Mohon tunggu...
Ida Nurbagus
Ida Nurbagus Mohon Tunggu... Administrasi - An ordinary mom with extraordinary hope

Everybody's not gonna like me, everybody's not gonna love what I've got to write - that doesn't mean I gotta stop being who I am

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengukur Kemenangan Ramadhan

17 Agustus 2012   22:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:36 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bulan Ramadhan  hampir usai. Bulan di mana di sepanjang hari doa-doa terus terdengar. Bulan dimana umat Islam tiada henti beribadah. Bulan dimana pada siang dan malam tak lelah menengadahkan  tangan berharap rahmat dan ridho Ilahi. Hingga tiba dipenghujung bulan dimana  semua siap pesta merayakan kemenangan.  Kemenangan yang sebetulnya (menurut saya) sulit diukur.

Apakah jika tuntas berpuasa sebulan penuh  (yang disempurnakan dengan zakat fitrah) bisa   dimaknai sebagai sebuah kemenangan hingga layak untuk dipestakan ?

Pada Ramadhan kali ini  ada Olimpiade 2012,  Olimpiade yang (tanpa mengecilkan semangat para atlit yang sudah berjuang habis-habisan)  tak menghasilkan satu medali emas pun, padahal sejak Olimpiade 1992, 1996, 2000, 2004, 2008, selalu ada medali emas yang berhasil diraih. Medali kemenangan yang (semua orang) bisa mengukurnya.

Dengan kerendahan hati tak urung saya jadi mempertanyakan,   apa makna ‘kemenangan’ Ramadhan jika sebagai sebuah bangsa kita justru  mengalami ‘kekalahan’ (dalam Olimpiade)?

Beberapa orang pasti akan reflex menjawab, ”buat apa mengejar kemenangan duniawi, bukankah yang penting mencari ridho Allah, meraih kemenangan di hari akhir?”

Sekali lagi, tanpa mengecilkan arti kehidupan setelah mati, sebagai seorang ibu, saya sangat mencintai negeri ini. Negeri yang begitu indah dan maha kaya. Negeri yang rakyatnya  layak untuk bisa berdiri gagah bersanding dengan bangsa-bangsa lain.  Negeri yang banyak anak mudanya sangat berpotensi dan mampu ber’main’ dalam skala dunia.  Namun, status FB seorang teman menggelitik hati saya,

“Sekarang rasa kebanggaan sebagai WNI sudah mulai terkikis...melihat atlet2 negara tetangga berjuang memperebutkan medali...timbul dalam hati pertanyaan "nie atlet Indonesia pada kemana ya..????"....Cina begitu superiornya di cab Bulutangkis...semua medali mereka sapu bersih...fantastis...!!...bahkan di cab renang yg sebelumnya tidak diperhitungkan Cina mempersembahkan 2 emas...hebat...!!...Cina adalah sebuah negara besar yang sesungguhnya....”

Status Fb yang lain malah menulis, “Jika  ada Olimpiade Korupsi....pasti sudah Indonesia juara umumnya....karena hampir di semua cabang (baca : bidang)....Indonesia "HANTUNYA"....!!!!”

Separah itukah? Artinya, di satu sisi  bangsa kita adalah bangsa yang paling getol melaksanakan ibadah ritual. Shalat, ngaji, puasa, seolah tiauda henti.  Sementara di sisi lain (seperti sudah diberitakan dimana-mana) prestasi olah raga bangsa kita terus terpuruk ditengah percaturan dunia

Saya lantas teringat, kompasiana seorang teman.  Iran, sebagai bangsa yang di embargo ekonomi,  di’zalimi’ oleh negara-negara super power,  namun tetap kuat hingga bisa meraih 12 medali (4 emas, 5 perak, 3 perunggu).  Mereka tak lelah berusaha, dengan sikap tegas,  mempertahankan harga diri, membuat musuh musuh pun belum mampu menaklukan Iran.  Sekarang, di bidang Olahraga, di ajang paling bergengsi dunia, Iran  berperan aktif dan  jadi juara dengan mengondol medali emas. Kemenangan yang dirayakan oleh seluruh rakyat Iran dengan suka cita.

Ini menunjukan bahwa  Iran,  yang juga mayoritas beragama Islam, dengan penuh keterbatasan karena embargo ekonomi, ternyata olahraganya bisa  bergerak maju? Kenapa kita malah sebaliknya?

Maraknya segala bentuk ibadah bukankah  idealnya   harus ter-refleksikan dalam wujud yang lebih bisa diukur?  Kemenangan harus di hadirkan  dalam bentuk yang lebih  nyata, tidak hanya untuk diri pribadi, tapi bisa  juga 'menang'  sebagai sebuah bangsa (17 Agustus kali ini, begitu dekat dengan Idul Fitri). Istilah ‘kemenangan’ yang selalu hadir usai ramadhan,  semoga bukan karena kita tidak bisa  menunjukan ‘kemenangan’ yang kasad mata.

Rindu rasanya untuk merasakan “Kemenangan” yang sesungguhnya. Kemenangan yang tidak diukur  per  individu,  tapi bisa dinikmati secara kolosal oleh semua anak bangsa.

Bilakah saat itu tiba? Saat  dimana ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat,  bisa berefek sosial, tak hanya sebatas kata-kata normatif belaka.  Mampukan kita meraih ‘kemenangan’ itu? Semoga!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun