Mohon tunggu...
Ida Ratna Isaura
Ida Ratna Isaura Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mahasiswi Universitas Airlangga, suka browsing, membaca, menulis puisi, menyukai hal-hal yang menarik dan agak sinting - I admire my self -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Punggung Dalam Lukisan

16 Mei 2012   04:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:14 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1337143894749780464

[caption id="attachment_177408" align="aligncenter" width="300" caption="gambar dari google"][/caption]

Hari ini, kau memutuskan untuk tak lagi mencintaiku. Begitu sangat jelas kubaca. Dari kerumitan demi kerumitan yang membungkam mulutmu juga mulutku. Ada kata-kata perpisahan yang tak bisa secara gamblang kita ucapkan, meski telah memenuhi hati. Ada kata-kata rindu yang telah lama basi. Meski cinta tetaplah cinta, sama seperti sedia kala. Hanya saja, kita terlalu rumit. Terlalu kompleks meminta cinta memberi kita apa saja.

“Aku akan pergi,” katamu memecah sepi.

“Pasti jauh sekali.”

“Ada hal-hal yang harus kukerjakan disana.”

“Pasti lama sekali.”

Kau diam. Dan aku semakin merasakan, sepi itu menjalari dinding hari. Menembus mataku, tubuhku, hatiku. Dan sebentar lagi ia akan semakin sempurna setelah kepergianmu.

“Kau tak akan kesepian. Ada dia yang bersamamu.”

“Kau menghiburku? Akan lebih baik kalau kau bilang ada kau yang bersamaku.”

“Kau bahagia bersamanya.”

“Hanya beberapa puluh kali tertawa, dan kau menyimpulkan aku bahagia.”

“Dia pandai membuatmu tertawa.”

“Jadi kau menyalahkanku karena aku tertawa?”

“Aku tak menyalahkanmu,”

“Lantas, kau meninggalkanku karena aku tertawa?”

“Bukan begitu, kau akan lebih bahagia bersamanya.”

Aku diam. Kau juga diam. Seandainya aku diam sedikit lebih lama, mungkin kau akan lekas berdiri dan pergi. Menganggap beberapa kata telah cukup untuk sebuah perpisahan yang rumit. Ya, perpisahan selalu rumit, sayang. Maka aku menggenapinya pula dengan kata-kata.

Pertemuan sering kali sederhana. Tapi di balik itu, tak adakah kerumitan yang ingin kau pertahankan? Bukankah sederhana itu hanya sebentar? Setelah itu kita akan sama menjadi rumit, merasa terlalu rumit untuk mengungkapkan apa saja. Bukankah cinta memang begitu?

Aku menggenggam tanganmu.

“Hei, dengar. Tak peduli tawa atau airmata. Cinta itu berarti tetap tinggal. Mungkin orang yang aku cintai tak banyak membuatku tertawa. Tapi bersama dia, aku sangat bahagia. Bahagia dalam bersedih, bahagia ketika menangis, bahagia saat terluka. Saat kau memutuskan untuk pergi, aku sangat tahu bahwa cinta itu sudah tak ada. Kau tak perlu repot menjelaskan segala sesuatu padaku, karena aku sudah tahu.”

Kau diam. Sejenak aku berharap kau menyela dan berkata tidak. Sejenak aku berharap kau mengatakan yang sebaliknya. Begitu rumit bukan? Hanya untuk sekedar berpamitan. Hanya untuk sekedar berkata kau telah bosan. Kau harus mencari kata-kata palsu paling meyakinkan.

“Pergilah….” Lalu kau benar-benar pergi. Kiranya kau menungguku mengucapkan itu padamu. Maka pergilah. Pergilah merentang jarak yang cukup jauh sehingga kau punya alasan kuat untuk tak pernah kembali lagi.

Aku menyeka airmataku. Tapi ia terus saja berjatuhan. Punggung itu semakin jauh. Seperti lukisan. Kepergian itu berwarna oranye dan kuas berwarna coklat tua menyempurnakan perpisahan itu dengan begitu jelas. Lelaki dalam lukisan itu tak menoleh kebelakang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun