islam, sehingga partai-partai Islam hanya dapat menduduki suara minoritas di parlemen Indonesia. 

Hal ini disebabkan karena aktivitas-aktivitas politik Islam yang dijalankan telah dikhianati dengan tidak amanah, dan hanya dimanfaatkan untuk mendapatkan kekuasaan. 

Sehingga interaksinya kemudian berlanjut dengan muncul refleksi kritis yang justru datang dari kalangan masyarakat muslim sendiri.

Gerakan Pembaharuan

Nurcholish Madjid pada tahun 1970-an mengenalkan jargon "Islam Yes, Partai Islam No!", sebagai bentuk kritik terhadap sebagian masyarakat Islam yang mengabsolutkan dan mensakralkan partai Islam. 

Kritik ini telah memicu perdebatan, dan bahkan dikecam dikalangan intelektual dan aktivis Islam. Namun banyak kalangan juga mengapresiasikan pendapat Nurcholish Madjid tersebut. 

Dalam keadaan realitas tersebut telah menunjukan adanya perbedaan pandangan dikalangan masyarakat muslim itu sendiri, ada yang berani terbuka dengan pemikiran-pemikiran moderat dan progresif, dan disebagian lainnya lebih memilih konsevatif terhadap pandangan-pandangan baru.

islam-5ccfa54d7d1b9052485a7d57.jpg
islam-5ccfa54d7d1b9052485a7d57.jpg
Terhadap perbedaan pandangan dimaksud, Prof. Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul "Islam Sebagai Ilmu", telah membangun kritik pula bahwa terhadap gerakan "Islamisasi Pengetahuan" sudah mulai harus ditinggalkan menjadi gerakan "Pengilmuan Islam", dimaksudkan supaya subjektif agama itu berubah menjadi sifat objektif ilmu. 

Dengan demikian, setiap perbedaan yang terjadi dikalangan masyarakat muslim itu sendiri sudah tidak lagi diartikan untuk membeda-bedakan menjadi berkelompok-kelompok atau bergolongan-golongan, melainkan perbedaan itu diterima menjadi suatu pengetahuan.

Skenario Politik Islam

Misalnya seperti perbedaaan pandangan politik yang terjadi dewasa ini, dimana sebagian masyarakat muslim menghendaki bahwa agama dan politik itu tidak dapat dipisahkan, sedangkan disebagian masyarakat lainnya menghendaki bahwa agama terpisah dengan politik. 

Terhadap gerakan politik yang mendukung pemisahan antara agama dan politik tersebut, pastinya akan mendapat kecaman sosial dengan tuduhan kafir. 

Terhadap polemik tersebut, jika disikapi dengan ilmu maka akan diketahui landasannya. Sebab, terdapat tokoh Islam yang mendukung adanya pemisahan agama dengan politik, yakni Mohammad Husein Haikal.

Mereka menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi memang ada hanya pada Allah, namun Tuhan Yang Maha Esa bijaksana telah menambahkan manusia menjadi khalifah dimuka bumi serta memberikan panduan dasar dan kaidah umum. 

Kelompok ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. 

Dengan demikian pandangan politik yang menghedaki adanya pemisahan antara agama dan politik sudah tidak perlu lagi dihakimi pertentangannya, karena sama-sama bersumber dalam ilmu Islam.

Selanjutnya, berkenaan menyikapi "ijtima ulama" yang muncul sebagai skenario politik keagamaan yang berinteraksi dengan demokrasi di Indonesia. Jika skenario politik keagamaan tersebut dipahami lebih dulu secara etimologi, maka pendapat Prof. KH. Nasaruddin Umar yang dikutip dari halaman tirto.id menyatakan bahwa "ijtima secara bahasa berarti pertemuan atau perkumpulan. Sedangkan ijma berarti hasil keputusan yang diperoleh lewat ijtima". 

Berdasarkan pehamahan etimologi tersebut, maka ijtima tersebut adalah pertemuan, dan ijma tersebut adalah hasil keputusan dari pertemuan tersebut. Sehingga hasil keputusan ijtima dimaksud merupakan bagian dari sumber hukum Islam.

Jika hal itu termasuk sumber hukum Islam, bagaimanakah pembebanan hukumnya?  menurut Prof. Dr. H. Suparman Usman dalam bukunya yang berjudul "Hukum Islam: Asas-Asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia" menyatakan bahwa pembebanan hukumnya diletakan dari terjadinya kesepakatan, karena ulama membagi dalam dua bentuk. 

Pertama, ijma sharih adalah kesepakatan para mujtahid terhadap masalah hukum  tertentu, dan ijma ini dapat dijadikan landasan hukum. 

Kedua, ijma sukuty adalah pendapat sebagian mujtahid pada suatu masa tentang hukum suatu masalah, dan ijma ini menurut sebagian besar ulama tidak dapat dijadikan landasan hukum.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka ijtima ulama yang muncul ditahun 2018 dan 2019 tersebut hanya berdasarkan pendapat sebagian mujtahid, maka hasil keputusan dalam ijtima tersebut adalah ijma sukuty yang belum dapat dijadikan landasan hukum. 

Sehingga bukan menjadi persoalan lagi untuk tidak mengikuti dan mematuhinya. Dengan demikian, interaksi hubungan Islam dengan negara sudah dapat dipahami bukan lagi sebagai subyek, melainkan berdasarkan tindakan yang selalu bergerak dinamis, dan mampu bertranformasi dalam memberikan keselamatan kehidupan umat manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun