Mohon tunggu...
Ida Bagus Gede Randika
Ida Bagus Gede Randika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Denpasar, Bali

Seorang Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya yang sedang menggembleng diri untuk memperisiapkan masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tabir Covid-19 Antara Kinerja dan Kebijakan

18 April 2021   09:13 Diperbarui: 18 April 2021   10:03 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lebih dari setahun lamanya virus Covid-19 telah merajalela di seluruh belahan dunia termasuk Indonesia. World Health Organization (WHO) telah menetapkan virus Covid-19 sebagai pandemi, karena wilayah penyebarannya yang sangat luas. Begitupula melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2020, pemerintah Indonesia menetapkan bencana non-alam Covid-19 sebagai bencana nasional. Saat ini kasus positif Covid-19 sudah menyentuh angka jutaan sejak dikonfirmasi pertama kali oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Maret 2020. Keberadaannya yang tak kasat mata menyebabkan siapa saja dapat terinfeksi virus ini tanpa terkecuali, baik itu dengan gejala maupun tanpa gejala karena virus ini cenderung menyerang sistem pernapasan manusia. Pandemi ini bukan tanpa akibat, banyak sektor yang menjadi tumpuan masyarakat terhenti karena mobilitas penduduk dibatasi.

Pemerintah sebagai garda terdepan dalam percepatan penanganan virus Covid-19 tentu telah mengupayakan segala hal. Kebijakan publik menjadi senjata yang paling diandalkan oleh para aktor pemerintah terutama untuk mencegah penyebarannya agar tidak semakin luas dan masif. Beberapa kebijakan maupun himbauan yang telah dikeluarkan pemerintah diantaranya yakni, penerapan pola hidup bersih dan sehat, gerakan di rumah saja (#dirumahaja) dengan beribadah, belajar (SFH), bekerja (WFH) dari rumah, social distancing yang kemudian diubah menjadi physical distancing, merealokasi APBN 2020, memprioritaskan bidang kesehatan dalam penganggaran, pemberian bantuan sosial (bansos), mengendalikan transportasi, stimulus pajak, merelaksasi kredit, hingga pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang kemudian bertransformasi menjadi Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM). Adanya kebijakan ini merupakan bagian dari perwujudan kepentingan masyarakat yang harus diwadahi dan dilindungi.  

Namun, dibalik itu semua keberadaan kebijakan publik ini dalam realitasnya ternyata malah menjadi penghambat proses percepatan penanganan virus Covid-19. Hal ini dikarenakan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah cenderung inkosisten, tidak tegas, dan tumpang tindih, sehingga membingungkan para birokrat yang menjadi "ujung tombak" pengeksekusi kebijakan tersebut. Tidak hanya membingungkan para birokrat, kebijakan yang seperti demikian juga terkadang merugikan masyarakat pada umumnya. Inkonsistensi kebijakan salah satunya tercermin pada saat libur Natal dan Tahun Baru, dimana pemerintah mewajibkan para pengguna moda transportasi umum untuk melakukan rapid test antigen. Kebijakan ini dituangkan dalam Surat Edaran (SE) Satgas Covid-19 Nomor 3 Tahun 2020 tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Orang Selama Libur Hari Raya dan Menyambut Tahun Baru 2021 dalam Masa Pandemi Covid-19 dan Surat Edaran Kemenhub Nomor 23 Tahun 2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang dengan Transportasi Perkeretaapian Selama Masa Natal dan Tahun Baru dalam Masa Pandemi Covid-19.

Kebijakan ini sejatinya muncul di tengah upaya pemerintah mengajak masyarakat untuk berwisata kembali. Beberapa kementerian termasuk Kementerian Perhubungan-pun juga sudah melaksankan rapat di tempat-tempat yang menjadi destinasi wisata. Hal ini tentu merupakan suatu bentuk inkonsistensi dari pemerintah itu sendiri, sesungguhnya pemerintah ingin menghidupkan sektor pariwisata untuk memulihkan perekonomian atau menekan jumlah penyebaran virus Covid-19. Dalam proses percepatan penanganan virus Covid-19, pada dasarnya keseriusan dan konsistensi pemerintah dalam hal kesehatan publik adalah kunci sukses keberhasilannya, tetapi di Indonesia kebijakan dipaksakan untuk dapat mengakomodir semua sektor kehidupan dalam jangka waktu yang singkat.  Alvin Lie, anggota Ombudsman RI menilai "Kebijakan pemerintah tidak jelas, kadang mengedepankan public health, kadang mengedepankan ekonomi, sehingga tujuan keduanya tidak tercapai dan kasus positif-pun makin melonjak." Hal inilah juga yang kemudian membingungkan para birokrat dalam bertindak di lapangan, apakah harus menindak yang tidak menyertakan surat atau mendiamkannya. Pelaku bisnis juga sulit menjalankan strategi yang telah dirancang sedemikian rupa, karena bisnis yang dijalankan bukanlah seperti "warung kopi" yang dapat buka tutup kapan saja. Dalam membuka bisnisnya, para pelaku bisnis harus mempersiapkan modal dan sumber daya manusia.  Masyarakat yang ingin berwisata untuk merelaksasi pikiran yang tedistraksi selama pandemi-pun juga harus mengurungkan niatnya tersebut.

Kemudian, ketidaktegasan pemerintah dalam pengambilan kebijakan terlihat ketika adanya pengecualian dalam melakukan perjalanan terutama terkait mudik lebaran. Dalam Surat Edaran (SE) Satgas Penanganan Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021, pada bagian G Nomor 2 dan 3 disebutkan beberapa pengecualian bagi yang ingin melakukan perjalanan dengan keputusan mendesak untuk kepentingan non-mudik. Beberapa tujuan non-mudik mencakup beberapa hal seperti perjalanan dinas, mengunjungi keluarga yang sakit, kunjungan duka, ibu hamil dengan didampingi satu orang anggota keluarga, dan kepentingan persalinan dengan syarat didampingi maksimal dua orang. Dalam melakukan perjalanan tersebut para pelaku harus menyertakan beberapa persyaratan tertentu seperti contohnya surat keterangan hasil negatif PCR. Meskipun demikian, tetap saja ini merupakan suatu bentuk ketidaktegasan pemerintah, karena dapat saja momen seperti ini dimanfaatkan oleh para pelaku perjalanan untuk melakukan mudik lebaran. Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah menilai aturan larangan mudik ini seperti sebuah kebijakan paradoks, "Kebijakan larangan mudik dengan beberapa pengecualian ini adalah sebuah kebijakan paradoks. Pemerintah nampak setengah hati dalam mengeluarkan kebijakan ini, seharusnya jika ingin ketat maka diketakan saja semuanya."

Sementara kebijakan yang tumpang tindih nampak dalam kebijakan terkait ojek online. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 memperkenankan pengendara sepeda motor untuk mengangkut penumpang dengan ketentuan tertentu. Peraturan ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang mengatur tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, dimana menyatakan dengan tegas bahwa pengendara sepeda motor khusunya ojek online hanya diperkenankan mengangkut barang. Hal ini mengakibatkan masyarakat khususnya yang bermata pencaharian sebagai ojek online dilema, apalagi para ojek online harus menafkahi keluarganya. Tumpang tindihnya kebijakan ini tidak lain disebabkan karena adanya ego sektoral antar kementerian. Seharusnya di situasi seperti ini tidak ada lagi kementerian yang hanya mengurusi kepentingan sektornya masing-masing, karena itu sangat merugikan dan menghambat proses percepatan penanganan Covid-19. Pandemi ini harus diatasi dengan kebijakan yang sinkron baik itu antar kementerian/ lembaga maupun antar pemerintah pusat dan daerah, karena di masa seperti ini tidak butuh kebijakan yang tumpang tindih.

Dalam situasi kebijakan yang tak jelas arahnya dibutuhkan peran lembaga representasi rakyat, khusunya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengawasi dan mengontrol kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan fungsi pengawasannya tersebut, DPR dituntut untuk dapat mengawal kepentingan rakyat dalam pemerintahan, karena kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintah sudah cukup merugikan masyarakat di masa pandemi ini. Maka dari itu, DPR tidak boleh mengecewakan masyarakat yang telah memberikan kepercayaan penuh kepadanya, meskipun pandemi ini telah mengubah tata cara DPR dalam bekerja terutama terkait perencanaan dan penentuan kebijakan. Disamping itu, DPR juga harus benar-benar mampu menjadi check and balances dalam pemerintahan agar stabilitas politik tetap terjaga, kepentingan rakyat tetap terlindungi, dan pandemi tak berkepanjangan,

Di awal kemunculan pandemi Covid-19 sejatinya DPR memang terlihat sangat kritis terhadap pemerintah. Mengutip dari laman "dpr.go.id" dalam buletin parlementaria terlihat DPR mendorong pemerintah untuk mempercepat proses penanganan virus Covid-19 khususnya untuk melakukan upaya-upaya terutama dalam pemenuhan pangan masyarakat dan realokasi anggaran. Namun, dalam perjalanannya ternyata DPR malah membelok dan bertindak jauh dari kepentingan masyarakat. Lucius, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (FORMAPPI) menilai DPR cenderung tidak mampu memberikan sumbangsihnya untuk penanganan Covid-19. Lucius juga berpandangan bahwa "DPR tidak terlihat sebagai lembaga yang menentukan dengan perannya sebagai penyeimbang pemerintah, DPR lebih terlihat menonjol sebagai pengikut pemerintah." Hal ini tercermin dari keputusan DPR yang mendukung pemerintah untuk melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah serentak pada tahun 2020 lalu.

Pelaksanaan Pilkada serentak ini sesungguhnya menuai banyak kontra dari masyarakat, mengingat pandemi yang belum usai dan kasus yang terus melonjak, tetapi DPR malah tak menggubris pihak-pihak yang menginginkan Pilkada ini ditunda. DPR seakan-akan menjadi "pendukung setia" pemerintah yang terkooptasi dengan kepentingan politiknya. Hal ini mengindasikan bahwa DPR terlihat enggan dalam membawa kepentingan rakyat dalam pemerintahan. Begitupula dengan pemerintah yang lagi-lagi terlihat inkosisten dalam mengeluarkan kebijakan. Selain itu, DPR sebagai wakil rakyat yang terhormat juga terlihat lebih menonjol dalam melaksanakan fungsi legislasi ketimbang fungsi pengawasan. Padahal di masa pandemi seperti ini, DPR harus mampu menjalankan fungsi pengawasan dengan baik, mulai dari pengawasan terhadap kinerja hingga kesiapan dan pengelolaan anggaran penanggulangan Covid-19 oleh pemerintah. Hal senada disampaikan oleh Maidina Rahmawati, peneliti Indonesia for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menyatakan bahwa "Pemerintah itu seharusnya ditodong oleh DPR dengan menanyakan upaya-upaya apa saja yang sudah dilakukan oleh pemerintah dalam penanggulan Covid-19 dan bagaimana cara pemerintah mengatur kewenangan dari pusat ke daerah."

Lebih menonjolnya fungsi legislasi, salah satunya terlihat dalam pengesahan RUU Cipta Kerja yang sangat kilat. Kilatnya pengesahan ini dikatakan untuk memberikan kemudahan dalam berinvestasi di Indonesia. Saking kilatnya, sidang-sidang pembahasanpun dilakukan siang hingga larut malam, meskipun di tengah masa reses dan pandemi yang masih melanda. Inilah yang kemudian dikatakan DPR lebih menonjolkan fungsi legislasi dibandingakan fungsi pengawasan. Lahirnya RUU Cipta Kerja ini juga dinilai lebih mengedepankan kepentingan bisnis dibandingkan kepentingan masyarakat. Perancangannya yang kilat dan tertutup juga telah mematikan demokrasi yang telah lama hidup di Indonesia. Perwakilan Fraksi Rakyat Indonesia (FRI), Nining Elitos menyatakan bahwa "RUU Cipta Kerja ini merupakan sebuah kebijakan politik yang berasal dari elite dan untuk elite, dimana mengabaikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi." Sungguh hal yang sangat ironi, pemerintah yang menghasilkan kebijakan yang tidak susbtansial dibarengi dengan tindakan DPR yang tidak jelas. Posisi rakyat disini tentu sangat dirugikan, tidak ada lembaga tinggi negara yang mampu mewadahi kepentingan masyarakat. Hal ini menyebabkan pandemi semakin menggila dan masyarakat semakin termarginal.

Di masa pandemi Covid-19 ini tindakan yang dilakukan baik itu oleh pemerintah maupun DPR sebagai aktor pemerintahan sekiranya telah menggambarkan bahwa di Indonesia proses percepatan penanganan virus Covid 19 dihambat oleh kinerja pemerintahan. Padahal sejatinya pemerintahan yang seharusnya menguasaikan perang dingin dengan virus Covid-19. Aktor-aktor pemerintahan terlihat memandang sebelah mata keberadaan pandemi ini. Pemerintah selalu memaksakan kebijakan untuk dapat mengakomodir lebih dari satu sektor dalam waktu yang singkat. Sementara, DPR yang seharusnya menjadi lembaga penentu malah cenderung menjadi "supporter" setia pemerintah dan bertindak jauh dari kepentingan masyarakat. Tujuan semula dikeluarkannya kebijakan oleh pemerintah tersebut seakan sirna hanya karena kepentingan politik pemerintah maupun DPR. Pada akhirnya kasus positif tidak dapat ditekan, masyarakat kian terpuruk, dan negara bagaikan kapal tanpa navigasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun